Menembus Kabut

Tebalnya kabut yang menyelimuti langit-langit reruntuhan kota, tak memberi celah bagi matahari untuk menampakkan keberadaannya. Menyusuri sudut kota tanpa petunjuk arah, Mikaru memutuskan untuk segera pergi menuju gunung tinggi yang tampak samar dari reruntuhan kota. Baginya, dari ketinggian ia dapat menembus kabut tebal dan melihat dengan jelas keadaan sekitarnya.

Menjarah perbekalan dan perlengkapan yang tak memiliki tuan, kini mereka berlima mempersiapkan diri untuk meninggalkan reruntuhan kota.

"Bagaimana?" tanya Mikaru pada yang lainnya.

"Tunggu sebentar," jawab Mira.

Melihat ke empat temannya yang sedang sibuk berkemas, Mikaru melirik kesebuah toko di sebelah kanan tempat ia berdiri, tampak sebuah pisau sepanjang 30cm yang terpampang di etalase.

Beranjak pergi meninggalkan teman-temannya, ia menuju ketempat itu dan menemukan alat-alat perburuan.

"Perlengkapan perburuan?" gumam Mikaru melihat-lihat isi ruangan.

"Kurasa senapan angin ini tidak efektif untuk perlindungan diri," gumamnya melihat beberapa senapan yang biasa digunakan untuk berburu hewan.

"Kurasa ini cukup," gumamnya mengambil pisau sepanjang 30cm yang ia letakan di pinggang bagian belakang.

Keempat temannya sudah siap, lalu menghampiri Mikaru.

"Apa yang kau cari?" tanya Mira menghampiri Mikaru.

"Tidak mungkin kita terus berlari kan?" jawab Mikaru sambil mencoba ketajaman pisau memberi isyarat untuk melakukan perlawanan saat diserang.

"Mira-Mira, coba lihat ...," seruan Ririn berlari menghampiri Mira, tampak memamerkan pakaian yang ia dapat dari toko pakaian sebelah.

"Kau ini ...." Menghela nafas memperhatikan pakaian Ririn.

Ririn tampak mengenakan celana pendek dan jaket biru muda yang memiliki kerudung seperti telinga kelinci.

"Sudah-sudah ...," sambung Sigit melerai Ririn dan Mira.

"Mikaru, aku menemukan ini," ucap Rumia mendekati Mikaru sambil menunjukan sesuatu yang ia bawa.

"Di mana kau menemukannya?" tanya Mikaru pada Rumia.

"Di dalam toilet wanita toko pakaian tadi," jawab Rumia.

"Kosong ...," gumam Mikaru memeriksa pistol yang dibawa Rumia. "Benda ini sangat berguna, tapi tidak ada amunisinya!" ucapnya lalu menyimpan senjata api tersebut di saku celananya.

"Bisa kita pergi sekarang?" tanya Mira.

"Baiklah," jawab Mikaru beranjak pergi.

Kini mereka berlima memulai perjalanan menuju bukit yang tampak dari reruntuhan kota. Hari yang paling melelahkan dalam hidup mereka, di mana mereka berlima harus berjalan menuju bukit tanpa mengenakan kendaraan. Delapan jam setelah perjalan mereka, sedikitpun tak tampak ujung dari reruntuhan kota.

Mikaru menyadari sesuatu yang janggal terjadi pada mereka. Di tengah kabut yang tebal, harusnya padangan mereka terbatas. Namun, "Kenapa kabut ini tidak menutupi gunung itu," gumam Mikaru.

Gunung OutCast adalah inti pulau OutCast, di mana di atasnya terdapat sebuah pohon raksasa yang disebut dengan pohon Ensnare. Siapapun yang memasuki dataran OutCast pasti akan tersesat dikarenakan eksistensi dari keberadaan penyihir Ensnare. Penyihir ini dapat merusak seluruh jenis navigasi yang memungkinkan orang-orang tidak dapat keluar dari pulau tersebut dan yang menjadi perangkap utama bagi orang-orang tersesat adalah puncak tertinggi OutCast, yaitu tempat tinggal Penyihir Ensnare.

"Huaaagghh ... bi-bisa kita berhenti sebentar?" Dengan nafas terengah-engah Ririn memintak untuk beristirahat sejenak.

"Kau ingin bermalam bersama monster itu lagi?" tanya Mira pada Ririn.

"Aku be-benar-benar lelah ... hah ...," jawab Ririn dengan nafas terengah-engah tampak sulit sekali bernafas.

"Berikan tasmu padaku," ucap Sigit mengambil tas dukung yang dibawa Ririn.

"Te-terima kasih," ucap Ririn.

"Sebelum gelap kita harus keluar dari kota ini," ucap Mikaru.

Hari yang panjang diisi dengan perjalanan tanpa henti, perut yang kosong dan tenggorokan yang kering tak menghentikan langkah mereka. Namun tubuh mereka kini tampak mencapai batasnya. Rasa lelah yang mengharuskan mereka untuk berhenti dan beristirahat.

"Entah sudah berapa lama kami berjalan, bahkan stopwatch ini pun tidak berfungsi," gumam Mikaru memperhatikan stopwatch yang ia dapat di toko perburuan.

"Kita akan beristirahat di rumah itu ...," tunjuk Mikaru pada bangunan tepat berada divdepan mereka.

"Akhirnya ...," jawab Ririn tampak bahagia.

Mikaru mencoba menghitung berapa lama mereka berjalan, upaya itu juga tidak membuahkan hasil. Benar-benar tidak ada parameter yang dapat mengukur perjalanan mereka.

Delapan jam perjalanan mereka tempuh tanpa henti, kini mereka beristirahat di bangunan yang kondisinya 40% dari bangunan tersebut telah hancur.

"Benar-benar tidak layak untuk ditempati," ucap Sigit melihat kondisi bangunan itu.

"Mau bagaimana lagi, tempat ini berbeda dengan sebelumnya." Menanggapi Sigit, Mikaru menjelaskan keadaan. "Tidak ada yang lebih layak disinggahi dari pada tempat ini kan." Tunjuk Mikaru sambil memperhatikan sekitar dari tempat mereka berdiri.

"Kalian lihat itu?" tunjuk Mira tampak pepohonan dibalik kabut tebal yang terlihat sangat besar.

"Be-besar sekali," sambung Ririn menanggapi ucapan Mira.

"Di-di mana kita sebenarnya." Terpatah-patah Sigit menanggapi Mira.

Tampak wajah cemas akan sesuatu yang tidak mereka ketahui dengan kehidupan apa yang ada dibalik pepohonan raksasa tersebut.

Kabut tebal yang membatasi jarak pandang mereka membuat mereka tidak menyadari telah berada diujung reruntuhan kota di mana tempat itu terhampar hutan raksasa.

"Aku benar-benar tidak menyadari kita sudah sampai ke ujung reruntuhan," gumam Mikaru terbujur kaku melihat hutan yang diisi pepohonan rindang raksasa.

Tampak raut wajah cemas Sigit memperhatikan Mikaru. "Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan, sebaiknya kita menetap di sini sampai besok pagi."

Sigit tidak ingin mengambil resiko untuk melakukan perjalanan disaat gelap malam, ia memintak Mikaru untuk beristirahat di sini sampai keesokan paginya, Sigit berasumsi jika ada makhluk yang jauh lebih berbahaya dari Chimera dibalik hutan raksasa ini.

Memperhatikan gestur tubuh teman-temannya yang tampak lelah, Mikaru menjawab. "Kau benar, sebaiknya kita bermalam di sini dan melanjutkan perjalanan besok pagi." Berjalan melangkah ke arah bangunan yang akan mereka tempati, Mikaru berucap. "Sebelum gelap, sebaiknya kita sudah bersiap dan tidak ada aktifitas untuk malam hari".

Di dalam ruangan 4x6 meter ini, mereka membersihkan ruangan tersebut, dari debu dan reruntuhan bangunan. Mira memperhatikan langit-langit ruangan yang berlubang cukup besar. Rasa cemas Mira jika nanti makhluk itu kembali , lalu masuk dari langit-langit yang berlubang.

"Apa sebaiknya kita perbaiki atap ini?" Tunjuk Mira ke arah atap yang berlubang.

"Waktu kita tidak akan cukup," jawab Mikaru.

"Bagaimana jika dia (chimera) kembali?" tanya Mira.

"Kita tidak akan beraktifitas saat malam, kita akan tidur dengan sleeping bag," ungkap Mikaru.

Menanggapi kecemasan Mira, Mikaru bergumam. "Semoga dugaanku benar."

"Hanya ini yang aku dapat tadi." Terdengar suara Ririn sedang berbicara dengan Rumia.

"Tidak apa-apa, itu cukup," jawab Rumia.

Ririn dan Rumia tengah mempersiapkan makan-makanan instan.

"Mikaru, temani aku ...," panggil Sigit mengajak Mikaru pergi mencari kayu bakar.

Setelah membersihkan tempat, Ririn, Mira dan Rumia mempersiapkan hidangan yang terdiri dari beberapa mie instan, nugget, telur dan roti. Sementara Mikaru dan Sigit mencari beberapa kayu bakar.

Perlahan mereka mendekati hutan, tak hanya satu tapi seluruh pohon didalamnya berukuran besar. Sampai-sampai mereka dibuat takjub dengan buah yang jatuh sebesar bola yoga dengan diameter 70-90 cm.

Sambil menunjuk buah besar dengan raut wajah bingung Mikaru bertanya. "Ini ...? buah sebesar ini, apa dari pohon ini?"

"Kurasa, begitu ...." Sambil memusatkan pandangan pada puncak pohon yang tertutup kabut tebal.

Mikaru dan Sigit dibuat terheran-heran, bagaimana bisa pohon setinggi ini tidak terlihat ujungnya, sementara puncak gunung yang menjadi penuntun mereka kesini terlihat.

Terlintas dipikiran Mikaru. "apa ini delusi?"  gumamnya sambil memikirkan sesuatu yang ada dipuncak gunung itu.

Menyampingkan keanehan-keanehan yang mereka alami, Sigit dan Mikaru kembali ke tempat peristirahatannya.

Langit mulai kehilangan sinarnya. Setelah makan, Mikaru menyalakan api unggun di luar bangunan, guna menerangi jalan dan memperluas pandangan.

Saat hendak beristirahat, Rumia mendekati Mikaru lalu menanyakan keadaan dari luka yang dialaminya. "Bagaimana lukamu?"

"Ti-tidak apa-apa." Terkejut dengan kedatangan Rumia secara tiba-tiba. "Kurasa, aku mulai terbiasa tanpa tangan ini ...," Melirik ke arah luka.

"Perbannya harus digan-(ganti)." Memotong ucapan Rumia, Mira bertanya. "Kalian saling kenal?"

"Rumia teman sekolahku ..." jawab Mikaru.

"Teman sekolah?" Merasa kurang puas dengan jawaban Mikaru. "Tapi, kalian terlalu dekat ...."

Mikaru memberi isyarat pada Mira bahwa Rumia adalah orang yang spesial bagi nya. "Dulunya aku anak yatim, ia berjuang membesarkanku seorang diri. Lalu, setelah bencana ini aku kehilangan dia. Dan sekarang, hanya ini satu-satunya yang berharga untukku." Membelai lembut rambut Rumia. "Kita akan kembali bersama ...."

Mira memahami ucapan Mikaru. "Begitu ...." Sambil menyelimuti diri dengan sleeping bag. "Baiklah, waktunya kita tidur ...."

Setelah makan, mereka beristirahat untuk tidak melakukan aktifitas saat malam hari. Mikaru meminta mereka semua untuk tidak panik saat makhluk itu kembali.

Untuk berjaga-jaga Mikaru dan Sigit menyalakan api unggun di luar bangunan agar area sekitar tetap terlihat dimata mereka. Lalu Mikaru dan Sigit mempersiapkan kaleng yang diisi dengan batu, tergantung di bangunan depan bangunan yang mereka tempati lalu di ikat dengan tali sampai ke tempat mereka. Tujuannya adalah jika chimera itu kembali mereka bisa memotong tali itu dan membuat suara yang dapat mengalihkan makhluk itu.

"Kejadian terburuk jika mahkluk itu kembali, aku minta kalian untuk tidak berlari pergi," ucap Mikaru sebelum mereka semua tertidur.

"Maksudmu?" tanya Mira.

"Ini hanya perkiraanku saja, sebaiknya kurangi pergerakan jika makhluk itu kembali. Tutupi diri kalian dengan sleeping bag sampai kulit kalian tidak terlihat." Mikaru menjelaskan.

"Tu-tunggu ..., aku bisa mati kehabisan nafas," ucap Ririn menanggapi penjelasan Mikaru.

Mendengar ucapan Mikaru, Mira terbangun ingin mendengar penjelasannya. "Apa yang kau pikirkan ...."

"Meskipun makhluk itu terlihat aneh (chimera), tetap saja mereka itu golongan hewan. Beberapa kemampuan mereka yang dipadukan antara singa dan ular, memiliki titik buta dan kelemahan dalam memilih mangsa kan ...?" Penjelasan Mikaru.

"Maksudmu sensor suhu tubuh yang dimiliki ular dan objek bergerak yang dilihat singa ...," sambung Mira.

"Yah ..., kurang lebih seperti itu," jawab Mikaru.

Karena kemampuan dasar dari chimera adalah hewan ciptaan yang memiliki dua kemampuan. Mikaru mencoba mengkaitkan kemampuan singa dan ular yang dipadukan, hanya teori liar Mikaru yang belum terbukti kebenarannya.

Seusai perbincangan, mereka pun beristirahat dengan kesiapan yang telah direncanakan Mikaru.

Malam semakin larut, diperkuat dengan udara dingin dan suasana yang begitu hening. Kobaran api yang menyala perlahan mengecil. Terdengar dekuran dan langkah kaki yang menandakan makhluk itu telah kembali.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!