"Apa yang membawamu kemari?" tanya Januar dingin. Merasa terganggu dengan kehadiran tamu tak diundangnya.
"Di mana Aya?" tanyanya langsung ke akar. Januar mengernyit samar.
"Gadis yang tadi kau ambil dariku," desahnya meluruskan.
"Apa urusanmu?"
"Dia harus pergi bersamaku."
"Aku tidak mengizinkan."
"Kau tidak berhak menahan dia!" sergahnya berhasil melukai ulu benak Januar. Kini ia mulai tersulut.
"Pergilah, atau kuseret paksa!" usirnya tegas.
"Aku tidak peduli," tantang pemuda itu.
"Jangan memancingku, Danur Dirga!" Januar memandang penuh permusuhan. Sementara yang baru disebut namanya pun ikut melempar tatapan tak kalah sengit.
"Dasar anak-anak bedebah!" Gelegar suara renta dari balik pintu yang baru saja dibuka oleh seorang asisten pribadi. "Dicari kemana-mana, rupanya kalian bertengkar di sini!" Sesepuh itu membeliakkan mata. Mengintip tajam lewat sudut kacamata bertengger diujung hidung runcing miliknya.
Sementara yang saling sikut membalas tatapannya dengan garis tanya di kening.
Januar bangkit. Bersama Danur Dirga, tak lain adik kandungnya sendiri. Sama-sama menyambut khidmat kehadiran sang penguasa Galaksi. Sementara Gamma siap meninggalkan ruangan setelah memberi penghormatan pada ketiganya.
"Ada hal penting apa yang ingin Kakek sampaikan kepadaku hingga bela-bela datang selarut ini?" ucap Januar sembari mempersilakan kursi ternyaman kepada sang kakek, dan pria itu mengikutinya dari belakang. Disusul oleh langkah gontai Danur.
"Jangan pura-pura amnesia, anak nakal!" rutuknya di sela tawa yang khas.
"Katakan saja, Kek. Asal jangan membahas panggung hidrolik tadi." Januar menampik lalu mengambil posisi duduk di sebelah pria berjuluk 'Petarung Ulung' tersebut. Tentunya setelah memastikan sang kakek sudah lebih dulu melakukannya.
"Aku menagih janji dua hari lalu," tambahnya dengan seringai kemenangan.
"Kakek, apa tidak terlalu cepat menentukan pilihan dalam dua hari? Apalagi seorang calon istri," protes Danur tanpa permisi.
"Diam kau, anak bandel! Aku belum memberimu kesempatan bicara," tegasnya dan Danur menunduk patuh.
Tuan Permana menarik senyum miring bersama dengan jemari rentanya melepas kaca yang mengganjal sepasang mata elang tua dan sedikit berair.
“Apa menurutmu aku sejahat itu?” tanyanya datar, bahkan melebihi datarnya suara Januar. Cucunya bergeming.
"Kakek memintamu memilih." Januar membenarkan ucapan sang kakek. "Dan malam ini, aku menemukan jawabannya." Januar diam-diam membenarkan ucapan sang kakek. Sementara Danur tampak menahan napas yang tercekat di tenggorokan.
"Jadi benar tindakan di publik tadi adalah jawaban dari kata hatimu?" Tuan Permana kembali memastikan tanpa mengharap jawaban dari Januar yang masih bergeming.
"Sekarang giliranmu, Danu." Tuan Permana mengerling tajam ke arah cucu keduanya yang memang jarang pulang ke rumah. "Katakan, apa masalahmu?" Pemuda yang lebih betah bekerja dari luar sembari menikmati alam bebas ketimbang harus bersusah payah mendekam dalam gedung pengap ini menarik napas dalam kemudian membuangnya pelan.
"Tidak ada, Tuan Kakek." Danur menjawab sopan dengan sapaan sayang, khas darinya.
"Yakin?"
"Yakin, Tuan Kakek."
"Baiklah kalau begitu, kau boleh pergi sekarang," titahnya datar.
"Tapi, Kek? Gadis itu ...."
"Pergilah. Dia aman bersama kami," potongnya cepat dan tak terbantahkan. Mau tak mau Danur harus mengalah demi keamanan strategi pembagian hak waris.
Bersama Harley edisi terbatas kesayangannya, Danur menembus pekatnya malam dengan suasana hati kacau. Hingga ia berhenti di depan sebuah tempat persinggahan rumah kayu berinterior sederhana namun menarik.
"Eksekusi," gumamnya sembari meloncat turun dari si Harley. Tangannya sigap memasang kacamata tebal dan kumis lebat ke wajah mix Asia-Eropa miliknya. Tidak lupa menyarungkan wig hitam ala pemuda cupu menutupi rambut gondrong pirang yang senantiasa mengibar indah saat diterpa angin nakal. 'Damn!'
"Katakan, ada apa?" tutur wanita renta yang lebih dulu berada di sana sesaat setelah ia membawa langkah gontai memasuki ruang steril lalu menghempas tubuhnya ke sofa.
Dia Nyonya Miranda. Di pangkuannya ada laptop yang memutar adegan terindah di panggung spektakuler. Kisah terunik sepanjang sejarah karir Adiyasa Group dalam penjagaan tangan dinginnya.
“Nenek, lihatlah cucu kesayanganmu itu!" serunya kesal. Memandang gusar wajah Nyonya Miranda lalu turun ke potongan video apik berdurasi lima menit milik Januar bersama Aya di panggung Adiyasa Copule TV beberapa jam lalu. “Ini semua gara-gara papa dan kakek yang suka membela,” gerutunya miring. Nyonya Miranda mengerling singkat.
“Cucuku tahu apa yang dia lakukan,” balasnya datar. “Dia tidak mungkin sengaja mencoreng wajahku demi ambisi,” tambahnya tegas dengan memandang lurus wajah tampan cucu keduanya yang kini tengah menjelma menjadi seorang pria kutu buku.
Danur menyesal telah membiarkan Aya berjalan sendirian di lorong alternatif.
'Seharusnya aku tidak membawanya ke sana,' pikirnya cemberut.
"Apa kau bilang sesuatu?" Nenek Miranda mengusik lamunan seakan mendengar kata hati sang cucu.
"Eh! Tidak, Nek! Aku hanya mengkhawatirkan Kakak."
"Jangan berkelit! Kau yang membawa dia ke acara itu, kan?" selidik Nyonya Miranda waspada. Dia tahu betul kemampuan ninja cucunya yang satu ini. "Apa kau mengetahui sesuatu?" telusurnya lagi. Danur mengangguk samar.
"Dia itu Aya, gadis mandiri yang baru kukenal beberapa bulan belakangan. Pemilik usaha Aya Bakery." Nyonya Miranda tampak berpikir keras mengingat sesuatu. "Pas mau ke acara, dapat kendala di jalan, terpisah dari keluarga, gitu. Ya sudah, kubantu dia dengan akses kita. Tapi aku juga butuh penyamaran buat ketemu nenek, bukan?" terangnya dan berharap sang nenek mau mengerti maksud dari ucapan itu.
Nyonya Miranda mengangguk. Dia baru menyadari sesuatu. "Pantas saja." Jika diteliti baik-baik, jenis gaun dan merk aksesoris yang dikenakan gadis itu berasal dari salon kecantikan miliknya, Allen Beauty Salon'. Kecurigaannya benar.
"Aya Bakery?" Miranda mengulang lamban. "Seperti pernah dengar," tuturnya pelan dan Danur hanya membalas dengan sebuah cengiran halus.
Siapa tidak kenal akan sifat Januar? Pemuda kaku yang tidak ingin diatur.
"Nenek tahu kan, bagaimana kakak? Sesuatu yang datang padanya tidak akan dilepas begitu saja." Danur terkesan menggerundel. "Bagaimana nasib Aya nanti? Jika kakak mengetahui Aya adalah gadis pengantar 'Bakery daily and fresh' ke Kantin Galaksi, apa yang bakal dilakukan pada Aya, Nek?"
Nenek Miranda mengangguk paham. "Itu akan berpengaruh pada mulus tidaknya usaha Aya Bakery ke depan," timpalnya memprediksi.
"Tidak akan kubiarkan jika kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi!" Danur menukas dan wanita renta itu menarik bibir samar. Sperti menangkap gelagat 'naksir' di sorot mata cucu keduanya ini terhadap gadis cantik yang baru ia sebut namanya.
Miranda mendengus kecil sembari memilih bersedekap. Lalu mengangkat telapak tangan kanannya membentuk kepalan tinju kemudian menempel pelan ke bibir yang sedikit mengerucut. Pikirannya menerawang.
'Aya Bakery, adakah hubunganmu dengan—ah, lupakan.' Hatinya menepis dugaan di kepala. Raut wajahnya pun tiba-tiba berubah mendung.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments