Tanah OutCast

Beberapa jam setelah terdampar di daratan tak dikenal, Mikaru bertemu dengan sembilan orang yang bersembunyi di sebuah bangunan usang hampir hancur. Diantara mereka ada Rumia, merupakan teman sekolah Mikaru Donpa.

Perlahan Mikaru membuka mata. "Akh ...," desah Mikaru saat kesadarannya mulai kembali.

Melihat pergerakan Mikaru, Sigit bertanya mengenai kondisi Mikaru.

"Bagaimana? apa sudah baikkan?"

"Kau beruntung, lukamu cepat sekali sembuh,"

sambung Mira menatap luka Mikaru.

Sambil memperhatikan luka ditangan kanan Mikaru, Sigit menjawab pertanyaan Mira.

"Kurasa ini efek dari lubang hitam itu?"

"Yah, kurasa begitu," lanjut Mira, membalikan badan.

"Baiklah, bisa kita pergi dari tempat ini?"

"Tu-tunggu ...," tanya Mikaru tampak kebingungan melihat wajah Mira.

"Ma-?" melihat ekspresi Mira yang acuh membalikan badan, pandangan Mikaru teralih ke Sigit. "Mau kemana?"

Sambung Rumia. "Sudah, kita ikutin saja." Senyum lembut seraya menggenggam tangan kiri Mikaru.

Fokus Mikaru teralih pada tangan Rumia yang menggengam tangannya. "Ta-tanganmu, kenapa?" Melihat perban yang menutupi pergelangan tangan Rumia.

"Tidak usah khawatir, ini hanya luka ringan," jawab Rumia sambil melirik ke teman-teman lainnya.

Sigit mendekati Mikaru lantas menjelaskan. "Semua orang yang ada di sini mengalami luka ringan dan luka bakar. Kau mungkin tidak merasakannya karena kesadaranmu hilang. Saat berada di dalam lubang hitam, kita terlempar sangat cepat hingga mengakibatkan gesekan pada udara. Beruntungnya kulit kita semua tidak mengalami luka yang cukup parah," penjelasan Sigit kepada Mikaru.

Mikaru melirik tangan kanannya dan memperhatikan pakaian yang ia kenakan, memang ada beberapa bagian bekas bakar.

"Kurasa, jika saja aku tidak berada ditumpukan mayat itu, mungkin aku sudah mati saat mendarat,"

gumam Mikaru melihat pakaiannya penuh bercak darah.

Sigit mengira bahwa luka bakar yang mereka alami adalah dampak dari gesekan udara. Sebenarnya itu adalah efek dari mana yang besar dan mengakibatkan manusia bisa mati dengan berbagai kondisi, seperti melebur, terbakar, meledak, dan bahkan diantara mereka ada yang meleleh.

Ada begitu banyak efek samping yang diakibatkan mana.

Mana adalah energi sihir yang tercipta dari energi makhluk hidup dan energi alam, seperti reaksi atom antara fisi yang bertemu dengan fusi. Begitu pula dengan mana.

Namun, siapa makhluk yang bertanggung jawab atas terciptanya lubang hitam itupun masih belum diketahui.

Dari sudut ruangan Mikaru melihat Sigit dan yang lainnya tengah berdiskusi.

"Kita berjalan melewati gang sempit atau memasuki bangunan kosong...?" memintak pendapat dan saran pada teman-temannya Sigit bertanya.

menyambung pertanyaan Sigit, Randy memberi pendapat "Dari pada memutar melewati gang, kenapa tidak berlari saja ke depan...".

menyilangkan tangan seolah tampak sedang memikirkan sesuatu, Sigit menjawab "Tempat terbuka sangat beresiko...".

menanggapi ucapan Sigit, Mira menjawab "Maksudmu makhluk itu?".

seolah mengerti maksudnya, Sigit menjawab "Itu benar, tapi jalur manapun," ucap Sigit menatap serius kearah jendela. "Semua jalan yang kita pilih memiliki resiko."

Keputusan telah diambil, kini mereka memutuskan pergi mencari jalan keluar. Suasana masih mencekam, rasa takut akan ketidaktahuan terhadap lingkungan membuat mereka kerap kali terkejut oleh suara-suara ledakan dan teriakan dari kejauhan. Bahkan, diantara suara itu mereka mendengar raungan layakanya singa yang mengaum sangat keras.

Sambil melihat kondisi kota yang porak-poranda Ririn berkata. "Entah kenapa aku merasa aman ditempat tadi."

Menanggapi ucapan Ririn. "Di tengah-tengah teriakan yang kita dengar ini, kau merasa aman?" jawab Mira dengan tatapan tajam.

Kecemasan Mira membuat dirinya tidak merasa nyaman selama ada disituasi ini, berbeda dengan Ririn.

Mira adalah karakter yang dingin. Ia akan pergi bila merasa dirinya tidak nyaman, sekalipun ia harus meninggalkan teman-temannya.

"Ta-tapi, kita bisa menunggu seseorang yang akan menolong besok pagi kan?" jawab Ririn terbata-bata.

Tersenyum Mira mendengar ucapan Ririn.

"Jika kau merasa aman di sana, kembali lah dan kami akan terus melanjutkan perjalanan kami."

Merasa apa yang diucapkannya itu salah, lantas Ririn meminta maaf. "Ma-maaf ...."

"Sudah-sudah hentikan ...," Sigit menengahi Mira dan Ririn.

Umumnya manusia memiliki kecemasan dan ketakutan akan sesuatu bahaya yang hendak menjumpai mereka. Ririn dan Mira merasakan hal itu, namun kepribadian mereka berbeda. Mira memilih untuk segera meninggalkan tempat itu sementara Ririn lebih memilih berdiam menunggu seseorang datang menolongnya.

Berbekal cahaya ponsel, kelompok mereka berjalan melewati gang-gang sempit yang dipenuhi dengan puing-puing dari reruntuhan bangunan. Kondisi jalan yang seperti itu mengharuskan mereka untuk berhati-hati saat berjalan. Salah sedikit saja bisa melukai kaki mereka.

"Eeeh?" Ririn tampak kebingungan melihat ponselnya.

Pandangan Sigit teralih menanggapi Ririn. "Ada apa?" tanya Sigit.

Tampak kebingungan Ririn memperhatikan ponsel dan jam tangan yang ia kenakan. "Pengaturan waktu ponsel dan jam tanganku tidak berfungsi."

"Ah bener ...," sambung yang lainnya. "Iya ponselku juga."

Mereka semua dibuat panik dengan pengaturan waktu yang tidak berkerja di tempat itu. Tak hanya jam digital, jam analog pun juga tidak berkerja.

Sigit mencoba menyimpulkan apa yang terlintas dipikirannya. "Mungkin rusak atau terbentur."

"Jika rusak, harusnya ponsel ini mati kan?" jawab Ririn.

Perjalanan mereka terhenti sesaat memperhatikan aksesoris mereka, namun gerak gerik mereka ternyata telah diintai oleh dua makhluk misterius dari atap bangunan. Seakan makhluk itu menunggu momen yang pas untuk menerkam buruannya.

"Tapi, ponsel ini masih hidup ...," ucap Ririn sambil memperlihatkan ponselnya.

"Kau benar, ponselku juga," sambung Aprizal.

Mereka pun bersama-sama memperhatikan ponsel. Di sisi lain makhluk misterius yang mengintai merek tengah menanti waktu untuk melakukan penyerangan.

Kewaspadaan mereka berkurang saat memperhatikan ponsel. Dan tiba-tiba dari atap bangunan ada dua ular yang menyerang Agung dan Aprizal tanpa tau kedatangannya dari mana. Seketika ular itu langsung melilit mereka berdua.

"Aa-apa ini?" ucap Aprizal sambil mencoba melepaskan lilitan ular tersebut.

"Aaaa ... to-tolong!" teriak Agung.

Tepat dihadapan Mikaru, ular raksasa melilit Aprizal dan Agung hingga terdengar suara otot dan sendi-sendi pecah dari mereka berdua.

"To-tolong aku," ucap Agung terbata-bata menahan sakit dari lilitan ular.

Mira yang panik, tanpa pikir panjang langsung berlari meninggalkan yang lainnya.

"Mira ...! tunggu ...!" teriak Sigit.

Mereka pun memilih lari meninggalkan Agung dan Aprizal. Keadaan yang mengharuskan mereka untuk melakukan hal tersebut, karena rasa takut, panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan mereka berdua.

Rasa takut dan cemas membuat langkah mereka tak berirama berlari lurus tak tentu arah. Rama yang berlari mengikuti Mira tersandung lalu terjatuh.

"Aaakkkhhh ...!!!" teriak Rama.

Mendengar teriakan Rama yang ada di belakang nya, Sigit berteriak "Mira tunggu ...!!"

Langkah Mira semakin cepat meninggalkan teman-temannya, Sigit yang melihat Rama terjatuh, berbalik arah menghampirinya.

"Kau tidak apa-apa Ram?" tanya Sigit mengulurkan tangan.

Sambil memegangi pangkal paha Rama berucap "Ka-kakiku ...."

Keadaan saat itu sangat gelap, Sigit tidak dapat melihat luka pada rama dengan jelas.

Ririn dan Randy berlari di belakang mereka dan tiba bersamaan menghampiri Rama dan Sigit. Menghela nafas karena berlari terlalu cepat. "Di-dimana Mira?" tanya Ririn.

"Aku kehilangan dia." Sambil melihat kearah depan. "Dia berlari terlalu cepat," ucap Sigit.

"Rama, bagaimana keadaanmu?" tanya Ririn.

Dengan nafas terengah-engah Rama menjawab. "Sepertinya ada sesuatu yang menusuk kakiku."

Mencoba menerangi luka Rama dengan cahaya ponsel, tampak besi runcing menancap dipangkal paha Rama. Randy mencoba melepaskan besi yang menusuk di pangkal paha Rama. Namun, saat hendak menolong seekor mahkluk raksasa menerkam Randy dari belakang.

Mahkluk setinggi 4 meter menyerupai singa dengan surai tebalnya mengaum sangat keras hingga membuat jantung mereka berdetak tak beraturan. Kaki kiri bagian depannya mengunci pergerakan Rama seolah-olah menahan mangsa agar tidak melarikan diri.

Rama yang berada di bawah kaki mahkluk itu berteriak meminta pertolongan.

"Ma-mahkluk apa itu?" terbujur kaku Ririn melihat mahkluk yang menerkam Randy.

Segera Sigit menarik tangan Ririn lalu berlari pergi.

Tatapan kosong dari raut wajah Ririn, seolah-olah tak percaya bahwa semua ini nyata. Ia sudah menyaksikan empat orang yang dia kenal dimangsa oleh makhluk itu

Saat berlari isak tangis Ririn berteriak minta maaf, mendengar jeritan Rama dari kejauhan.

Diiringi raungan mahkluk itu yang meyakinkan mereka untuk pergi meninggalkan Rama. Sigit bergumam. "Maafkan aku."

Makhluk setinggi 4 meter dengan surai tebal dan kepala yang menyerupai singa. Makhluk ini juga memiliki tanduk seperti seekor kambing dan ekor panjang yang ada di belakangnya merupakan seekor ular yang tampak hidup seperti memiliki kesadarannya sendiri.

Wujud yang tak biasa dilihat ini membuat Mikaru dan Rumia terpaku di belakang makhluk itu, tepat di belakang ekornya.

"Makhluk apa itu?" bisik Mikaru melihat makhluk yang ada dihadapannya.

Mikaru dan Rumia yang tertinggal saat berlari mengikuti Mira, tiba disaat yang tidak tepat. Ketika, seekor chimera tengah menyerang Rama dan Randy.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!