Setelah keributan yang terjadi beberapa jam yang lalu, kini di sinilah mereka berada. Di sebuah kantor urusan agama, mereka baru saja melangsungkan ijab qabul yang dilakukan dengan dadakan itu.
"Untuk surat nikah dan berkas-berkas lainnya, kalian bisa datang lagi ke sini seminggu lagi untuk mengambilnya," ucap seorang pegawai kantor urusan agama itu sambil membereskan berkas-berkas milik pasangan yang beberapa menit lalu telah sah menjadi pasangan suami-istri.
Pernikahan itu dilakukan hari itu juga, hanya ada dua orang saksi, wali dari pihak perempuan dan penghulu yang menikahkan mereka, meskipun pada awalnya pihak kantor urusan agama heran, saat Ferdi meminta agar melakukan pernikahan hari ini juga, tapi akhirnya mereka setuju.
Meskipun mereka tidak langsung menerima surat nikah, karena harus diproses lagi, untuk mendapatkan surat nikah, mengingat waktu yang sangat singkat itu.
Tidak ada cincin pernikahan atau apa pun yang menjadi tanda, jika mereka sudah menikah. Hanya uang seratus ribu rupiah yang menjadi mas kawin Arkan untuk wanita bernama, Nayna Camelia itu.
Arkan menatap kosong ke sembarang arah, dia tidak percaya apa yang baru saja terjadi itu. Hanya dengan waktu beberapa jam, kini dia sudah menyandang status sebagai suami.
Suami dari perempuan yang bahkan tidak dia kenal, dia hanya sering melihat perempuan itu hampir tiap hari datang ke restoran itu, untuk makan siang dan berdiam diri di sana selama beberapa jam.
"Baiklah, ayo kita pulang," ajak Ferdi yang mulai berdiri dari duduknya.
Disusul oleh sang istri, pria yang menjadi ayah kadung Nayna itu, kemudian menatap Arkan dan Nayna yang masih bergeming di tempatnya, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Kenapa kalian diam, apa kalian akan menginap di sini!" Suara tegas dari Ferdi itu, membuat perhatian Nayna dan Arkan teralihkan.
Mereka pun langsung tersadar, saling menatap beberapa saat, kemudian Nayna menundukkan wajahnya dan mulai berdiri dari kursi yang menjadi tempat duduknya.
"Ayo pergi dari sini," ajak Ferdi lagi yang mulai melangkah pergi dari sana.
Melihat kedua orang-tuanya sudah pergi, Nayna pun mengikuti mereka, berjalan di belakang mereka. Namun, saat akan ikut menaiki mobil papanya, suara Ferdi menahan gerakannya itu.
"Kamu tinggalah dengan suami kamu, mulai sekarang tanggung jawab akan dirimu, sudah menjadi tanggung jawab pria yang menjadi suamimu itu. Ma, berikan tasya pada dia, setelah itu kita langsung pulang!"
"Baik Pa," sahut Winda ibu dari Nayna.
Winda mengambil tas yang cukup besar, dari bagasi mobil dan menyerahkannya pada anak satu-satunya itu.
"Maafkan aku Ma!"
Winda tidak menyahutinya, terlihat jelas jika wanita yang melahirkannya itu masih dilingkupi oleh kekecewaan atas apa yang terjadi padanya.
Nayna mengambil alih tas yang ada di tangan Winda itu, tak lama kemudian Winda mulai melangkah memasuki mobil menyusul suaminya.
Nayna menatap sendu mobil yang kini sudah mulai berjalan semakin menjauh darinya, dia menunduk menyembunyikan tangisannya, meratapi kesalahan dan nasib yang kini telah menghancurkan semua mimpi indahnya itu.
"Ayo pergi." Hanya kata singkat nan datar itu yang Nayna dengar dari mulut pria yang sudah menjadi suaminya itu.
Nayna mengikuti langkah Arkan, pergi dari halaman kantor urusan agama itu, mereka berjalan ke arah jalan raya, selama diperjalanan itu hanya ada keheningan yang terjadi.
Wanita itu tidak berani bertanya ke mana tujuan mereka, dia hanya pasrah saat Arkan menyuruhnya untuk ikut masuk ke dalam angkot yang cukup banyak penumpangnya itu.
...*********...
Kini mereka telah turun dari kendaraan umum yang mengantarkan mereka, Arkan berjalan memasuki sebuah komplek perumahan yang sederhana. Sedangkan Nayna hanya mengikuti Arkan dengan pasrah.
Tak lama kemudian, Arkan berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana tanpa gerbang dan memiliki halaman yang tidak terlalu luas. Pria itu mengambil kunci dari saku celananya dan membuka kunci rumah itu.
"Masuk."
Nayna hanya mengangguk dan menatap sekilas wajah datar pria yang sudah cukup matang itu, dia berjalan memasuki rumah yang hanya memiliki satu ruang tengah yang bisa digunakan untuk ruang keluarga sekaligus ruang tamu.
"Kamar kamu di sana," tunjuknya pada sebuah pintu jati berwarna coklat, tanpa melihat ke arah Nayna.
Setelah mengatakan hal itu, dia kembali melangkah menuju ke pintu yang ada di samping, pintu yang tadi ditunjukkannya pada Nayna.
"Om aku minta maaf," ucap Nayna yang akirnya memberanikan diri membuka suaranya.
Arkan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Nayna yang kini masih menundukkan kepala, terlihat jemarinya, meremas tali tas besar tempat pakainya itu, menunjukkan jika wanita itu kini tengah gugup.
"Maaf karena tiba-tiba saja menyeret Om seperti ini," ucap Nayna lagi.
"Kenapa kamu melakukan hal itu?" tanya Arkan menatap Nayna dengan dingin.
"Aku takut sama Papaku, ketika dia marah. Dia akan melakukan apa pun tanpa berpikir panjang, jadi saat dia meminta aku untuk menggugurkan kandunganku, aku sangat takut," terang Nayna yang masih tidak berani menatap Arkan.
"Kenapa harus aku yang kamu tarik, kenapa tidak orang lain!" geram Arkan.
"Aku tidak tau, semua itu terjadi begitu saja. Entah kenapa saat papa ngomong akan menggugurkan kandunganku aku langsung turun dari mobil dan ternyata aku berhenti di restoran itu dan melihat Om."
"Aku tau kamu pasti sudah mengatur ini sebelumnya bukan? Kamu sengaja menyeret aku, agar anak kamu tidak lahir tanpa seorang ayah. Kamu pikir dengan seperti itu, aku akan mau mengakui anak itu sebagai anakku?"
Mendengar ucap sarkas dan menohok yang terlontar dari mulut Arkan itu, membuat Nayna semakin menunduk, sakit, sesak, dan ngilu. Itulah gambaran untuk hatinya saat ini.
Namun, dia sadar ini memang kesalahannya, salahnya yang menyeret Arkan untuk masuk ke hidup rumitnya itu, wajar saja jika Arkan memiliki pemikiran buruk akan dirinya.
"Om tenang saja, aku akan segera mengajukan gugatan cerai saat usia kandunganku sudah besar, jadi papaku tidak akan bisa memaksa aku untuk menggugurkannya nanti."
Nayna mengucapkan hal itu dengan penuh keyakinan, dia juga tidak ingin menyeret Arkan ke dalam masalahnya itu, akan tetapi, dia tidak memiliki pilihan lain, selain mencari perlindungan untuknya dan calon anaknya yang tidak berdosa saat ini.
"Apa kamu benar-benar, ingin mempertahankan anak itu. Meskipun ayah dari anak itu tidak mau bertanggung jawab?" sinis Arkan yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Nayna.
"Berbuatnya aja mau, tapi giliran udah kejadian seperti ini, tidak mau bertanggung jawab dan malah menyeret orang yang tidak tau apa-apa untuk bertanggung jawab."
"Kamu juga, seharusnya sebagai wanita dapat menjaga harga diri dan kehormatan sebagai seorang wanita, bukan asal menyerahkan kehormatan pada laki-laki yang baru berstatus pacaran, kalau sudah seperti ini, bukan cuma kamu yang rugi, tapi orang lain juga ikut terseret!" gerutu Arkan yang kesal dengan keadaan itu.
Dia memilih pergi dari sana menuju ke kamarnya, daripada nanti malah semakin banyak lagi, ucapan kasar yang keluar sebagai ungkapan kekesalan yang ada di hatinya atas apa yang terjadi itu.
"Ya, aku salah, seharusnya aku tidak percaya padanya begitu saja!" lirih Nayna termenung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Shakila
Emang seharusnya kita tidak gampang terlena oleh kenikmatan sesaat yang hanya akan meninggalkan luka itu🥲
2022-09-19
0
Grafity_ky
kasian nayna,😔
2022-08-15
0
Cicih Sophiana
laki" lucknat...
2022-08-15
0