Bab 18 - Pergi ke Mall (2)

Toko kedua yang aku dan Stella kunjungi bersama Rio dan Melinda, sesuai kata Melinda, memang tampak netral dan lebih ramai ketimbang toko pertama. Mungkin karena lengkap dan beberapa harga barang yang cenderung terjangkau jadi banyak yang senang datang kemari. Tapi untuk mencari hadiah, aku pribadi tidak melihat tempat ini menyimpan sesuatu yang begitu spesial selain dari peralatan dan perlengkapan rumah biasa.

Saat masuk, Stella langsung pergi bersama Melinda ke arah rak yang berisi peralatan-peralatan dapur, sementara aku dan Rio menyusuri lorong rak yang berbeda sebelum tak lama berpencar untuk mencari sesuatu.

Aku berhenti saat melihat sekumpulan humidifier yang ada di rak. Humidifier di rak itu ada yang punya hiasan telinga rusa dan telinga kelinci di bagian atas mereka.

Aku langsung berpikir kalau Stella pasti akan gembira jika melihat ini, dia kan suka sekali dengan barang-barang imut. Dan benar saja, tak berselang lama, seolah merasa terpanggil Stella tiba-tiba muncul di sebelahku.

"Luiz, kau menemukan sesuatu yang bagus? Oh! Humidifier lucu!" Stella mengambil humidifier dengan telinga kelinci yang berwana merah muda.

Aku bergeser dan berdeham, "Stella jangan muncul tiba-tiba begitu."

"Oh? Apa aku membuatmu kaget? Maaf-maaf. Aku mencarimu daritadi, rupanya kau sedang asik melihat humidifier-humidifier lucu ini," Stella tertawa, "Aku tidak tahu kalau kau juga suka benda-benda begini, Luiz."

"Aku tidak suka," ucapku. Aku juga takkan bilang kalau aku memikirkan dia saat melihat benda itu. Jadi aku mengatakan hal yang lewat di pikiranku dengan nada sedikit cuek seolah aku tak benar-benar peduli, "Aku hanya berpikir itu bisa jadi sebuah hadiah yang bagus untuk sepupumu."

Aku tidak berniat berbohong, sungguh. Hanya saja tanpa pikir panjang, aku malah berbicara asal. Aku merutuki diriku tapi Stella juga sudah terlanjur penasaran karena aku bilang begitu. Tanpa berkedip dia menatapku dengan mata berbinar, jadi mau tidak mau aku harus memberinya sebuah alasan agar tidak terlihat bodoh.

"Maksudku, seperti saat kau bertemu dengan sepupu yang paling dekat denganmu itu, bukankah kau merasa itu seperti menghirup udara segar di antara sepupumu yang lain yang cuek padamu? Dengan kau memberi humidifier ini, kau juga menggambarkan perasaan itu padanya."

Ternyata aku harus ikut kelas filosofi setelah ini. Apa itu tadi, darimana semua kalimat itu muncul dalam benakku? Kurasa itu salah satu iklan di website yang aku lihat belum lama ini. Itu sangat buruk, aku sampai merasa geli dengan diriku sendiri.

Aku berdeham, masih mempertahankan wajah kalemku, "Begitulah."

"Oh..." gumam Stella sebelum tidak lama kemudian memeluk humidifier dalam genggamannya, "Aku akan memberikan ini pada Kat kalau begitu. Luiz, terima kasih sarannya."

Aku terdiam. Dia...benar-benar mempercayai semua kata-kataku tadi. Semudah itu?

"...Stella, tidak, pikirkan baik-baik dulu. Mungkin ada yang lebih bagus dari ini. Humidifier sebagai hadiah pernikahan itu sudah lumrah."

"Tapi dengan makna khusus, itu akan membedakannya dari yang lain. Kat pasti akan senang. Ketimbang hadiah yang cuma bagus jadi hiasan saja, ini juga bermanfaat."

Sepupu Stella, Kat, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyabotase pikirannya agar memberimu ini. Ini...hadiah paling biasa dan tidak ada spesial-spesialnya bagiku.

"Setidaknya pilih model yang lebih bagus, Stella. Lihat ada yang keluaran dari merek perusahaan kita, ini pasti lebih bagus," bujukku.

Stella mengangkat humidifier putih dengan telinga rusa yang ada di rak dan mengabaikan model yang aku tunjuk, "Ini bagus. Luiz, bukannya aku tidak mau membeli produk keluaran perusahaan keluargamu tapi aku suka model lucu ini daripada model-model dari sana."

Padahal ayahnya adalah direktur untuk cabang merek elektronik perusahaan kami, dan dia bilang begitu?

Aku menatap humidifier telinga rusa dalam genggaman Stella sejenak lalu melihat label harganya di rak. Harganya juga murah sekali, aku ragu kualitasnya bakal bagus.

"...Kau yakin? Bukankah kau bilang sepupumu tomboy?"

Stella menaikturunkan kepalanya, "Ini lucu tapi tidak begitu feminim. Dia pasti suka."

Aku menyerah. Keputusan Stella sudah bulat dan ini salahku. Aku melihat ke arah humidifier berbentuk tabung di rak, sudah saatnya aku memberitahu cabang elektronik untuk mengeluarkan model baru. Bagaimana bisa produk kita kalah saing tepat di depan mataku?

Aku menghela napas, "Baiklah. Ambil yang itu."

Stella memiringkan kepala, "Luiz, aku juga akan membeli merek milik perusahaanmu kalau kau mau. Jangan sedih."

"Aku tidak sedih, Stella. Dan lupakan hal itu."

"Sungguh?"

"Sungguh," jawabku lalu mendapati Rio dan Melinda sedang berjalan menghampiri kami, aku bertanya lagi, "Kau tidak mau ambil untuk di rumah juga?"

Aku tidak sadar sebelum pertanyaan itu keluar dari mulutku, tapi rasanya itu terdengar agak intim. Seolah aku dan dia adalah pasangan suami istri akrab yang sedang berbelanja bersama.

"Oh aku mau," Jawab Stella sambil berjinjit girang, "Luiz, kau ingin yang warna apa?"

"...Yang mana saja."

"Merek apa?"

Aku menyipitkan mata pada Stella dan dia tertawa.

"Oh aku bercanda. Luiz, kau sangat berdedikasi dengan perusahaan keluargamu," Stella tertawa kecil.

"...Tidak, bukan begitu."

"Iya, iya."

Ini pertama kali Stella mencoba bercanda seperti itu padaku. Tampaknya dia sudah tidak sesegan dulu lagi padaku. Haruskah aku menganggap ini hal bagus atau malah sebaliknya?

Rio dan Melinda tiba di sebelah kami.

"Pak Luiz, Bu Stella sudah dapat sesuatu? Humidifier? Oh itu hadiah yang bagus!"

"Oh itu lucu sekali!" Ujar Melinda. Stella mengangguk dan mulai menceritakan apa yang barusan kukatakan pada dia soal makna humidifier itu sebagai hadiah. Dan tidak pernah dalam hidupku aku merasa lebih malu dari saat Rio dan Melinda memandangku dengan seulas senyum penuh makna setelah itu. Tapi tentu saja aku tidak menunjukkannya dan memajang wajah datar.

Lepas membayar dan keluar dari toko, aku hendak mengajak Rio dan istrinya makan siang bersama kami namun Rio mendahuluiku bicara.

"Baguslah kalau bapak dan ibu sudah menemukan yang dicari. Saya ingin sekali bisa makan siang dengan bapak tapi kami ada janji setelah ini."

"Hah? Janji apa?" Melinda mengernyit, tapi Rio hanya merangkul istrinya itu dan berbisik sesuatu. Ekspresi Melinda perlahan berubah seolah mengerti akan sesuatu.

Aku memilih untuk tidak menghiraukan tingkah mereka itu dan mengangguk, "Tidak apa. Terima kasih sudah menunjukkan toko-toko tadi untuk kami."

"Terima kasih, Pak Rio. Bu Melinda," ucap Stella separuh membungkuk.

"Sama-sama, pak, bu," jawab Rio.

"Senang bisa membantu," ucap Melinda. Dia kemudian mengajak Stella untuk bertukar nomor telepon sementara Rio langsung menjabat tanganku sambil berbisik, "Pak, kami tidak akan mengganggu anda lagi. Selamat menikmati waktu berdua dengan istri anda."

Aku memicingkan mata pada Rio dan itu berhasil melunturkan sedikit senyumnya walau tidak sepenuhnya. Aku jadi heran kenapa dia selalu begitu antusias akan hubunganku dengan Stella sampai melakukan hal-hal begini, padahal aku merasa tidak ada yang spesial sama sekali dari kami berdua.

"Kami duluan kalau begitu," ucapku begitu sudah tidak ada lagi yang harus dikatakan. Stella melambaikan tangan untuk terakhir kali ke arah pasangan itu sebelum ikut berbalik dan berjalan di sebelahku.

"Mereka sangat baik dan ramah ya," ucap Stella dengan nada riang. Dia menyisir poninya sambil berbicara.

Aku cuma mengangguk karena memang sudah seperti itulah fakta dari sifat seorang Rio. Satu-satunya saat ketika dia menjadi lebih serius ya waktu sedang bekerja.

"Stella, kau mau makan dulu sebelum pulang?" Tanyaku sambil melihat jam dari jam tangan. Aku bertanya bukan karena ada maksud khusus tapi karena sekarang sudah hampir pukul satu siang dan aku juga sudah lapar jadi kupikir lebih baik kami makan di luar saja sekalian.

Stella mengangguk,"Mau."

"Mau makan dimana?"

"Um...Dimana ya...Oh! Karena cukup dekat dari sini, kita mampir saja ke sana."

Aku menoleh, "Kemana?"

"Rumah makanku. Bamboo Resto."

Hah?

Langkahku terhenti. Aku tak tahu bagaimana ekspresiku saat ini tapi yang pasti aku cuma bisa menatap Stella dalam keterkejutanku. Dia bilang apa barusan...rumah makannya?

"Luiz...?" Stella yang baru sadar aku tidak ada di sampingnya lantas berpaling dan berjalan mundur, "Ada yang tertinggal?"

"Kau...punya rumah makan?"

Mendengar pertanyaanku, Stella terus terdiam sejenak. Dia menggaruk pipi dan memiringkan kepala.

"Eh...Iya. Luiz, kau tidak tahu?"

Hm. Tidak salah lagi, aku pasti suami terbodoh abad ini.

Terpopuler

Comments

Annisa Fitri

Annisa Fitri

yah gimana si Luiz🤦

2022-09-18

0

Uus Hasanah

Uus Hasanah

semangat ayo kita saling dukung thor

2022-07-11

1

GynnaxGlitter

GynnaxGlitter

up thorr

2022-07-10

3

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 46 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!