Bab 19 - Rasa yang Berbeda

Gadis itu berjalan tanpa arah. Sayatan luka di hati menjadi pemicu amarah yang kian menyulut. Esok harinya, saat mentari malu-malu menyapa. Aya baru menyadari kalau tubuh lelahnya kini terdampar di ujung pantai yang dikelilingi hutan. Aya merobohkan tubuhnya ke atas pasir putih dengan pandangan dingin menyapu alam. Sedang air mata sudah mengering.

Sementara itu, beberapa menit lalu, di Danur Villa. Pria berambut gondrong tengah melenggang manis ke kamar yang dipastikan milik Aya. Kenapa? Karena memang dia lah yang mengantar Aya ke tempat itu semalam.

"Paman Jordan!" sapa Danur kepada pria yang baru saja melintas, saat mendapati kamar Aya terkunci dari luar. Pria itu bergegas mendekatinya.

"Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

"Apa Paman tahu, gadis yang semalam menghuni kamar ini ke mana?"

Pak Jordan menggeleng, "Tidak, Tuan. Sejak pagi memang tidak ada aktivitas di sini karena kamarnya sudah terkunci dari semalam." Danur memicingkan mata mendengar penjelasan pria yang menjadi asisten pribadinya saat mengunjungi Villa ini.

"Dari semalam?"

"Ya, Tuan. Saya memantau area ini sejak semalam. Maaf, sejak saya memintanya menggantikan tugas Linda ke Jx VIP room, gadis itu tidak pernah kelihatan lagi."

Danur menarik napas berat. "Paman, aku yang menyuruhnya beristirahat, kenapa malah menyuruh dia bekerja," protesnya menyesal. Danur bergegas keluar dari Villa dengan wajah murung, diikuti pandangan bingung dari Pak Jordan yang tidak sempat berbicara.

"Astaga!" lenguhnya menepuk jidat. "Itu kan, kamar pribadi Kak Januar? Apa dia kemari semalam?" gumamnya dengan nada bergetar.

Danur menerobos menuju ke kamar yang dimaksud. Namun, kamarnya terkunci dari dalam. Mencoba menembus dengan akses pribadi, dan akhirnya terjawab lah kalau di ranjang sana, dan di balik selimut tebal itu sang kakak sedang terlelap. Dengan dada terbuka dan tarikan napas yang teratur. Tangan kekar itu menggenggam sebuah benda mungil yang seperti tidak asing di matanya.

"Sejak kapan dia datang?" dengusnya kesal. Ada rasa rindu di hati sejak enam bulan lalu tidak bertemu. Ingin menyapa sang kakak saat itu juga. Namun, kepergian Aya yang belum jelas membuatnya semakin panik. Sepertinya Danur harus mengandalkan akses GPS. Hingga ia memastikan tubuhnya bergerak cepat ke tempat yang tertera di layar.

"Aya, kau di sini?" Pita suara Danur bergetar saat mendapati gadis itu seperti terhenyak ke atas tumpukan pasir, membuat hatinya semakin resah. "Asli, aku mencarimu ke mana-mana," lanjutnya ikut menjatuhkan diri di atas pasir bersebelahan dengan gadis itu. Rasa khawatir masih jelas tampak dari tarikan napasnya masih tersengal. Aya melempar tatapan dingin.

"Untuk apa mencariku?" ucapnya datar.

"Aku khawatir, Ay. Karena waktu ke kamarmu tadi, kau tidak ada." Danur merangkul lengannya, "Apa benar, kata Pak Jordan, semalam dia memintamu bekerja?" tanya Danur hati-hati. Sementara Aya masih di mode cuek.

"Maaf, jika sikap asistenku membuatmu kecewa. Padahal aku yang memintamu beristirahat." Danur masih berupaya membujuk tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Pergi dari sini! Atau biarkan aku yang pulang ke Kota Galaksi!"

"Ay, jangan gitu, ya. Kota Galaksi sangat tidak aman buatmu," bujuk Danur.

"Lebih sial lagi Kota ini." Aya terbahak kencang. "Andai enam bulan lalu kau tidak menolongku. Maka aku lah yang paling bahagia." Lalu berpaling menatapnya tajam. "Kenapa tidak kau biarkan saja Dodi membawaku pergi ke luar negeri? Dia satu-satunya pria yang mencintaiku dengan tulus. Bukan seperti kakakmu yang pengecut itu!" Sorot netra dingin berhasil menghujam ke ulu benak Danur dan kian meresahkan.

"Kau menyesal?" Ucapan gadis itu sukses membuat jiwanya trenyuh. Seolah menjadi tamparan keras buat keluarganya.

"Bahkan lebih dari itu. Andai bisa, ingin kutiadakan waktu di atas panggung hidrolik itu dan membunuh semua kenangan pahit yang ada." Tubuh Aya bergetar hebat. Tangisnya kini pecah. Danur yang tidak tega, bahkan tidak mengerti apa yang sudah terjadi di antara Aya dengan sang kakak mencoba meredam suasana. Kini, ia membalikkan posisi duduk lalu menangkup kedua lengan gadis itu.

"Tatap aku." Aya menurut dan perlahan mengangkat wajah dan keduanya saling mengunci pandangan.

"Semalam kau bertemu dengan Kak Januar? Apa dia menyakitimu?" tanyanya menyelidik. Aya semakin tergores. Tubuhnya kian berguncang. Danur semakin curiga.

Danur membujuk pelan. "Tenang ya, aku jamin kau akan baik-baik saja, oke." Lalu menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukan menenangkan dan berharap kecurigaannya terhadap sang kakak tidak benar.

"Aku benci padanya!" racau Aya. "Aku berjanji akan membalas semua perlakuannya." Lagi-lagi dalam bentuk racauan. Danur bergeming. Ada embun di manik mata elangnya. Membayangkan dada polos Januar dan keluh kesah Aya membuat tumpuannya nyaris roboh.

'Apa kakak sebejat itu?' pikirnya gusar.

Sementara itu, di kamar Villa. Januar menggeliat mengubah posisi tidur di sela kepala yang pusing. Kemudian melompat duduk di kasur saat ia benar-benar terjaga dan mengingat sesuatu.

"Ah, mimpi yang buruk," gumamnya mengacak rambut. Lalu kembali memindai penampilannya yang acak-acakan. Ditambah bercak darah merah menempel di kasur dan juga sebagian raganya membuat ia meralat apa yang ada di otak, bahwa semalam bukan lah mimpi melainkan nyata.

"Dia?" gumamnya pelan. "Tapi siapa dia?"

Sejenak ia menyadari kalau tangannya sedang menggenggam sesuatu. Benda kecil melingkar indah, bermanik hati yang selalu bersinar meski di dalam gelap. Liontin yang ia temui di tepi jalan enam bulan silam, tepat di malam menghilangnya Aya. Benda itu sangat mirip dengan yang menempel di leher Aya saat sekilas ia lirik ketika bersama Aya di atas panggung hidrolik.

"Aku sangat yakin, ini punya Aya." Karena benda itu sempat menyangkut di jas miliknya saat pertama kali keduanya berdebat di atas panggung. Lalu refleks mencium dan menghirup dalam aromanya. 'Kenapa gadis semalam sangat miirip dengannya? Apa benar dia yang datang ke kamarku semalam? Atau cuma aku yang berhalusinasi?' pikirnya gusar.

"Ah, pusing!" Januar bergegas ke kamar mandi. Sejak kapan ia mulai peduli dengan hal remeh semacam itu? Toh kalau pun dia terlanjur menodai seorang gadis biasa seperti pelayan semalam, itu karena kecerobohan gadis itu sendiri, bukan? Kenapa main serobot sembarangan ke kamar privasi miliknya?

"Bukankah semalam aku bersama Ratu Ellen dan dia yang memberiku minuman itu?" Pandangannya menyapu keliling. Pakaiannya berserakan di lantai. "Ah, ini pasti ulah Ellen. Aku tidak peduli mau dia ternoda ataukah tidak," geramnya tidak terima.

Di bawah guyuran air shower, Januar menyapu kasar wajahnya. "Tapi, kenapa semalam aku begitu menikmatinya? Seolah wajah dan jasadnya begitu wujud. Lalu noda merah di kasur itu? Mana mungkin milik Ratu Ellen." Bahkan sensasinya masih bisa dirasa hingga kini lewat perubahan syaraf yang membuai hingga hormon dan mentalnya mendadak pulih dari segala kegilaan selama enam bulan terakhir.

"Ini gila! Mana mungkin Ellen mengalami pecah perawan dua kali?"

Belakangan ini, Januar merasa hidupnya begitu hampa, bahkan prestasi kerjanya terancam anjlok. Dunia berasa begitu kejam mengadilinya. Hari-hari hanya menyiksa diri. Hingga dia memutuskan untuk berlibur ke Kota ini, tepatnya Dida Resort. Ratu Ellen diam-diam membuntuti perjalanannya.

"Sayang, kenapa perginya diam-diam?" protes Ellen malam itu di sebuah Longue sembari menyodorkan segelas minuman keras termahal kepadanya. "Untung saja aku cepat mengetahuinya dan langsung menyusul kemari," tambahnya cemberut.

Siapa sangka minuman yang disodorkan Ellen kepadanya itu dicampuri obat perangsang? Akibat ulah Ratu Ellen membuat Januar mendadak kabur dari sana dan bergegas mengambil jalan. Villa sebagai tempat tujuannya. Malah nasib membawanya terjebak pada cinta satu malam bersama seorang pelayan di sana.

Mengingat runutan peristiwa dialami semalam, seorang gadis yang ia kira itu adalah Aya si tunangan palsunya, meratap pilu di bawah kungkungan tubuhnya membuat hatinya ikut terbakar.

"Tapi bagaimana kalau dia bukan Aya, dan cuma mirip?" Kali ini dia benar-benar menyesal.

"Jika memang demikian, mungkin aku harus mencari Aya sekedar untuk mengembalikan barang miliknya yang ada padaku. Setidaknya ada pemaafan agar bisa leluasa bertanggung jawab kepada pelayan semalam," keluhnya gusar.

"Tapi, ah. Memangnya siapa Aya buatku?" Logikanya menyangkal. "Kenapa harus memikirkan dia?" umpatnya kesal melawan rasa yang kian menggebu. Api penyesalan tiba-tiba menyala dan perlahan berubah menjadi dendam yang membara.

"Awas saja si Ellen. Akan kubuat perhitungan dengannya!" ujarnya mengepal tinju.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!