Bunda Najah bisa bertahan hidup normal beberapa minggu, jika beliau mengkonsumsi tembuni dan menghisap dar*h menstruasi atau dar*h nifas wanita melahirkan. Jijik emang, tapi begitulah kehidupan seorang kuyang.
"Mirip vampire atau drakula, tapi menurutku kuyang ini vampire versi lokal." Gumam Lara merenungi nasib ibu mertuanya.
Kehamilan Lara sudah menuju lima bulan, tidak ada tanda-tanda gangguan dari sang mertua meski beliau membutuhkannya. Tapi disisi lain, bunda Najah berjuang keras menahan diri untuk tidak mengganggu keturunannya, itu adalah hal yang tersulit bagi beliau, karena aroma wangi tubuh Lara yang mengandung calon cucunya semerbak menusuk indra penciumannya. Demi menghindari calon cucunya, beliau sengaja tiap malam mencari mangsa didesa lain.
"Aku tak tahan mencium bau harum disebelah kamarku ini, ingin sekali mencicipinya sekarang juga. Aku harus mendapatkannya, dengan cara bagaimanapun!" Ucap Bunda Najah yang terkadang lupa bahwa dia sedang mengincar calon cucunya, darah dagingnya sendiri.
...*****...
Didesa tempat tinggal suami Lara sekarang tidak ada orang mengandung, bunda Najah agak kesulitan mencari mangsa, hingga beliau terpaksa berkelana kedesa tetangga yang terkadang berbahaya untuk didatangi, tapi demi kelangsungan hidupnya, dia rela melayap kemana-mana.
"Aduuuh, kakiku sakit sekali! Lara, coba ambil minyak urut, nak!" bunda Najah memanggil Lara.
Hari mulai senja, suasana sudah gelap, terlebih rumah bunda Najah, hanya diterangi bohlam dengan cahaya temaram, bisa kalian bayangkan seperti villa-villa besar difilm-film horror.
Lara berjalan menuju kamar bunda Najah ditangannya membawa sebotol minyak urut, ia bergegas menghampiri ibu mertuanya. Meski kadang ragu dan takut berhadapan dengan manusia setengah siluman itu, namun disisi lain beliau adalah mertuanya, ibu dari suaminya, dan calon nenek dari calon bayinya nanti.
"Bunda, sini aku pijit kakinya!" Lara menawarkan diri.
"Ayo masuk, kakiku sakit sekali, kaku dan nyeri!" Ucap bunda Najah merintih.
Lara mendekat sambil memijit lutut sang mertua, ia tahu sudah beberapa minggu mertuanya tidak mengkonsumsi makanan khasnya, karena didesa mereka tidak ada mangsa empuk yang bisa disantap seperti biasa. Kondisi bunda Najah melemah, sesekali terdengar desisan dari mulut beliau, pertanda menahan napsu dari mangsa empuk didepannya sendiri, bunda Najah hanya bisa menelan air liurnya.
"Sudah, sudah pergi sana, jangan kemari kalau tidak aku perintah!" Bunda Najah mengusir Lara seraya menarik kakinya dari pijatan sang menantu, beliau bersikeras menyingkirkan napsunya untuk memangsa Lara dan jabang bayinya.
"P..p..permisi bunda!" Lara tergagap, ia segera pergi dari kamar Bunda Najah, hatinya diliputi antara tak tega dan takut.
Bunda Najah merintih kehausan dan kelaparan, ia berteriak dan menangis meraung-raung. Lara sendirian dikamar, Fadli bertugas diluar kota, sedangkan Fadil adik iparnya keluar sejak sore bersama pemuda-pemuda sebayanya. Lara tak bisa membayangkan malam ini seorang diri bersama mertua yang setengah siluman itu, yang bisa saja sewaktu-waktu berubah ganas dan memangsanya.
"Sepertinya malam ini aku harus pergi! Tapi dengan siapa? Tidak ada yang bisa mengantarku pulang kerumah orang tuaku!" Lara meringis ketakutan.
Maklum dua puluh lima tahun silam masih belum ada ponsel dan jasa gojek, apalagi Lara tinggal didesa jauh dari keramaian kota. Akhirnya Lara membohongi dirinya, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, ia memberanikan diri sambil membaca-baca ayat Al-Qur'an yang dia bisa, selain itu ia juga menyimpan benda-benda yang ditakuti kuyang seperti buku yasin kecil, bawang merah tunggal, cermin, jarum, benang hitam, daun jeruk, jeriangau dan tali ijuk yang terbuat dari pohon enau (konon bisa sebagai sarana pagar ghaib), Lara menaruh semua benda-benda itu dibawah bantalnya. Meski agak konyol bahkan mengarah keperbuatan syirik, tapi kebiasaan itu sudah dilakukan masyarakat sekitar demi menangkal makhluk-makhluk jahat khususnya kuyang, apalagi sang kuyang berada satu atap. Entah suatu kebetulan, benda-benda tersebut mampu membuat kuyang tidak berdaya.
Malam mulai larut, waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh, Lara mencoba memejamkan matanya. Duarrrr, baru seperempat jam Lara terlena, tiba-tiba terdengar ledakan hebat seolah menyeruak keluar dari atas atap.
"Sepertinya Bunda pergi mencari mangsa!" Gumam Lara lirih.
Bau busuk dan amis tercium seiring perginya bunda Najah, pikiran Lara tidak karuan, perasaannya tidak tenang meski bunda Najah tidak ada dirumah, kantuknya telah pergi, ia mulai berjaga-jaga, malamnya diliputi kegelisahan.
Tapi sampai subuh tidak terdengar tanda-tanda bunda Najah sudah pulang, padahal Lara tidak tidur sepanjang malam, ia khawatir dengan sang mertua, meski ia tahu kehebatan beliau, tapi kali ini ia mencemaskannya.
Kegelisahan Lara berlanjut, karena hari sudah mulai terang dan sang mertua belum juga pulang, Fadil baru saja kembali dari bergadang, dan bergegas pergi sekolah.
"Sarapan dulu, Dil?!" tanya Lara.
"Terima kasih kak, aku sarapan dikantin saja!" jawab Fadil mengantuk.
"Cuci muka dulu, Dil. Kamu masih mengantuk!" Lara menyuruh Fadil mencuci muka karena wajah adik iparnya nampak kusam dan mengantuk.
"Aku sangat mengantuk, kak! Oh iya, Bunda mana? Kak Fadli keluar kota?" Tanya Fadil bertubi-tubi sambil menguap.
"Fadli belum pulang dari tugas, besok pasti kembali, sementara Bunda tidak pulang-pulang dari tadi malam, Dil!" Jawab Lara.
"Hah, kenapa Bunda tidak pulang, kak?" Fadil terkejut, matanya terbelalak hampir lepas.
"Aku tidak mendengar Bunda sama sekali! Sebaiknya, mari kita coba memeriksa kamar bunda, yuk?!" Ajak Lara menuju kamar bunda Najah.
Fadil mengikuti Lara berjalan menuju kamar Bunda Najah, Lara membuka pintu, Fadil mengintip kedalam kamar sang ibu. Sepi, tak ada kehidupan, hanya bau amis yang menyengat tercium dari kamar lembab dan gelap itu.
"Bunda, mari sarapan!!" Ucap Lara seraya mengajak mertuanya sarapan.
Tak ada sahutan, Lara kembali menutup pintu, Fadil bengong. Karena tak biasanya sang ibu tidak pulang setelah semalaman mencari mangsa, Fadil mulai berpikiran yang tidak-tidak.
"Kak, sepertinya aku harus mencari bunda, tapi tidak tahu Nunda dimana?!" Fadil kebingungan bergegas pergi sambil menarik tasnya.
"Dil, Dil, Dil.. memang kau tahu kemana mencari Bunda?" tanya Lara penasaran.
"Tidak tahu, kak! Tapi mencoba bertanya pada orang sesama aliran Bunda, mungkin saja tahu kemana arah bunda pergi!" Jawab Fadil seadanya.
"Apa? Berarti kau tahu ada kuyang selain bunda ada didesa ini juga?!" tanya Lara terkejut dan takut.
"Banyak, kak. Yang kutahu ada empat sampai lima orang, dari awal sampai ujung desa. Dan gadis pun juga ada!" jelas Fadil makin membuat Lara terkejut.
"Dil, kau jangan bercanda! Gadis menganut ilmu itu untuk apa, Dil?!" Tanya Lara tak percaya.
"Biasa, kak! Buat memikat om-om pejabat, yah begitulah otak mereka sangat sempit, ingin enak dengan jalan instan!" celutuk Fadil menyayangkan.
"Hey, tapi aku heran kenapa kau bisa tahu hal seperti itu?" tanya Lara penasaran.
"Aku tahu, Bunda yang memberitahu! Lagi pula tatapan mata mereka itu berbeda, kak!" jelas Fadil. "Sudah ah, aku mau sekolah dulu." Fadil bergegas pergi.
"Tunggu, Dil! Kamu sudah membuatku takut dan penasaran, apa maksudmu dengan tatapan mereka yang berbeda?!" Lara menahan adik iparnya pergi.
"Kalau dia menatap wanita-wanita yang sedang haid atau mengandung, tatapan mereka tajam sekali, tapi ketika kita balik metatapnya, dia menunduk. Coba kakak tatap bunda, pasti bunda menunduk! Sudah deh, aku berangkat dulu!" Fadil buru-buru pergi menunggang motor Honda Supra warna hitam miliknya.
Lara ternganga dengan penjelasan Fadil yang sudah mengebut dengan motornya, ia dapat pengetahuan baru tentang makhluk jejadian seperti ibu mertuanya. Bulu kuduknya berdiri, saat tahu ternyata masih ada kuyang didesa ini selain mertuanya.
"Benar-benar menakutkan!" ucap Lara bergidik.
Lara keluar rumah menuju halaman untuk menyapu, seorang wanita turun dari sepeda menghampirinya dan memarkir sepedanya pada bangku bambu yang ada di bawah pohon tepat didepan halaman rumah Bunda Najah.
"Kak, perkenalkan! Aku Santi, teman Fadil waktu sekolah dasar, boleh duduk disini?!" Tanya wanita itu basa-basi pada Lara.
"Oh temannya Fadil?! Silakan duduk, dek!" Ucap Lara mempersilakan wanita yang mengaku teman Fadil.
Wanita yang bernama Santi itu duduk seraya memandangi Lara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lara tidak menatapnya langsung, tapi dia melihat wanita itu menatapnya dari ekor matanya, wanita itu memandanginya dengan seksama. Lara mulai tak enak dipandangi dengan sedetail itu.
"Mau minum apa, dek? Teh, Kopi atau air putih?" Tawar Lara basa-basi.
"Tidak usah repot-repot, kak! Aku cuma ingin mampir disini!" Ucap Santi tersenyum, tanpa menoleh kearah Lara.
"Baiklah, aku menyapu halaman, ya!?" Lara kembali beraktifitas.
"Bunda Najah dimana, kak?" Tanya Santi.
"A..e..a..anu dek, Bunda pergi kerumah temannya!" jawab Lara sekenanya.
"Kapan pulang, kak? Soalnya ada yang ingin aku bicarakan dengan beliau!" Tukas Santi masih tidak menoleh Lara.
"Tidak tahu kapan, tapi kau bisa bilang padaku tentang hal apa yang ingin kau sampaikan, nanti aku sampaikan pada Bunda!" Tawar Lara.
"Tidak usah, kak. Nanti aku sendiri yang bicara pada beliau! Kalau begitu aku pamit dulu, ya!? Sampaikan pada Bunda Najah bahwa aku datang kemari!" Santi berpesan seraya pamit pada Lara.
Wanita muda itu pergi mengayuh sepedanya, Lara baru sadar dengan ucapan Fadil tentang tatapan mata seseorang.
"Wah iya, aku baru sadar! Jangan-jangan Santi seperguruan dengan bunda, Santi tidak menatapku saat beradu pandang, tapi matanya memandang tajam sekali kalau tidak saling tatap!" Ucap Lara dalam hati, bulu kuduknya berdiri.
Sepeninggal wanita itu, perut Lara terasa mual seolah diaduk-aduk, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, hingga Lara tak sadarkan diri.
...*****...
Suasana gelap, hanya ada cahaya remang-remang menyinari ruangan dimana Lara berbaring, ia menatap sekitar, diruangan itu terlihat beberapa orang tetangga duduk menemaninya, mereka sedang berbincang-bincang.
"Kau sudah sadar, nak?" tanya Bi Inah membantu Lara duduk bersandar. "Tadi kamu pingsan dihalaman saat menyapu! Kami khawatir sekali, dari pagi sampai sekarang kau baru sadar, mertua dan suamimu tidak ada ya?" Tanya beliau seraya menatap sekeliling ruangan.
"Terima kasih Bi Inah sudah menolong Lara!" Ucap Lara lemah.
"Kau masih lemah, ayo makan bubur hangat ini, baru saja bibik membuatnya untukmu!" Bi Inah menyodorkan mangkuk berisi bubur ayam hangat, Lara memakannya sesendok demi sesendok.
"Bi Inah, tolong campurkan daun jeriangau kedalam minyak urut, urut perut Lara pelan-pelan biar tidak diganggu kuyang!" Ucap salah satu tetangga.
Lara terkejut dengan ucapan tetangganya, Bi Inah menaruh jeriangau tersebut pada minyak urut. Aroma khas jeriangau tercium semerbak, konon kuyang takut dengan aroma tumbuhan rumput ini.
"Sini aku urut perutmu pelan-pelan, nak!" Tawar Bi Inah. "Kau dirasuki palasik, nak. Tadi kau kejang-kejang, matamu melotot sambil mencakar-cakar rambut, untung ada Pak Haji Usman yang mengusir kuyang itu!"
"Siapa palasik yang merasuki aku, Bi Inah?" Lara ketakutan, ia khawatir dengan bayi yang dikandungnya diganggu kuyang itu.
"Kata Pak Haji, kuyang palasik itu wanita masih muda, sedang mengincar bayimu, hati-hati kalau kemana-mana kau harus membawa bawang merah tunggal, taruh didalam saku bajumu, dan ikat benang hitam di ibu jari kakimu, agar kuyang tidak berani masuk lewat kukumu!" Ucap Bi Inah menasihati sambil melilit benang hitam diibu jari kaki Lara.
"Terima kasih banyak, Bi Inah. Aku tak tahu harus bagaimana jika tak ada bibi menolongku." Ucap Lara sedih bercampur takut.
"Sudahlah nak, habiskan makananmu, biar aku disini untuk menjagamu sampai suamimu datang!" Bi Inah berjanji akan menemani Lara.
"Pak Haji Usman sudah pulang, Bi? Aku tak tahu beliau ada disini!" tukas Lara.
"Sudah pulang dari tadi, dijemput orang buru-buru, katanya ada yang terkena palasik juga didesa sebelah!" ucap Bi Inah menjelaskan.
Lara tak habis pikir, kenapa makhluk-makhluk jahat itu berkeliaran memangsa korban-korbannya, setiap desa mengalami hal sama secara bersamaan.
Tetangga lain mulai berpamitan pulang melihat keadaan Lara mulai membaik, sementara Bi Inah tetap berada dirumah menjaga Lara.
"Lara sangat berterima kasih pada kalian semua yang sudah menolongku!" Ucap Lara pada tetangga-tetangganya.
Tetangga mengangguk seraya pulang kerumah mereka masing-masing, Lara tak sabar menunggu malam berganti siang, karena ingin bertemu dengan suaminya.
"Begini nih, dia mempalasik orang, sekarang giliran menantu sendiri di palasik orang!" Celutuk Bi Inah yang masih saudara sepupu dari Bunda Najah, mertua Lara.
"Apa maksud, Bi Inah?" Tanya Lara tak mengerti.
"Tidak, cuma kesal pada ibu mertuamu. Dia biasanya mempalasik orang, tidak berpikir suatu saat kejadian sama terjadi pada saudara atau kerabatnya. Buktinya sekarang kau terkena palasik!" Jelas Bi Inah.
Lara baru faham dengan maksud pembicaraan Bi Inah, ia membenarkan ucapan sepupu mertuanya, karma benar-benar berlaku. Tubuh Lara bergetar ketakutan, ia merasa terancam dan tidak tenang berada didesa itu.
"Aku sangat mengantuk, Bi! Boleh aku tidur?!" pinta Lara sudah tidak tahan ingin tidur karena kelelahan seharian terkena palasik (kesurupan akibat diganggu kuyang).
"Tidak apa-apa, tidur saja nak! Kau tak usah takut, aku akan menjagamu sampai suamimu datang!". Ucap Bi Inah menenangkan Lara.
Malam mencekam itu dilalui Lara bersama Bi Inah, meski dalam benaknya ada rasa khawatir memikirkan mertuanya yang tak kunjung pulang.
...*****...
Fadli memarkir mobilnya dihalaman rumah, dengan santai ia masuk tanpa curiga dengan apa yang telah terjadi pada keluarganya.
"Akhirnya kau datang juga, Fadli!" Seru Bi Inah.
"Bi Inah, apa yang terjadi?!" Fadli bergegas menghampiri Lara yang masih terbaring lemah dipembaringan diruang tengah.
"Istrimu terkena Palasik!" Ucap Bi Inah singkat.
"Apa? Siapa Palasik yang mengganggu Lara, Bi?!" Tanya Fadli terkejut.
"Orang hilir, masih pemula tapi berani bertindak!" Jelas Bi Inah memberitahu.
"Astaga, Sant...!!" Fadli terhenti bicara karena langsung dicegah Bi Inah.
"Sudahlah Fadli, ibumu juga sering mengganggu orang! Kau jaga istrimu, atau antar dia kerumah orang tuanya selama dia mengandung! Disini bahaya, didalam rumah ada pemangsa, diluar rumah ada pemangsa-pemangsa lain berkeliaran!" Ucap Bi Inah khawatir, "Baiklah, aku pulang dulu, ya! Kalau ingin apa-apa, bilang saja!" Bi Inah berpamitan seraya bangkit berdiri.
"Mari kuantar kedepan, Bi!" Ucap Fadli mengantar Bibinya pulang.
Fadli ingin marah, tetapi benar apa ucapan Bi Inah, ibunya juga sering mengganggu warga, dan kini dia menerima karma atas perbuatan ibunya. Bi Inah kesal pada Bunda Najah, tapi juga khawatir karena sudah dua hari dua malam menghilang. Fadli gundah gulana, selain khawatir dengan keadaan Lara, Fadli juga bingung dengan keberadaan ibunya yang tak tahu entah dimana. Ia mencoba melupakan kekalutannya sejenak, ia mengahampiri istrinya yang sudah menanti kedatangannya.
"Sayang, kau tidak apa-apa?! Kau ingin makan apa hari ini? Pasti kau masih kelelahan karena kejadian kemaren?!" Fadli merangkul istrinya dengan hati-hati dan penuh cinta.
"Aku tak ingin apa-apa asal kau sudah pulang, itu sudah lebih dari segala-galanya!" Balas Lara seraya membenamkan kepalanya pada dada bidang suaminya, ia merasa lega dalam pelukan suaminya tercinta.
"Aku pesan makanan saja, ya! Kau harus makan agar tenagamu pulih kembali, ingin Gado-Gado atau Soto?" Ucap Fadli seraya membelai rambut Lara yang harum dan wangi membangkitkan gairahnya. Tapi ia tahan, karena ia harus memberikan kesehatan jasmani untuk istri dan calon bayinya.
Fadli beranjak keluar mencari anak-anak yang bersedia pergi kewarung untuk belanja makanan. Dan tak lama ia kembali pada Lara sambil membawa Gado-Gado dan Soto plus beberapa tusuk sate, keduanya makan siang bersama. Fadli melarang Lara bekerja, ia memintanya istirahat untuk beberapa hari.
"Kita pindah kekamar, yuk?! Tidak enak kalau Fadil tiba-tiba datang!" Ajak Fadli seraya menggendong Lara masuk kekamar.
Lara mengangguk mesra sambil mengalungkan lengannya dileher Fadli, sesekali Fadli mencumbu istrinya dalam perjalanan menuju kamar.
"Aku ingin lama-lama dijalan!" Ucap Lara menggoda.
"Tidak usah dijalan, dimanapun dan kapanpun setiap ada kesempatan pasti bisa!" Balas Fadli sambil mengecup dahi dan wajah Lara.
Fadli menutup pintu kamar dengan badannya, seraya berjalan menuju ranjang dan membaringkan Lara dengan penuh kasih sayang. Lara menahan lengannya, ia menarik Fadli mendekat kearahnya hingga badannya yang mungil tak nampak.
"Kau sudah benar-benar sembuh?!" Fadli meragukan kesehatan Lara yang nampak berapi-api ingin bertempur dengannya.
"Selama kau ada bersamaku, aku pasti sembuh!" Bisik Lara mesra membuat Fadli tidak bisa menahan napsunya ingin segera membawanya melayang keawan.
Fadli membuka kancing baju Lara satu persatu dan melepas baju tipis itu seraya melemparnya, ia juga mulai melepaskan bajunya, Fadli mendekatkan wajahnya kewajah Lara, napas mereka bertemu, Lara tersengal-sengal membuat Fadli makin agresif.
Keduanya benar-benar terbang keawan, sejenak mereka melupakan peristiwa rumah tangga yang sangat rumit itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
mochamad ribut
up up lagi
2022-07-27
0
mochamad ribut
up up ⚡🔨
2022-07-27
0
mochamad ribut
up up ⚡🔨lagi
2022-07-27
0