Arkan saat ini tengah duduk di meja makan memainkan ponselnya dan sesekali menyeruput kopi yang telah Nayna siapkan untuknya sebelumnya.
"Ini Om."
Arkan yang tengah serius pada ponselnya, mengalihkan pandangan ke arah meja, menatap apa yang Nayna simpan di sana, setelah beberapa saat melihat benda di atas meja itu, dia kemudian beralih menatap Nayna dengan raut wajah bingung.
"Aku tidak pantes menyimpan itu, aku juga belum mengambil uang yang ada di dalamnya, " ucap Nayna.
"Kenapa kamu tidak memakai uangnya?" Arkan dengan nada tidak suka.
"Maaf. Bukan maksud aku tidak mau menerima niat baik Om itu, tapi aku yakin, Om ngumpulin uang itu sejak lama, sebaiknya uang itu Om pakai buat biaya pengobatan keponakan Om yang sakit," tutur Nayna dengan tersenyum.
"Untuk biaya keponakanku, ada harta peninggalan orang-tuanya, aku tidak perlu memikirkan masalah biaya hidupnya, sebaiknya kamu simpan saja itu," sahut Arkan kembali memfokuskan dirinya pada ponsel.
"Tapi aku tidak membutuhkannya, Om. Bukankah semua kebutuhanku sudah ditanggung oleh Om, jadi ini Om simpan lagi saja," tolak Nayna dengan nada yang hati-hati karena takut mengecewakan Arkan.
"Baiklah, aku akan mengambilnya lagi, tapi jika kamu membutuhkan sesuatu segeralah beritahu aku." Arkan akhirnya pasrah dengan apa yang Nayna ucapkan itu.
"Iya Om, nanti aku akan mengatakannya jika aku memang membutuhkan sesuatu," ucap Nayna mengangguk dengan cepat dan tersenyum.
"Baiklah kalau gitu, kenapa kamu masih berdiri, apa kamu tidak akan sarapan?" tanya Arkan karena Nayna masih setia dengan posisinya berdiri.
"Eh iya, ini juga aku mau sarapan Om. Om sebaiknya sarapan juga, kurang baik sebenarnya untuk kesehatan, jika Om tidak sarapan dan mendahulukannya dengan kopi seperti itu."
"Maaf bukan sok ngatur, tapi aku hanya tidak ingin kesehatan Om secara perlahan terganggu … aku juga bukan mau nyumpahin Om sakit atau apa loh Om, beneran," sambung Nayna yang melihat Arkan yang menatapnya, tanpa eksepsi itu.
"Baiklah, ambilkan aku piringnya," sahut Arkan membuat Nayna dengan senang hati semakin melebarkan senyuman di bibir ranumnya itu.
"Baik, tunggu sebentar, Om," sahut Nayna dengan antusias.
Dia berdiri dan langsung melangkah, tanpa memperhatikan langkahnya itu, hingga kakinya tersandung kaki meja.
Arkan yang menyadari Nayna akan terjatuh dengan sigap menangkap pinggang Nayna tanpa merubah posisinya yang masih duduk di kursi, hingga akhirnya yang terjadi selanjutnya, adalah Nayna duduk di pangkuan Arkan dengan posisi menyamping.
Untuk beberapa saat mereka sama-sama terdiam, dengan posisi yang masih sama, Arkan dan Nayna saling menatap dengan jarak yang sangat dekat, terhanyut dalam keterpakuan.
Arkan melihat dengan jelas wajah Nayna yang putih bersih dan mulus, meskipun tanpa polesan make up, bulu mata lentik dengan netra berwarna coklat terang, hidung mancung mungil, juga bibir yang berukuran sedang, tidak tipis juga tidak tebal, dengan warna ping alami yang menjadi terlihat sangat manis.
Tidak jauh beda dengan Arkan, Nayna pun terus menatap Arkan tanpa berkedip, melihat setiap jengkal pahatan rupa milik Arkan yang nyaris sempurna, alis tegas yang hitam legam, bentuk mata dalam dengan bulu mata sedikit lentik dengan tahilalat yang berada di bawah alis yang menjadi pemanis.
Hidung yang mancung juga bibir yang sedang, tidak tipis tapi juga tidak tebal, benar-benar pahatan yang nyaris sempurna, ditambah dengan helaian bulu halus yang baru tumbuh di rahangnya, menambah kesan manly.
Sama-sama terpaku untuk beberapa saat, hingga akhirnya Nayna menyadarkan dirinya terlebih dahulu dari keterpakuannya yang menatap wajah Arkan dengan dalam itu.
"Ma–maaf Om, tadi aku tidak memperhatikan langkahku." Nayna langsung berdiri, dengan wajah tertunduk, mendadak suasana terasa menjadi sedikit canggung.
Terlebih untuk Nayna yang merasa ritme detakan di jantungnya menjadi kian cepat, saat dirinya dapat melihat seluk beluk wajah Arkan dari jarak yang begitu dekat seperti itu.
"Lain kali perhatikan langkahmu dengan baik, jika sampai kamu jatuh bagaimana, itu tidak hanya membahayakan dirimu, tapi juga kandunganmu itu," sahut Arkan sambil berdehem.
"Iya Om, ya udah aku mau ambilkan dulu piring buat Om ya," ucap Nayna mengangguk dan langsung pergi menuju rak, untuk mengambil piring.
Dalam langkahnya itu, dia beberapa kali menarik napar dan mengeluarkannya, berusaha menetralkan kembali degup jantungnya, apa yang terjadi padanya, kenapa begitu melihat Arkan dari dekat seperti itu, hal aneh terjadi pada jantungnya.
Posisi apa yang baru saja terjadi itu, bagaimana bisa terjadi seperti itu, membayangkan apa yang baru saja terjadi itu, membuat pipi Nayna terasa memanas, dia menundukkan kepalanya saat sampai di meja makan.
"Kenapa pipimu tiba-tiba merah seperti itu?"
Pertanyaan yang Arkan tanyakan itu membuat Nayna semakin malu, dia bertanya-tanya apakah wajahnya benar-benar merah, hingga Arkan menanyakan hal itu.
"Apa kamu sakit? Apa perlu kita ke rumah sakit untuk periksa?" tanya Arkan dengan polos.
"Ti–tidak perlu Om, aku baik-baik saja, a–aku hanya sedikit merasa pusing saja," alibi Nayna berusaha bersikap biasa saja meskipun sulit.
Arkan tidak menyahutinya, dia menatap Nayna seolah tidak percaya pada apa yang diucapkan oleh bumil muda itu. Nayna yang ditatap dengan intens seperti itu, semakin merasa canggung, bahkan tidak berani menatap kenaraj Arkan.
"O–om, ini kan sudah hampir siang, sebaiknya Om segera mulai sarapannya, sebelum makanannya keburu dingin," ucap Nayna berusaha mengalihkan perhatian Arkan darinya.
"Baiklah, tapi kalau kamu memang merasa tidak enak badan, aku akan mengantarkanmu ke rumah sakit terlebih dahulu untuk diperiksa," sahut Arkan dengan tangan mulai mengambil makanan.
"Itu tidak perlu Om, aku hanya perlu istirahat sebentar, kayaknya ini akibat semalam susah tidur lagi," terang Nayna yang memang semalam mengalami kesulitan untuk tidur.
"Baiklah kalau gitu, kamu makanlah yang banyak minum vitamin atau susunya, sebaiknya kamu jangan mengerjakan pekerjaan rumah terlebih dahulu," tutur Arkan dengan penuh perhatian yang benar-benar tulus dari dalam hatinya.
Dia memang tidak ingin sampai terjadi apa-apa pada Nayna dan kandungannya, dia merasa jika dia memiliki tanggung jawab untuk menjaga Nayna dan calon anaknya.
Apalagi setelah dia melihat calon anak Nayna itu melalui usg, dia merasa ingin menjaganya sebaik mungkin, memastikan jika mereka baik-baik saja, keinginan untuk menjaga timbul begitu saja di hatinya, seperti seorang suami dan calon ayah pada istri dan anakya.
"Iya Om," sahut Nayna mengangguk dan melanjutkan sarapannya.
Dia masih betah menundukkan kepala, menghindari kontak mata dengan Arkan, meskipun sesekali matanya mencuri pandang pada Arkan yang terlihat biasa saja, tidak terlihat kecanggungan sedikit pun, atas apa yang telah terjadi beberapa waktu itu.
...----------------...
Maaf banget ya, baru bisa up sekarang, jangan pernah bosen nunggu kelanjutan cerita ini ya pembaca semuanya🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Shakila
Masih lanjut
2022-09-20
0
Cicih Sophiana
ayo dong Arkan dia kan istri sah mu
2022-08-15
0
Iwan Wan95
buat Arkan bucin thor
2022-08-15
0