Pasukan Perbatasan

Tanah Outcast adalah tanah buangan. Dahulu kala, tanah Outcast merupakan tanah bagi para vampir. Di tempat ini pernah hidup jutaan vampir dengan damai. Mereka lahir, tumbuh, dan berkembang layaknya manusia. Mereka hidup dengan bebas di tanah ini, hingga suatu hari penyihir itu tiba, membunuh seluruh vampir yang ada di tanah ini dengan makhluk ciptaannya yaitu Chimera. Penyihir itu dikenal sebagai Witch of Blood dialah Meldanova. Vampir sesungguhnya, yang haus akan darah untuk seluruh makhluk yang memiliki jiwa.

Dari balik semak, Mikaru melihat segerombol manusia yang menyerupai kesatria dan mereka terlihat siap untuk berperang. Rombongan kesatria itu memiliki tubuh besar yang kekar, dilengkapi dengan baju zirah, pedang dan perisai. Kepala mereka tertutup helm baja dan jumlah mereka sekitar 100 orang.

"Si-siapa kalian?" tanya Mikaru.

Melihat Mikaru dan teman-temannya tak berdaya, para kesatria itu mendekatinya.

Dari apa yang Mikaru dengar, mereka berbicara dengan menggunakan bahasa asing. Bahasa yang mereka gunakan tidak pernah ia dengar selama hidup di dunia.

Berbekal bahasa isyarat Mikaru menyampaikan rasa terima kasih dengan cara membungkukan tubuhnya dihadapan para kesatria itu.

Merespon tindakan Mikaru, salah satu kesatria itu merangkul Mikaru lalu berkata dengan kalimat yang tidak ia pahami.

Kesatria itu menunjuk ke suatu tempat seraya meyakinkan Mikaru, mereka akan mendapatkan pertolongan dan keselamatan di sana.

Dari apa yang Mereka sampaikan Mikaru berusaha menerjemahkan tindakan dari para kesatria itu, ia berkesimpulan bahwa mereka hendak menolong Mikaru dan teman-temannya.

"Mereka orang-orang baik!" ucap Mikaru menyampaikan pada yang lainnya.

"Yay!" jawab Ririn dengan gembira.

"Akhirnya ...," gumam Sigit seraya tersenyum.

Kini Mikaru dan teman-temannya tertolong oleh para kesatria itu lalu dibawa ke benteng perbatasan mereka.

Dalam perjalanan menuju kediaman para kesatria itu, Mikaru memperhatikan orang-orang yang membawanya lalu bergumam.

"Bagaimana bisa tubuh mereka sekuat itu?"

Terus bergumam sambil memperhatikan para kesatria yang membawanya.

"Hanya dengan melempar tombak, mereka dapat menembus kulit chimera."

"Aku tahu betul seberapa keras kulit makhluk itu."

"Orang-orang ini, bukan orang biasa."

Diketahui para pasukan tersebut adalah pasukan perbatasan dari kerajaan Melkuera yang mendirikan benteng di pesisir pantai OutCast. Mikaru dan yang lainnya tengah berjalan melewati lembah menuju pesisir pantai dengan pengawalan ekstra yang dilakukan oleh para kesatria.

Dalam perjalanannya, kerap kali para kesatria bergurau guna mencairkan suasana setelah mendapati luka fisik dan mental yang dialami Mikaru dan yang lainnya.

Meski bahasa mereka berbeda tapi naluri mereka memahami sedikit demi sedikit kearah mana percakapan mereka.

Setelah menghabiskan tiga jam perjalanan, langit yang gelap perlahan menampakan cahayanya. Dari sisi kiri mereka, tampak mentari pagi menerangi perjalanan mereka.

"Ba-bagaimana bisa?" gumam Mikaru melihat matahari di pesisir pantai.

Tak terasa mereka telah sampai di penghujung pulau menuruni lembah, dari kejauhan tempat mereka berdiri tampak benteng berdiri dengan bendera kerajaan Melkuera di bawahnya, tepat di lepas pantai tanah OutCast.

Rumia mendekati Mikaru, lalu menarik baju bagian belakangnya.

"Mi-Mikaru ...," panggil Rumia.

Dari apa yang Mikaru lihat, mata Rumia tampak berkaca-kaca tanda ia sangat bahagia karena telah sampai di tempat yang aman.

Mengusap rambut Rumia, Mikaru tersenyum "Tidak apa-apa."

"Setelah malam yang panjang dan teror yang tidak ada habisnya, kini kami dapat beristirahat dengan tenang." gumam Mikaru.

Setelah sampai lepas pantai dataran OutCast, tak ada sedikitpun kabut yang menutupi langit. Sedikit membuat bingung Mikaru dan teman-temannya.

Sigit menghampiri Mikaru saat perjalanan menurunin bukit bersama para kesatria menuju benteng.

"Kau lihat?"

"Ya, kabutnya tidak ada disini," jawab Mikaru sambil memperhatikan sekelilingnya.

"Mikaru!" Ririn memanggil Mikaru sambil mengarahkan ponselnya.

"Bekerja!" Kompak Sigit dan Mikaru menjawab.

Jam dan kompas mulai aktif, meski setingannya dimulai saat ia berada dilepas pantai.

Para kesatria memperhatikan Mikaru dan yang lainnya tengah berdiskusi dengan bahasa yang sama sekali tidak ia mengerti.

Salah satu dari kesatria itu mendekati, bertanya tentang ponsel yang dipegang oleh Ririn.

Sambil menunjuk ponsel Ririn, salah satu kesatria itu berkata.

Meski tak mengerti ucapannya, namun Ririn memahami rasa penasaran dengan sesuatu yang Ririn pegang.

"Ini namanya ponsel," jawab Ririn sambil mengarahkan layarnya pada kesatria itu.

"Wooaaaa," jawab salah satu kesatria itu seolah tampak kagum.

"Oh iya, kita coba memotret ya." Ririn mengaktifkan kameranya lalu memotret salah satu kesatria itu.

"Ini lihat hasilnya," ucap Ririn memperlihatkan hasil fotonya.

"Wooaa hahaha ...." Kagum sambil tertawa salah satu kesatria itu menjulurkan tangannya.

"Rudof Sannah ...," ucapnya lalu menjulurkan tangannya pada Ririn.

"It-itu namamu, Rudof?"

Menggerakan telunjuk yang mengarah ke dadanya sambil menyebut. "Rudof Sannah." Lalu menunjuk Ririn sambil memiringkan kepalanya, seolah mengisyaratkan ia tidak tahu nama Ririn.

"Ohh haha ... aku Ririn Ocna, senang berkenalan denganmu." Sambung Ririn menjulurkan tangan.

Seseorang lagi mendekati Rudof lalu berbisik.

Dari apa yang Ririn lihat, Rudof tampak mengangguk-angguk seolah meng iya kan apa yang dikatakan oleh salah satu rekannya.

Senyum pamit Rudof kembali kebarisan depan meninggalkan Ririn.

Setelah Rudof pergi kembali kebarisan depan, Mira yang dirangkul Sigit mendekati Ririn, lalu bertanya. "Apa yang dia katakan?" tanya Mira.

"Aku juga tidak mengerti apa yang ia katakan, sepertinya ia penasaran dengan ponsel ini," jawab Ririn.

"Kukira kau mengerti bahasa mereka."

"Mana mungkin aku mengerti bahasa mereka dalam waktu singkat."

Setelah perjalanan panjang, mereka sampai di base camp para kesatria. Suasana di sana cukup ramai, Mikaru mengamati sekitar area lalu bergumam.

"Dari pada para prajurit, tempat ini dipenuhi oleh para penambang."

"Kurasa mereka adalah pasukan penjaga yang bertugas menjaga para penambang."

"Lalu mereka yang menyelamatkan kami, adalah para prajurit yang bertugas mengeksplorasi pulau ini."

"Dengan kata lain, mereka bukan asli penduduk pulau sini."

Salah satu kesatria itu mengiring Mikaru dan teman-temannya ke salah satu camp yang ada dinsana.

"Woaaaaa ... akhirnya aku bisa tidur nyenyak," ucap Ririn terbaring di atas jeramih yang dilapisi kain.

"Camp ini cukup luas," jawab Sigit sambil memperhatikan ruangan.

"Mungkin muat untuk 15 sampai 20 orang," jawab Mira.

Perhatian Sigit teralihkan ke arah Rumia yang mendekati Mikaru, kondisi Mikaru tampak lemah. Ia bersandar pada meja yang ada di sudut tenda.

"Kau tidak membersihkan diri?"

"Kurasa, aku akan beristirahat sebentar," jawab Mikaru

"Kalau begitu, aku, Ririn dan Mira duluan ya."

"Baiklah ...."

Mikaru tampak kelelahan dan kurang darah, ia tertidur sesaat setelah bersandar pada meja.

Rumia beranjak pergi mendekati Mira. "Setelah ini, bantu aku mengganti perban Mikaru ya," ajakan Rumia.

"Memang harusnya begitu kan?" Sambil memperhatikan luka pada tangan Mikaru.

Ririn memperhatikan luka Mikaru yang kian memburuk. Bau busuk sangat terasa menyengat.

"Apa tidak sebaiknya kita ganti perbannya?" Khawatir Ririn bertanya pada Rumia.

"Biarkan ia istirahat sebentar, sambil mencari perlengkapan untuk mengganti perbannya," sambung Mira.

Dari luar tenda, terdengar suara seseorang memanggil nama Ririn.

"Ohh ... Rudof," sambut Ririn keluar tenda.

Tampak Rudof bersama dua bawahannya membawa makanan dan beberapa perlengkapan medis.

Ririn tampak terbiasa berbicara dengan bahasa isyarat bersama Rudof.

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan, sepertinya Ririn bisa menjadi penghubung antara mereka dan para kesatria itu," gumam Sigit memperhatikan Ririn bersama Rudof.

"Ririn, tanyakan di mana toilet," ucap Sigit.

"Aa ... iya."

Setelah kedua bawahan Rudof meletakan makanan dan beberapa perlengkapan medis. Rudof mengarahkan mereka untuk memandu para wanita menuju toilet.

Ririn, Mira dan Rumia mengikutinya dengan senang hati. Tampak wajah bahagia saat Ririn melambaikan tangan pada Rudof yang tetap tinggal menemani Sigit.

Kondisi Mikaru makin memburuk, luka pada tangannya tampak membusuk. Tubuhnya mengalami demam tinggi dan tanpa sadar ia tertidur begitu sampai ke camp.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!