Nayna termenung di kamarnya, dia dapat mendengar rintikan hujan yang berjatuhan membahasi bumi, rintikan yang meninggalkan kenangan yang tidak pernah bisa dilupakannya.
Langit telah berubah menjadi hitam pekat, tertutup oleh awan, malam pun kian larut. Namun, lagi dan lagi wanita muda itu masih enggan untuk memejamkan mata dan pergi berselancar ke alam mimpinya, dia hanya termenung memikirkan akan seperti apa hidupnya nanti.
Semakin larut dalam lamunan, air mata lagi dan lagi kembali luruh di pipinya, pipi yang dulu bulat kini menjadi sedikit tirus, wajah yang dulu selalu ceria belakangan ini menjadi sayu dan suram, dia tahu, dia tidak bisa membalikkan keadaan.
Seandainya bisa, mungkin dia tidak akan hanyut dalam indahnya kenikmatan sesaat itu. Namun, dia sadar itu adalah hal yang tidak mungkin, saat ini yang bisa dilakukannya hanya menerima akibat dari kesalahannya itu, memperbaiki diri untuk jadi lebih baik.
Kini dia sendiri. Tidak ada lagi teman yang dulu bermain dan tertawa bersama dengannya, tidak ada lagi usapan lembut dan hangatnya senyuman seorang ibu yang selalu menenangkan, tidak ada lagi dekapan hangat dari tubuh kekar papanya yang selalu memanjakannya.
"Aku kangen kalian," lirihnya dengan isakan yang keluar dari bibir mungilnya itu.
"Maafkan aku, aku udah sangat mengecewakan kalian."
Penyesalan terbesarnya adalah, telah mengecewakan orang-tuanya, penyesalan memang selalu datang di akhir, menjadi teror nyata bagi seseorang yang sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya.
Tatapan kecewa dari kedua orang-tuanya, masih tergambar jelas diingatannya. Jujur, saat ini dia ingin sekali menghubungi kedua orang-tuanya, tapi dia tidak memiliki keberanian untuk berbicara dengan orang terpenting dalam hidupnya itu.
Tak lama kemudian, lamunannya itu terganggu, dia mendengar suara motor yang mendekat disusul oleh suara pintu yang terbuka, dia yakin jika itu adalah Arkan yang baru pulang, dia melihat jam dari ponselnya, sudah jam sepuluh lebih.
Nayna pun segera turun dari ranjang, dia mengusap air mata yang masih tersisa di pipi dan matanya itu, kemudian keluar dari kamar, melihat Arkan yang tengah memasukan motornya ke dalam rumah seperti biasanya.
"Kamu belum tidur?" tanya Arkan melihat ke arah Nayna yang masih mematung di pintu kamarnya. Nayna hanya menggelengkan kepala, sebagai jawaban.
Arkan melepaskan helmnya dan menyimpan di meja, dia juga melepaskan jaketnya yang basah, kemudian melangkah menuju ke dapur, Nayna mengikuti langkah pria itu hingga ke dapur.
"Om mau mandi? Aku masakin air panas dulu ya."
Arkan yang baru saja menyimpan, jaketnya yang basah ke keranjang tempat pakaian kotor yang berada di samping pintu kamar mandi itu pun, menatap Nayna.
Dia menatap wajah Nayna yang terlihat sembab, dia yakin, jika wanita muda itu habis menangis, setelah beberapa saat terdiam dan menatap Nayna, dia pun mulai membuka suaranya.
"Kalau kamu tidak keberatan."
"Tidak Om, nanti Om bisa sakit kalau mandi pakai air dingin setelah kehujanan," sahut Nayna yang sudah mulai bergerak, mengambil panci yang berukuran cukup besar dan mengisinya dengan air dari keran di wastafel.
"Om mau kopi atau teh, sambil nunggu airnya panas?" tanya Nayna lagi pada Arkan yang kini sudah duduk di kursi, meja makan.
"Coklat panas," jawab Arkan yang tidak sesuai dengan apa yang Nayna tawarkan.
Nayna hanya mengangguk dan langsung menyeduh coklat dengan air dari termos, setelah mengaduk coklatnya itu, dia pun membawanya ke meja makan.
"Duduklah," perintah Arkan pada Nayna yang akan kembali pergi, setelah menyimpan coklat itu di depannya.
Meskipun dengan kecanggungan yang dirasa, Nayna pun menurutinya, dia duduk di depan Arkan, melihat ke arah lain, tidak berani menatap ke arah pria yang berstatus sebagai suami, menurut agama dan negara.
"Berapa bulan kandunganmu?" tanya Arkan menatap Nayna dengan intens.
"Saat di USG, udah tujuh minggu," sahut Nayna dengan jujur.
"Hemmm, baiklah … jadi, bagaimana rencanamu ke depannya?" tanya Arkan lagi.
Nayna yang semula menatap ke arah lain, mulai menatapnya dengan bingung, dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Arkan itu.
"Tentang anak itu dan tentang pernikahan ini," sambung Arkan, seolah tahu kebingungan yang dirasakan oleh Nayna itu.
"Aku ingin mempertahankannya. Dan untuk pernikahan, seperti yang aku katakan sebelumnya, aku akan pergi, setelah kandungannya sudah besar, minimal sampai berusia enam atau tujuh bulan," ucap Nayna tanpa ragu.
Arkan menatap dalam mata Nayna, kesedihan jelas tergambar di mata berwarna coklat gelap itu, wanita yang baru saja beranjak dewasa itu, jelas-jelas sangat rapuh, tapi dia berusaha terlihat kuat meskipun saat ini hidupnya tengah terombang-ambing.
Arkan menghela napas dalam, sebagai pria yang memiliki hati yang lembut, pria dewasa itu, jelas tidak tega melihat nasib wanita yang seharusnya sedang menikmati indahnya masa muda, harus terjebak dengan masalah yang diakibatkan oleh dirinya sendiri.
"Seandainya kamu mengikuti keinginan orang-tuamu untuk menggugurkannya, mungkin saat ini kamu masih bisa menikmati masa mudamu, berkumpul bersama dengan teman-temanmu, sekolah di sekolah impianmu," ucap Arkan dengan tenang.
Bukan maksud menjerumuskan ke hal yang negatif, dia hanya penasaran, alasan dari wanita muda itu mempertahankan kandungnya.
Bukankah banyak orang yang mengalami hal yang serupa, lebih memilih jalan pintas karena tidak ingin malu ataupun dicemooh orang-orang di sekitarnya, dengan cara melenyapkan hak makhluk yang tidak berdosa, merampas hak untuk hidup makhluk lain, hanya demi terhindar dari rasa malu.
"Dia tidak bersalah, kenapa hak-nya untuk hidup harus direnggut, hanya demi keegoisan semata, aku tau dosaku yang mengakibatkan kehadirannya sangat besar, bukankah dosaku akan bertambah, jika aku juga melenyapkan hak-nya untuk hidup."
"Aku juga tidak ingin orang-tuaku menyesal pada akhirnya, karena ketika mereka telah tenang, mereka pasti akan merasa bersalah juga, jika saat itu aku mengikuti keinginannya."
Nayna berbicara dengan tatapan menerawang jauh, matanya sudah mulai memanas kembali, bahkan penglihatannya sudah mulai buram, oleh air mata yang sudah berkumpul, siap untuk meluncur.
"Maaf karena aku membahas hal ini," ucap Arkan yang merasa terenyuh dengan ucapan Nayna itu.
Setidaknya wanita di depannya itu, masih bisa bersikap dewasa dan berpikir jernih, meskipun sedang dalam keadaan putus asa, tidak hanya memikirkan diri sendiri dan sadar sepenuhnya, atas kesalahan yang telah dilakukannya itu, lebih memilih menebus kesalahannya daripada menambah masalah yang hanya akan menjadi penyesalan seumur hidup.
Wanita itu sadar sepenuhnya dengan kesalahannya itu, dia memilih untuk mempertahankan kandungannya dengan mengambil resiko, dijauhi orang-orang disekitarnya termasuk orang-tuanya.
Dia tetap berjalan sendiri, meskipun laki-laki yang seharusnya, ikut bertanggung jawab atas apa yang menimpa dirinya, laki-laki yang seharusnya menemani dan menggenggam tangannya itu, kini entah di mana keberadaannya.
"Tidak apa-apa Om." Nayna menatap Arkan kembali, kemudian tersenyum.
"Oh iya, airnya sepertinya sudah panas, biar aku bawakan ke kamar mandi ya," sambungnya lagi, kemudian bangun dari kursi yang didudukinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
MAKANYA JGN PACARAN, PACARAN ITU DEKAT KE ZINAH, DN TRBUKTI LO BRZINAH DGN PACAR LO, UDH HAMIL DITINGGALIN, ISLAM SDH MLARANG PACARAN SBLM MNIKAH, YG INDAH ITU PACARAN STELAH MNIKAH, MAU NGAPA2IN SDH HALAL...
2023-04-01
0
Shakila
Di sini cukup salut sama Nayna, dia mampu berpikir dewasa, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, dan mau mempertanggungjawabkan apa yang telau terjadi, meskipun harus menyeret Arkan🤭
2022-09-19
3
Cicih Sophiana
wow pikiran Nayna luar biasa ga egois...
2022-08-15
1