Bab 11- Hadapi Kenyataan

Menjelang senja, Aya baru terjaga dari lelap panjang. Kini, dia tengah menikmati makanan empat sehat lima sempurna buatan pelayan Mirna. Pastinya atas perintah Januar.

"Makan yang banyak, Nona. Biar cepat pulih," usik Bu Mirna sambil tersenyum. "Kasihan ditunggu sama Tuan Muda seharian di kamar," selorohnya lagi sembari melangkah pergi dan berhasil membuat gadis pemilik rambut panjang legam itu tersedak.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Dalam pandangannya, Bu Mirna berjalan mendekat lalu sigap menyodorkan gelas berisi air putih. "Makasih, Bu." Aya menyambut lalu menegak tanpa menyadari penampakan yang ada.

"Makanya, hati-hati kalau makan," balas suara maskulin, pelan tapi berat, sudah berdiri sangat dekat. Aya berjingkat pias. Menyadari keteledoran. Bukan Bu Mirna pemberi minum itu, melainkan si Tuan Penjahat.

"M-maaf, Tuan." Aya memandang keliling, namun tidak menemukan Bu Mirna.

"Panggil aku Januar," ujarnya tanpa ekspresi.

"Maaf, Tuan. Eh! Pak. Aya menyanggah dengan wajah memerah. "Maaf, belum terbiasa ini," tambahnya sambil melanjutkan ritual makan dengan menahan napas. Bagaimana tidak, aroma maskulin yang pernah merongrongnya di atas panggung kini menguar mendesak nadi hingga ikut berdesir.

"Biasakan." Kini pemuda itu sudah bergeser dan mengambil duduk di kursi paling ujung. Aya merasa lega karena Januar mengambil posisi duduk berjarak darinya.

"Lihat, nanti!" balasnya tak acuh. Januar sempat tertegun hingga akhirnya kembali angkat bicara setelah Aya menghabiskan sisa makan di piring.

"Baiklah, bisa kita memulai sekarang?" tanya lembut. Aya mengerling singkat. Dalam hatinya menduga gerangan perubahan sikap pemuda kasar dan kaku mendadak menjadi ramah.

'Kesambet setan mana dia? Diam-diam beri bantuan, bicara lembut, pake minta pendapat lagi?' batinnya bingung. "Kena setrum, mungkin ya?" gumamnya tidak kedengaran dengan menarik bibir miring.

"Apa kau bilang?" Januar berucap refleks. Gadis itu hanya menggeleng.

'Bagaimana dia tahu? Padahal itu kata otak dan hatiku, lho?' pikirnya lagi.

"Karena selain payah, kau terlalu lemah untuk dikasari." Lagi-lagi ucapan Januar semakin menelanjangi isi kepalanya. Membuat Aya memasang wajah cemberut menahan dongkol di dada.

"Baiklah, kita mulai sekarang," tuturnya datar hingga akhirnya ia bangkit meraih nampan bekas makan lalu mengantar ke dapur.

'Kali ini Aya harus kuat.' Dia butuh penyelesaian, bukan perpanjangan kasus. Tapi yang lebih mengganggu pikirannya saat ini yaitu sikap aneh Januar. Entah kenapa membuat desir darah tidak seperti biasa.

"Bersiaplah, akan ada perias yang datang kemari!" seru Januar dari kejauhan sukses membuat gadis itu mematung di depan pantry.

'Ini bukan mimpi, kan?' pikirnya mencoba menggigit bibir dan, "Aww!" Ini nyata.

"Anda baik-baik saja, Nona?" Seseorang datang menghampiri.

"Tidak apa-apa," Aya memandang jeli dan memastikan. "Bu Mirna."

"Hati-hati, Nona. Jaga diri baik-baik," tutur Bu Mirna dengan tampang peduli. "Anda harus kuat hadapi kenyataan, bahwa karakter Tuan Januar memang begitu."

"Tapi dia galak, Bu. Bagaimana Aya merasa nyaman berhadapan dengannya, coba?" keluhnya. Bu Mirna tertawa kecil.

"Tuan Januar itu sebenarnya baik, Nona. Hanya saja belum ada wanita yang berhasil membuatnya luluh, padahal umurnya sebentar lagi mencapai dua puluh delapan tahun," terang Mirna, wanita tiga puluh tahun. Aya tertawa menyindir.

"Pantas saja! Biar tua sekalian. Orang dia menyebalkan." Aya menekan kata terakhir. Bu Mirna menggeleng sambil terkikik geli.

"Semoga Anda orangnya, ya!" selorohnya lagi.

"Ih! Amit-amit, Bu!"

"Abisnya, cara Tuan Januar berinteraksi dengan Anda jauh beda dengan Ratu Ellen," terawangnya. "Ratu Ellen itu satu-satunya sahabat wanita Tuan Januar," ungkapnya lagi. Gadis itu hanya geleng-geleng mengerutkan kening. Merasa tidak punya pautan dengan apa yang baru dibicarakan Bu Mirna. Aya memilih berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Kini, Aya sudah duduk manis di meja rias. Menunggu kehadiran perias yang dibicarakan Januar tadi. Santai, mengerling ke arah meja dan mendapati begitu banyak perlengkapan wangian khusus pria.

"Jadi ini, isi kamar di penjahat itu." Aya bermonolog. Lantas melirik ke ujung nakas dan mendapati ponsel miliknya tergeletak di sana.

"Wih!" Bagai mendapat durian runtuh. Aya baru teringat ponsel itu ditinggal cukup lama. Bangkit berjalan cepat meraih dan memindai isinya.

"Papa dan Bi Manis?" gumamnya dengan mata membulat penuh manakala mendapati ratusan panggilan tak terjawab dan sejumlah chat dari nomor kedua orang tercintanya. Aya memencet nomor sang ayah dengan tangan ekstra gemetar.

"Assalamualaikum, Pa."

Waalaikumsalam, Sayang. Kamu baik-baik saja, kan? Ke mana anak muda itu membawamu pergi? Papa sangat khawatir ini.

"Alhamdulillah, Aya baik-baik, Pa. Masih terjebak di gedung Galaksi. Kami terpaksa kemari demi menghindari para wartawan itu. Maaf, ini salah Aya."

Sudah, Nak. Jangan sedih. Papa akan mencari cara untuk mengeluarkanmu dari sana.

"Papa, sebaiknya jangan dulu. Aya harus menyelesaikan masalah ini sebelum pulang. Aya janji akan temui kalian secepatnya."

Baiklah, Nak. Kalau begitu, jaga diri baik-baik.

"Oke, Pa. Terima kasih sudah mau percaya. Titip salam buat Bibi Manis."

Aya terduduk menarik napas lega. Menyandar punggung ke kasur dalam posisi bersimpuh di lantai. Setidaknya ia punya alasan tepat untuk menenangkan hati ayah dan Bu Manis.

"Kasihan mereka," Lagi-lagi pikirannya kembara tak menentu hingga tidak menyadari kalau pintu kamar yang ia tempati mendadak terbuka dan seseorang gegas menghampirinya dengan wajah cemas.

"Ayy!" pekiknya keras membuat konsentrasi Aya membuyar.

"Santi! Kau di sini?" Aya berjingkat bangkit. Ia tidak bisa menyembunyikan raut kaget. Gadis dipanggil Santi itu pun mengangguk lantas memburunya ke dalam dekapan erat.

"Apa yang terjadi, Ay? Kenapa kau belum pulang juga? Tuan galak itu tidak menyakitimu, kan?" tuturnya bimbang penuh haru. Aya menggeleng.

"Hanya insiden kecil. Semuanya baik-baik saja dan tidak ada yang menyakiti Aya," terangnya sembari melirik sejumlah barang bawaan sahabat dekatnya itu.

"Kak Sinta yang menyuruhku kemari," ungkap Santi seolah memahami maksud dari tatapan Aya. Kedua tangannya sigap mengeluarkan paket lengkap alat kosmetik dari koper mini yang ia bawa.

Sinta, kakak Santi. Seorang perias wajah yang bekerja di Galatea Beauty Salon milik salah satu generasi Galaksi Group.

"Kak Sinta lagi ikut seminar kecantikan menggantikan sesama petugas Galatea yang mangkir," terang Santi lagi. "Itu sebabnya aku yang disuruh kemari."

Kebetulan Santi di tim lain yang seprofesi hingga bisa mewakili timnya untuk mempersiapkan acara pertunangan Tuan Januar Galaksi dengan gadis pilihannya. Menurut kabar yang beredar, gadis itu putri seorang workaholic yang namanya tersamarkan.

"Apa benar gosip yang beredar itu?" tanya Santi penasaran. "Bukannya kemarin di telepon kau bilang motormu hilang dan tidak jadi ke acara itu, lalu kenapa tiba-tiba berada di sana? Di atas panggung, sama cucu 'Petarung Ulung', lagi?" tambahnya menggebu. Aya mengangguk membenarkan apa yang terduga.

"Yang benar saja, Ay." Gadis itu mengangguk berkali-kali. Lalu menceritakan kronologi peristiwa yang dialami sepanjang hari kemarin hingga berbuah insiden di atas panggung hidrolik. Membuat Santi melotot tidak percaya.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!