Makhluk mistis Chimera

Gemuruh teriakan dan raungan makhluk tak dikenal menambah kalut suasana. Di sela-sela lorong, terdengar langkah kaki tengah berlari ke sana kemari berharap pertolongan.

"To-tolong ...."

Seraya melirik ke sana kemari berharap ada seseorang menemukannya.

"Siapapun, tolong aku ...."

Dari matanya tampak air mata tertahan, wajah cemas dan kebingungan melewati lorong gelap tanpa penerangan.

Mira, wanita berusia 19 tahun yang berlari meninggalkan teman-temannya.

"Rawrrr ...." Dari kejauhan terdengar raungan yang menyakitkan gendang telinga.

Mira menjerit menangis menutup kedua telinganya.

"Sudah, hentikan ..., kumohon." Berharap semua ini hanyalah mimpi.

Setiap kali raungan makhluk itu terdengar, Mira membayangkan ketika makhluk itu menerkam temannya. Tak lagi ada keberanian untuk berlari ataupun kembali, ia memilih duduk dan menangisi keadaan saat ini.

"To-tolong ...."

Tersendu-sendu menangis meminta tolong.

"Siapapun ... tolong aku ...."

Fokus beralih pada Mikaru dan Rumia.

"Mikar ...." bisik Rumia sambil memegangi lengan Mikaru.

Melihat wajah Rumia yang tampak takut, perlahan Mikaru membawa Rumia melintasi jalan lain.

"Ayo ...." Dengan nada kecil Mikaru menarik tangan Rumia berlari melewati jalan memutar.

Jalan terlalu gelap dan berbahaya membuat Mikaru mengurungkan diri untuk berlari mengejar teman-temannya.

"Di sini ...." Melihat pintu bangunan bekas mall, Mikaru membawa Rumia masuk.

Menghela nafas setelah berlari Rumia bertanya. "Yang tadi itu apa?"

"Kurang lebih itu seperti chimera, makhluk fiksi yang ada di dalam cerita ...."

"Hmm ...?"

"Kau tidak takut?" ucap Mikaru

"Takut kanapa?"

"Ti-tidak ... maksudku, apa kau melihatnya?"

"Iya, itu Randy bukan?"

"Tubuhku sempat bergetar saat melihat makhluk itu melahap rekanku, tapi Rumah seperti tidak merasakan apapun," gumam Mikaru.

"I-iya, yang tadi itu Randy," terbata-bata Mikaru menjawab.

"Sebaiknya kita segera ke atas," ajak Mikaru memperhatikan anak tangga yang ada di depannya.

Berbekal penerangan dari ponsel, Mikaru dan Rumia menelusuri tiap sudut ruangan yang ada di bangunan tersebut.

"Mikaru ...," dengan nada lembut Rumia memanggil Mikaru.

"Ada apa?"

"Kenapa kita ke sini?"

"Di luar terlalu berbahaya, ke arah mana mereka berlari aku pun tidak tahu ...." Mengalihkan wajah Mikaru bergumam. "Terlebih aku mengkhawatirkanmu, Rumia. Aku tidak tahu ada di mana mereka jika terlalu lama ada di sana mungkin nasib serupa terjadi padamu, aku tidak ingin kau kenapa-kenapa ...."

"Tidak perlu memikirkan mereka ...," menatap sinis Rumia menjawab.

"E-eh?" terheran Mikaru melihat ekspresi Rumia.

Tampak amarah yang tertahan dari sorot matanya. "Mereka meninggalkan kita dan lari entah ke mana, itu balasan setimpal untuk mereka!"

"Ru-Rumia?"

"Aku tidak peduli dengan mereka, untuk apa kita mengejar dan mengikuti mereka, lagi pula aku tidak tahu siapa mereka".

"Tidak pernah sedikitpun aku melihat kerutan didahinya," gumam Mikaru menyaksikan keluhan Rumia.

"Sedikitpun aku tidak akan merasa kasihan pada mereka."

"Saat teman-teman di sekolah menjahilinya dia selalu berkata, ya sudah tidak apa-apa, sambil tersenyum memaafkan teman-temannya."

"Persetan dengan mereka semua!" Teriak Rumia.

"Te-tenangkan dirimu Rumia ...," terbata-bata Mikaru memegangi pundak Rumia.

"Huhu ...." Rumia tampak menangis menundukan pandangannya.

"Ternyata ...," gumam Mikaru saat memeluk tubuh Rumia. "Tangannya bergetar dan detak jantungnya terasa sangat kencang, tak banyak yang dapat kulakukan selain memeluk untuk menenangkannya."

Beralih pada Sigit dan Ririn yang tengah berlari melewati lorong-lorong. Jalanan yang sempit dan kurangnya penerangan, memaksa mereka untuk berlari dengan hati-hati. Sesaat terdengar suara teriakan cukup jelas.

"Tolong!" Teriakan dari seorang wanita, Sigit dan Ririn melihat ke arah teriakan itu.

"Mira!" ucap Sigit melirik Ririn.

Ririn menganggukan kepala seolah menjawab pertanyaan Sigit.

Suasana begitu mencekam, seakan tak ada tempat untuk berlari, itu yang dirasakan Mira saat ini. Sembari menangis tersedu-sedu di tengah lorong ia berbisik. "Huhu ... tolong ... huhu ... tolong ...."

Kilas balik teringat beberapa jam sebelum bencana itu terjadi, ia masih bersenang-senang bersama teman-temannya menghabiskan waktu bercanda gurau.

"To ...." Belum sempat berucap tiba-tiba seseorang menutup mulut Mira dan menyeretnya ke dalam bangunan tepat berada di sebelahnya.

"Pelankan suaramu Mira ...." Terengah-engah nafas Sigit setelah berlari.

"Apa kau terluka Mira?" tanya Ririn.

"Ka-kalian?!" terkejut Mira melihat kehadiran mereka berdua.

"Kami mendengar teriakanmu," ucap Sigit seraya mengelus rambut Mira. "Apa kau terluka?"

Menepis tangan Sigit, Mira bertanya "di-di mana yang lain?" Trauma mengingat monster yang melahap temannya kembali terbayang dipikiran Mira.

Dari apa yang Sigit perhatikan, Mira tampak ketakutan hingga tidak bisa membedakan antara teman dan makhluk buas itu.

Bergetar tubuh Ririn menjawab. "Mo ... monster itu ...."

Belum sempat Ririn menjawab, Mira berteriak histeris kehilangan kesadaran tampak seperti orang gila.

Sambil memegang pundaknya. "Mira!" Sigit mencoba menenangkannya. "Ini aku Sigit, temanmu!"

"Aaakkkhhhhh !" teriak Mira sambil mengacak-acak rambutnya.

Melihat Mira kehilangan kesadaran, Ririn pun berlutut menangisi kejadian yang menimpa mereka.

"Tak ada harapan, tak ada jalan keluar." Sigit melepaskan tangan dari pundak Mira "Menangislah ... dan berteriaklah ...."

Sigit menepi ke sudut ruangan lalu bersandar. "Cepat atau lambat kita pun akan mati."

Di dalam bangunan kumuh dan kotor mereka bertiga berlindung dari serangan chimera. Tak tergambar harapan di wajah ketiganya, hanya berdiam di ruangan menunggu kematian datang.

Beralih pada Mikaru dan Rumia.

Rumia tampak khawatir dengan luka yang ada ditangan Mikaru, dari balutannya, darah mulai menetes keluar.

"Mikaru, bagaimana lukamu?"

"Sedikit berdenyut, tapi tidak apa-apa."

"Darahmu ...." menatap luka Mikaru.

"Oh ayolah, ini tidak apa-apa." Sambil memegang pipi Rumia, Mikaru bertanya. "Dari pada ini, bagaimana luka ditelapak tanganmu?"

"Aku tidak merasakan sakit dari luka ini." Memalingkan wajah. "Kurasa, sudah sembuh." Dengan nada lembut Rumia menjawab lalu memeluk Mikaru.

"Tubuhnya bergetar ...," gumam Mikaru memeluk Rumia.

"Dari mana getaran ini berasal ..."

"Bukan hanya aku ...."

"Ia hanya bisa memelukku, sangat kuat, aku juga merasakan detak jantungnya ...."

"Aku tahu betul apa yang dia rasakan saat ini ..."

"Maafkan aku Rumia ...."

"Aku benar-benar malu menjadi laki-laki yang tidak bisa mengatasi rasa takutmu ...," ungkap Mikaru di dalam hati kecilnya.

Malam begitu panjang, tak banyak yang dapat mereka lakukan kecuali menunggu. Entah itu seseorang yang menyelamatkan atau kematian yang akan datang. Raungan itu terus terdengar dari luar. Di sela-sela bangunan terdengar teriakan meminta pertolongan. Sigit dan Mikaru memahami betul kondisi saat itu, empati benar-benar tidak diperlukan, rasa takut teramat besar mengalahkan semua perasaan, sekalipun tenggorokan mereka kering, perut mereka lapar dan luka mereka terbuka, tak sedikit pun mereka beranjak dari tempat itu.

Kebisingan di luar bangunan perlahan berkurang, malam yang panjang telah berlalu, bersama dengan terbitnya mentari pagi. Makhluk yang disebut chimera itu kembali ke sarang mereka.

Kicauan burung di pagi hari yang merdu, membangunkan Mikaru yang tengah tertidur lelap.

Perlahan Mikaru membuka matanya. "Mo-monsternya?!" Hendak berdiri melihat jendela, namun tertahan oleh pelukan Rumia. "Hmm?" Tersenyum Mikaru melihat Rumia tertidur pulas sambil memeluk tubuhnya.

"Hey ... bangun." Dengan jarinya, ia mencubit pipi Rumia.

"Hmmm ...." Menepis jari Mikaru, Rumia melanjutkan tidurnya.

"Sepertinya, monster itu sudah pergi ...."

"Be-benarkah?" Bersemangat Rumia bangun mendengar ucapan Mikaru.

Dari sela-sela celah bangunan, cahaya matahari menerangi ruangan tempat mereka beristirahat.

Perlahan Mikaru bangkit mencari toilet di bangunan bekas mall yang ia tempati.

"Mau kemana?" tanya Rumia memperhatikan Mikaru berjalan ke luar ruangan.

"Cuma mau lihat-lihat." Seraya beranjak pergi meninggalkan Rumia.

"Ikut!" susul Rumia.

Mereka berdua menyusuri bangunan bekas mall menemukan beberapa pakaian ganti lalu membersihkan diri.

Di ruang terpisah Mikaru melepas pakaian kotornya, setelah itu ia termenung melihat pakaiannya yang mengeras. "Darahnya sampai mengering seperti ini."

Saat hendak memakai baju baru yang ia dapatkan, ia melirik tangan kanannya yang berbalut perban putih yang telah kusam. "Kurasa, aku sudah terbiasa tanpa tangan kanan ini ...." Mengingat tangannya, perlahan matanya berkaca-kaca. "Tapi ... aku belum terbiasa tanpamu ...." Keseimbangannya pun hilang, seiring jatuhnya air mata ia bersandar pada tembok, lantas terduduk beberapa saat mengingat kematian ibunya.

Bukan hal mudah melupakan sosok seorang ibu yang telah berjuang membesarkannya seorang diri.

"Mikaru?" Panggil Rumia yang menunggunya di depan ruang ganti.

"Ya ...," jawab Mikaru membuka pintu.

"Kau terlihat cocok dengan pakaian itu," puji Mikaru memandangi penampilan Rumia.

"Kau melihat ke arah mana? Mi-ka-ru ...."

"Oh ... haha ...." Tersipu malu Mikaru mengalihkan pandangannya.

"Lukamu?" tanya Rumia melihat luka di tangan Mikaru.

"Aku tidak bisa mengganti perbannya, terlalu lengket."

"Biar ku bantu," ucap Rumia lekas mencari beberapa bahan untuk mengganti perban Mikaru.

Setelah beberapa menit Rumia mengumpulkan bahan, ia mencoba membuka perban pada luka Mikaru.

"Akkhh!" teriak Mikaru.

"Sakit?"

"Tanpa ditanyapun harusnya sudah tau."

Baru beberapa balutan dilepas, darah Mikaru kembali menetes.

"Ti-tidak usah Rumia, tidak apa-apa." Menahan tangan Rumia. "Lukanya masih belum pulih, sebaiknya tidak usah dilepas dulu."

"Tapi perban ini sudah kotor."

"Awas!" Sontak berdiri Mikaru menarik tangan Rumia.

Tetesan luka mikaru yang jatuh ke lantai tiba-tiba mengeluarkan uap panas, lalu meresap tanpa sisa di lantai bangunan yang mereka tempati.

Rumia yang kebingungan melihat perilaku Mikaru. "Da-darahnya ...."

"Sebenernya ...," gumam Mikaru menatap tajam. "Tempat apa ini ...."

Beralih pada Sigit, Mira dan Ririn.

Berbaring terlentang lemah Mira berucap "Mereka sudah pergi ...."

"Hmm?" sambut Ririn melirik ke arah Mira.

Sigit menyadari maksud dari ucapan Mira lantas beranjak ke luar bangunan.

Hendak melewati Ririn yang tengah duduk bersandar, celana panjang Sigit ditahan oleh Ririn. "Mau ke mana?"

Hanya melirik tanpa menjawab Sigit melanjutkan langkah kakinya.

Pagi ini tampak tenang, sangat tenang sampai-sampai suara angin yang bertiup lembut melewati telinganya terdengar. Diiringi kicauan burung, Sigit memperhatikan langit. "Di mana ...." Langit tampak ditutupi kabut tebal yang kuning hingga matahari tak tampak wujud dan keberadaannya. "Di mana kita ini ...."

Para penduduk kota yang terhisap ke dalam lubang hitam terdampar di tanah Outcast. Bagian lain dari bumi yang tidak terjamah oleh manusia dan tidak ditemukan dalam peta dunia. Daratan Outcast adalah daratan yang memiliki luas 3 kali lipat dari Indonesia. Sebuah daratan yang diselimuti kabut kuning tebal menutupi langit.

Kabut tebal yang menutupi langit membuat suasana pagi itu terasa senja, Mikaru terdiam sesaat di depan pintu menatap langit, sementara Rumia tampak ketakutan memeluk erat tangan kiri Mikaru.

"Te-tempat apa ini sebenarnya."

Dari apa yang Mikaru lihat saat ini, banyak potongan tubuh mengering. "Harusnya ...."

Sisa-sisa serangan chimera semalam membuatnya berfikir. "Banyak bekas darah ...."

Chimera tak memakan manusia seutuhnya. "Tapi kenapa ...."

Mereka hanya mencabik-cabik layaknya mesin pembunuh.

Mikaru memperhatikan sekelilingnya, ia ingin mencoba sesuatu yang dapat melukainya.

"Apa yang mau kau lakukan?" tanya Rumia.

"Ada sesuatu yang membuatku bingung ...."

"Apa?"

Setelah menusukan pecahan kaca ke telapak tangannya, darah Mikaru pun jatuh ke tanah.

Tanah itu menghisap darahnya sampai kering tak bersisa dan tidak meninggalkan bau sedikitpun.

Sambil melihat tetesan darah Mikaru berucap "Begitu?"

Bingung apa yang dilakukan Mikaru, Rumia bertanya. "Darahnya, kenapa?"

"Bukan hanya makhluk itu, bahkan tanah ini juga tampak menghisap darah manusia."

"maksudnya?"

"Lihat sisa-sisa serangan mahkluk semalam, mereka hanya membunuh tapi yang menikmatinya adalah tanah ini."

"Aku tidak mengerti, apa maksudnya Mikaru."

"Sebaiknya, kita pergi ke tempat mahkluk itu menyerang Rama dan Randy."

Mikaru dan Rumia bergegas pergi ke tempat serangan mahkluk itu semalam, sesampainya di sana.

Sesuai dugaan Mikaru, mahkluk itu tidak memakan sepenuhnya tubuh Rama dan Randy. Mereka hanya membunuh dan menumpahkan darah sebanyak-banyaknya agar dapat diserap oleh tanah ini.

"Mikaruu ...!!" Teriak seseorang dari kejauhan.

"Hmm?" Lirik ke sumber suara.

"Mereka selamat?!" jawab Rumia.

Sigit menghampiri Mikaru dan Rumia "Bagaimana keaadaan kalian?"

"Tidak terlalu baik," ucap Mikaru sambil memandangi mayat Randy dan Rama.

Ririn dan Mira yang menyusul melirik ketelapak tangan Mikaru.

"Tanganmu? kenapa ...?" tanya Mira melihat telapak tangan Mikaru.

"Perhatikan," ucap Mikaru sambil meremas telapak tangannya untuk mengeluarkan darah.

Sigit, Mira dan Ririn menatap tetesan darah Mikaru yang diserap oleh tanah, Sigit yang mulai mendekati dan memperhatikan tanah tempat Mikaru meneteskan darah. "Teteskan lagi ...," ucapnya menatap serius.

"Apa yang terjadi ?" tanya Ririn.

"Tanah yang kita pijaki ini sepertinya hidup ...," jawab Mira

"Mira?" bingung Ririn melihat Mira.

"Sepertinya dia telah sadar dari stresnya," gumam Sigit.

"Benar-benar terserap sampai tak bersisa," jawab Mira sambil memegangi tanah yang terkena tetesan darah Mikaru.

"Kita tidak bisa berlama-lama di tempat seperti ini," ucap Mikaru.

Berdiri Sigit berkata. "Kau benar, selagi masih siang dan monster itu tidak ada di sini."

"Ayo kita pergi dari sini," ajak Ririn.

"Sambil membalut luka ditangan Mikaru, Rumia menjawab. "Sebaiknya luka ini diobati dulu".

Masih memandangi tanah yang tertetes darah Mikaru, Mira berkata. "Mau kemana?"

"Tentu saja keluar dari tempat ini ...." Semangat Ririn menjawab.

"Kau tau, saat aku belum bertemu kalian, aku menemukan ini," jawab Mira menunjukan kompas. "Salah satu mayat memegangnya, benda ini sama sekali tidak menunjukan di mana arah utara, kurasa ia berlari mencari jalan keluar."

"Mungkin itu rusak ...." Belum sempat Sigit menjawab, Mira memotong ucapannya.

"Kau tau, pengaturan waktu diponsel dan jam tanganmu tidak berfungsi? apa ponsel dan jammu rusak? kau lihat kompas ini, ia bergerak seperti kebingungan?" teriak Mira yang tampak marah pada Sigit sambil menunjukan kompas yang ia genggam.

"Jadi itu yang membuatnya berteriak histeris semalam ...," gumam Sigit.

"Kau lihat ke langit apa kau bisa melihat keberadaan matahari terbit di tiimur dan tenggelam di barat? apa kau punya petunjuk arah mana yang dapat membuatmu keluar dari tempat ini?" Nada keras Mira yang tampak marah perlahan mengeluarkan air mata.

Terdiam sesaat mereka mendengar ucapan Mira.

"Kiita seperti hewan ternak yang akan segera dipotong ...."

"Kita tidak bisa kemana-mana ...."

Perlahan Sigit mendekati Mira, lalu memeluknya. "Aku memahami apa yang kau rasakan ...."

Melepas pelukan Sigit. "Aku tidak butuh belas kasihanmu!"

Bingung Sigit melihat ekspresi Mira yang tampak semakin marah.

"Gunakan isi kepalamu untuk keluar dari tempat ini, bukan pelukanmu!" tegas Mira merespon pelukan Sigit.

"Di sana ...," ucap Mikaru sambil menunjuk ke arah gunung yang tampak samar tertutup kabut. "Aku tidak tahu apa yang kalian ributkan, aku akan ke sana dengan Rumia."

Beranjak pergi Mikaru meninggalkan Sigit, Mira dan Ririn.

"Mikaru tunggu ...," jawab Rumia berlari mengikuti Mikaru.

Gunung OutCast adalah satu-satunya Gunung yang dapat dilihat di tengah kabut, kenapa bisa terlihat meski di sana terdapat kabut. Hal itu dikarenakan cara seorang penjerat untuk menjerat mangsanya.

Pemilik dari eksistensi yang bertanggung jawab atas keanehan-keanehan di tanah itu tidak lain adalah perbuatan dari seorang penyihir. Penyihir itu dijuluki Witch of Ensnare. Dialah yang menciptakan chimera, dia lah yang membuat tempat itu tertutup kabut dan dia pula lah yang membuat segala sesuatu petunjuk arah tidak dapat berkerja di tanah Outcast.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!