"Maaa, perutku sakit banget, sepertinya aku mau melahirkan!" Rintih Lara di sore Kamis beberapa hari setelah pengajian.
"Bukannya janinmu belum delapan bulan?!" Tanya Mama Hanum.
"Udah dua puluh minggu lebih, Ma! Ini sakit banget seperti nonjok-nonjok perutku!" Lara meringis menahan sakit yang luar biasa.
"Bentar, aku minta tolong Ivan untuk ngabarin Fadli! Kamu harus bisa bertahan!" Mama Hanum bergegas menemui anak Bi Ratih disebelah rumahnya.
Lara mengerang menahan sakitnya yang makin menjadi-jadi, perutnya terasa diobok-obok.
"Van, Lara sakit perut! Tolong kabarin Fadli!" pinta Mama Hanum cemas dan panik.
"Apa gak buang-buang waktu, Bi? Bukannya lebih baik kita bawa Lara ke puskesmas atau rumah sakit, setelah itu baru ngabarin Fadli!" ucap Ivan memberi saran.
"Ya udah, yang mana baiknya aja deh!" Mama Hanum menyetujui.
"Aku minjem Mobil sama pak kades dulu, ya!" Ivan bergegas mengambil Mobil pick up milik bersama di kelurahan.
Mama Hanum setuju, kemudian ia berbalik memastikan keadaan Lara.
"Ma, aku gak mau ke rumah sakit! Aku takut di operasi, mending kerumah dukun beranak aja!" pinta Lara takut.
"Baiklah kalo kamu mau begitu!" Mama Hanum tak menolak.
Dua puluh tahun kebelakang para wanita di tempat author lebih memilih melahirkan sama dukun beranak daripada ke rumah sakit.
"Van, gak usah pinjam Mobil! Lara gak mau ke rumah sakit, mending kamu jemput dukun beranak Mak Lamsiah aja! Bawa dia kesini!" seru Mama Hanum pada Ivan dari dalam rumah.
"Berarti aku langsung tancap ke rumah dukun beranak itu?!" tanya Ivan.
"Iya nak!"
"Baiklah, bi!" Ivan meluncur membawa motornya menuju rumah Mak Lamsiah yang berada di ujung desa.
Mak Hanum kembali menemani Lara sambil mengurut perut Lara pelan-pelan, sesekali Lara merintih kesakitan.
"Air ketuban udah pecah?" Tanya Bi Ratih baru saja datang.
"Gak ada tanda-tanda, tapi Lara kesakitan!" jawab Mama Hanum.
Beberapa tetangga turut menjenguk Lara. Bi Ratih mulai membakar api unggu untuk mengusir makhluk-makhluk jahat.
Tak lama kemudian Ivan datang membonceng Mak Lamsiah. Sosok dukun beranak itu sangat berwibawa dan masih cantik, padahal usianya diatas oleh Bi Ratih dan Mama Hanum, bahkan dukun beranak itu yang dulu membantu persalinan mereka. Sang dukun dikenal dengan sanggulnya yang khas, setiap dijemput membantu persalinan, beliau selalu mengenakan kebaya dengan jarik rapi, dan memakai konde besar layaknya ibu-ibu jaman dulu yang akan pergi keresepsi pernikahan. Bibirnya selalu merah, efek dari menginang.
"Cuuuhhh!" Sang dukun beranak meludah kinangannya sebelum masuk kedalam rumah.
Mama Hanum menyambut kedatangannya sambil membantu membawakan tas berisi alat-alat bersalin.
"Silakan, bu!" Ucap Mama Hanum mempersilakan masuk.
Mak Lamsiah langsung duduk didekat kasur dimana Lara terbaring kesakitan, beliau memegang perut Lara berkali-kali, memeriksa apakah waktunya melahirkan.
"Belum waktunya!" ucap Mak Lamsiah datar.
"Tapi kenapa dia kesakitan?" tanya Mama Hanum.
"Ini hal biasa, terkadang hal seperti ini tanda-tanda melahirkan, tapi anak kamu hanya mengalami sakit biasa!" ucap Mak Lamsiah sambil mengurut perut Lara.
Entah kebetulan, perut Lara berhenti sakit setelah diurut oleh dukun beranak tersebut.
"Mak, Mak, kalo gak sibuk, tolong kerumahku, istriku mau melahirkan, udah pecah air ketuban!" ucap seorang pria di teras meminta Mak Lamsiah ikut bersamanya.
"Baiklah, mari!" Mak Lamsiah tidak pernah diam dirumah, tiap hari dipanggil orang-orang yang membutuhkannya.
"Bagaimana dengan anakku, mak?" Tanya Mama Hanum.
"Dia udah tenang, sakitnya segera hilang!" ucap Mak Lamsiah bangkit dari duduk.
Lara mengangguk, Mama Hanum lega melihat Lara berhenti menjerit kesakitan. Mak Lamsiah pergi ikut bersama pria yang baru memanggilnya.
Malam mulai gelap, Ivan datang bersama Fadli. Sesaat setelah kedatangan Fadli, keadaan Lara makin memburuk, ia mulai menjerit kesakitan, tangannya memegang seprei sangat kuat, keringat bercucuran disekujur tubuhnya. Fadli panik melihat Lara dalam keadaan seperti itu.
"Van, kayaknya Lara harus kita bawa ke rumah sakit, aku gak yakin dia sedang baik-baik saja!" ucap Mama Hanum cemas.
"Sebaiknya memang begitu!" Timpal Bi Ratih.
Byuuuuuurrrr, sesuatu keluar deras dari bawah paha Lara, bersamaan dengan itu Lara menjerit keras, mereka yang ada disitu terkejut karena cairan yang baru keluar berwarna merah, bukan air ketuban.
"Terlambat, Lara makin parah aja!" seru Mama Hanum sangat panik.
"Jangan putus asa, ayo cepat bawa dia ke rumah sakit!" ucap Bi Ratih.
"Fadli, ayo kita bawa Lara ke rumah sakit!" desak Mama Hanum.
"Ma, Lara gak sadar!" ucap Fadli khawatir.
"Jangan sampai terjadi yang gak diinginkan!" seru Mama Hanum tak kalah khawatirnya.
Fadli datang tidak membawa Mobil nya, sehingga Ivan harus meminjam Mobil milik bersama di kelurahan.
Tak lama kemudian Ivan muncul membawa Mobil pick up dan memarkinya tepat dihalaman rumah, kemudian ia membantu Fadli dan beberapa warga menggotong Lara kedalam Mobil.
Ivan dengan cepat melajukan Mobil menuju rumah sakit khawatir terjadi yang tak diinginkan pada sepupunya.
Sesampainya di rumah sakit, para perawat bergegas memindahkan Lara ke brankar, dan membawanya keruang bersalin, keluarga diminta menunggu diluar.
Fadli berjalan mondar mandir tak karuan, Mama Hanum meracau karena panik. Bagi mereka masuk rumah sakit saat itu sangat langka, karena terbiasa bersalin dibantu dukun beranak.
Beberapa jam berlalu, seorang dokter keluar dari ruangan menemui keluarga Lara.
"Pak, Bu, sebelumnya saya minta maaf, ibu selamat tapi bayinya meninggal dalam kandungan!" ucap dokter.
"Kok bisa dok?! Anak saya hamil lebih dua puluh minggu, bukannya sudah kuat?" ucap Mama Hanum tak percaya.
"Itu bisa saja terjadi meski kehamilan sudah tua, bu! Kandungannya mengalami infeksi, sehingga janin gak bisa bertahan dan akhirnya meninggal dalam kandungan!" jelas sang dokter.
Mama Hanum berpikir mungkin karena beberapa kali di ganggu oleh kuyang-kuyang itu, Fadli pun berpikiran sama.
"Pasien harus di operasi atau di kuret untuk mengeluarkan mayat janinnya! Keluarga bisa mendiskusikan ingin memilih operasi atau kuret!" Ucap dokter seraya berlalu.
Fadli dan keluarga Lara berembuk untuk keselamatan Lara.
"Dikuret sangat sakit!" ucap Bi Ratih.
"Kita tunggu Lara sadar, dan tanyakan padanya?!" usul Mama Hanum.
"Ma, aku gak sanggup ngasih tau Lara tentang kabar buruk ini!" ucap Fadli sedih.
"Lara pasti kuat, lebih baik kita beritahu dia daripada nanti dia tahu sendiri!" ucap Mama Hanum berusaha kuat.
"Lebih baik Fadli sendiri yang memberi tahunya!" ucap Bi Ratih.
Keluarga setuju dengan usul Bi Ratih. Tak lama kemudian muncul seorang perawat memberitahu bahwa Lara sudah siuman.
"Nak, kamu masuk duluan, beritahu Lara pelan-pelan ya!?" ucap Mama Hanum khawatir Lara bersedih.
Fadli melangkah tak bersemangat menuju kamar Lara dirawat, ia berusaha kuat dan tidak cengeng. Lara masih lemah tak berdaya, Fadli menghampirinya dan membelai rambutnya kemudian mengecup keningnya.
"Ada apa dengan bayi kita, sayang?!" tanya Lara pelan.
"Kamu gak usah bersedih!" Fadli berusaha tenang.
"Bayi kita gak kenapa-napa kan?!" tanya Lara lagi.
"Bayi kita udah gak ada, sayang!" ucap Fadli lirih.
Lara tidak berkata apa-apa, hanya air matanya yang menjawab ucapan Fadli.
"Dokter bilang harus operasi atau kuret, kamu bisa pilih sendiri!" Fadli memberitahu Lara.
"Apa aja yang terbaik!" Ucap Lara tak bergairah.
Lara belum bisa mengendalikan dirinya dari kesedihan, ia sangat terpuruk atas tragedi yang menimpa rumah tangganya. Fadli membantunya berpikir, ia menyarankan untuk operasi lebih baik daripada kuret yang sangat sakit. Lara menyetujui saran sang suami. Fadli sesegara mungkin memberitahu dokter tentang keputusan mereka untuk memilih operasi.
"Baiklah, kami akan segera melaksanakannya!" ucap dokter dengan sigap bertindak demi keselamatan pasien mereka.
Mama Hanum dan Bi Ratih dengan sabar menunggu proses pengangkatan janin Lara, Fadli masih disana untuk menjaga Lara.
Proses operasi berjalan lancar, Lara sudah boleh di pindah kekamar inap, tapi belum diperbolehkan pulang. Fadli terpaksa pulang kerumah orang tua Lara bersama Ivan untuk mengubur bayi mereka. Sementara Mama Hanum dan Bi Ratih sengaja tidak ikut pulang untuk menjaga Lara.
Hari sudah siang, semalaman tidak ada yang tidur, Mama Hanum meminta Bi Ratih untuk istirahat sejenak agar tidak sakit.
"Baiklah, aku tiduran sebentar!" ucap Bi Ratih nampak lelah setelah semalaman bergadang.
"Itu ada ranjang kosong, mendingan tidur disana mumpung gak ada pasien lain!" ucap Mama Hanum melihat saudaranya yang berusaha tidur di lantai beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman.
"Gak ah, males jadi pasien!" Bi Ratih menolak lebih memilih tidur dibawah ranjang tempat Mama Hanum tidur.
"Ada-ada aja, dikasih enak malah nyari susah!" ucap Mama Hanum geleng-geleng kepala.
Bi Ratih mencoba memejamkan mata, namun seorang perawat datang untuk memeriksa keadaan Lara.
"Permisi bu!" sapa perawat dengan nada datar.
"Silakan suster!" ucap Mama Hanum.
Perawat itu memeriksa keadaan Lara sambil membenarkan infus. Suasana dingin menyelimuti ruangan, seolah ada makhluk tak kasat mata berada dikamar itu.
Setelah beberapa waktu dikamar, perawat itu pergi.
"Hanum, kamu perhatiin perawat tadi gak?" tanya Bi Ratih dari bawah ranjang.
"Gak, emang kenapa?" tanya Mama Hanum.
"Wajahnya gimana? Tua atau muda?" ucap Bi Ratih balik bertanya.
"Sedang, gak terlalu muda atau tua!" timpal Mama Hanum.
"Kamu sadar gak? Tadi aku liat kakinya gak nginjak lantai!" ucap Bi Ratih mulai merinding.
"Alah, kamu salah lihat kali!? Kamu kelelahan, jadinya ngaco!" ucap Mama Hanum gak percaya.
"Aku belum tidur, pas perawat itu datang aku bingung, kakinya gak nginjek lantai, kamu suka gak lihat-lihat sama siapa ngobrol" ucap Bi Ratih bersikeras.
"Aku liatnya jalan biasa aja kok?!" balas Mama Hanum tak mau kalah.
"Permisi, bu!" seorang perawat lain datang disaat Mama Hanum dan Bi Ratih sedang berdebat.
Mama Hanum terkejut, karena baru saja mereka membicarakan perawat. Bi Ratih bangkit dan duduk keluar dari kolong ranjang, ia memperhatikan perawat itu dengan seksama seraya menoleh kearah Mama Hanum yang kebetulan juga menoleh kearahnya, keduanya bertanya-tanya dalam hati berapa kali perawat memeriksa pasien di pagi hari.
"Maaf suster, bukannya barusan suster sudsh memeriksa ponakan saya?" tanya Bi Ratih memecah suasana.
"Kapan bu? Baru sekarang!" ucap sang perawat tersenyum.
"Ada perawat lain yang memeriksa juga? tanya Bi Ratih.
"Di jadwal, cuman aku yang memeriksa di ruangan ini, bu!" jelas perawat tersebut seraya pergi setelah memeriksa kondisi Lara.
Bi Ratih dan Mama Hanum saling pandang, berarti Bi Ratih benar, perawat pertama bukan manusia. Keduanya mulai gelisah, khawatir dengan keadaan Lara.
Mama Hanum berpikir keras siapa lagi yang datang baru saja, bukan kuyang tapi sepertinya makhluk tak kasat mata yang menyerupai dirinya sebagai perawat.
"Pagi-pagi ada makhluk ghaib?!" ucap Bi Ratih.
"Mungkin karena ini Rumah Sakit, kak?!" tanya Mama Hanum.
"Iya sih, gak heran!" balas Bi Ratih.
"Apa misinya datang kesini? Pakai jadi perawat segala!" ucap Mama Hanum.
"Pengen bilang kekita bahwa dirinya bukan bangsa kita." ucap Bi Ratih asal.
"Gak harus kekita juga bilangnya, udah lelah sama kuyang-kuyang di desa, malah ditambah yang beginian!" keluh Mama Hanum.
Dua hari kemudian, kondisi Lara sudah membaik, dokter mengizinkannya pulang. Lara masih penasaran apa penyebab bayinya meninggal sebelum lahir.
Mama Hanum menggandeng Lara berjalan menuju Mobil Fadli, keduanya masuk kedalam Mobil menunggu Fadli yang sedang mengurus biaya Rumah Sakit.
Tak lama kemudian, Fadli muncul membawa beberapa kantong plastik berisi obat-obatan untuk Lara.
"Ma, udah tau kabar di desa? Bi Ratih mana?" Tanya Fadli.
"Kak Ratih udah pulang duluan tadi siang! Ada berita apa di desa, nak?" tanya Mama Hanum.
"Ada yang melahirkan di ujung desa, dibantu sama dukun beranak Mak Lamsiah, tau-taunya makan temb*ni si bayi langsung ditempat melahirkan di depan keluarga ibu hamil!" ucap Fadli menceritakan.
"Hah? Masa iya Mak Lamsiah jadi kuyang?" Mama Hanum terbelalak tak percaya.
"Cerita warga di ujung desa memang udah di curigai dari lama, tapi gak ada bukti, dan sekarang terbukti nyata!" jelas Fadli.
"Apa Jangan-jangan dia yang mengganggu bayi Lara?!" tanya Mama Hanum resah.
"Bisa jadi Ma?! Ka setelah dia pergi, Lara langsung kejang-kejang dan keadannya makin parah waktu itu!" ucap Fadli mengingatkan.
"Aku gak tau kenapa memilih beliau untuk memeriksa kandunganku waktu itu!" sesal Lara.
"Gak usah disesali, sayang! Semuanya udah terjadi, jadikan ini pelajaran buat kita semua!" ucap Fadli.
"Di semua desa gak ada yang aman, mungkin kalau tinggal di kota gak akan seperti ini?!" ucap Lara.
"Sama aja, di mana-mana di provinsi kita ini selalu ada yang begituan, udah jadi rahasia umum! Tinggal kitanya waspada dan jaga-jaga!" ucap Fadli menenangkan Lara.
"Aku masih gak percaya mak Lamsiah ternyata juga begitu!" gumam Mama Hanum.
"Warga ujung desa udah curiga dari dulu, Ma! Mungkin kalian gak dengar karena tinggal di muara!" ucap Fadli.
Mobil Fadli meluncur menuju rumah orang tua Lara, Fadli belum bisa membawanya pulang kerumah karena masih dalam keadaan belum suci, dan kondisi seperti itu sangat rawan di incar makhluk-makhluk yang bernama kuyang, terutama ibunya.
Lara sangat trauma atas kejadian yang menimpanya sejak awal mengandung, awalnya di Palasit oleh kuyang muda, Santi. Kemudian di ganggu ibu mertuanya sendiri, dan yang terakhir kejang-kejang tak jelas setelah diperiksa oleh Mak Lamsiah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
mochamad ribut
lanjut terus⚡🔨 lagi
2022-08-03
2
mochamad ribut
lanjut terus lagi
2022-08-03
1
mochamad ribut
up
2022-08-03
1