Seminggu berada di luar negeri, sempat membuatku lupa akan kondisi cuaca yang cenderung kurang stabil di Kota A. Tadi tepat pukul empat sore, lepas berputar dua kali di udara akibat cuaca mendung, pesawat yang kutumpangi akhirnya berhasil mendarat. Kondisi cuaca membuat udara di bandara terasa jauh lebih dingin dibanding hari biasa tapi itu tak jadi masalah besar. Daripada itu, kondisi jalan yang tergenang jauh lebih memprihatinkan karena sampai memicu macet yang lumayan panjang untuk beberapa kilometer, untunglah sopir taksi yang mengantarku punya rute jalan pintas untuk menghindarinya. Begitu, durasi perjalanan dapat dipotong jadi lebih singkat walau menembus hujan deras.
Aku tiba di apartemen dua jam lebih lelet dari yang telah kuperhitungkan, tapi sekali lagi itu bukan masalah besar yang harus dipikirkan. Karena yang jadi masalah selanjutnya itu adalah saat melihat anak kecil yang tidak kukenal sedang asik duduk di ruang tv waktu baru melangkah masuk. Hanya pergi seminggu dan sekarang sudah ada anak kecil saja di rumah ini.
Aku mengernyit. Siapa anak ini? Dia bukan salah satu keponakanku. Apa dari keluarga Stella? Aku belum terlalu mengenal seluruh keluarganya jadi wajar saja kalau aku tak kenal satu dua anak kecil dalam keluarga mereka.
Tanpa sadar, aku mematung di lorong masuk sambil masih memegang gagang koper dan beberapa bingkisan oleh-oleh di tangan. Barulah ketika Stella muncul dan menyambutku masuk, aku tersentak dari benakku. Aku memberikannya bingkisan oleh-oleh yang seluruhnya berisi kumpulan kotak cokelat yang kubeli untuk dia dan ibu sebelum beralih mengangkut koper masuk.
"Kenapa kau tidak bilang kalau sudah tiba? Bagaimana perjalanan bisnisnya?" Tanya Stella. Lumayan lama tidak melihat ekspresinya yang cerah, betapa kontrasnya itu dengan cuaca di luar sana.
"Aku lupa akibat buru-buru karena hujan dan ketiduran di jalan. Semua baik-baik saja."
"Syukurlah kalau begitu."
Anak kecil di sofa yang sedari tadi hanya terlihat bagian belakang kepalanya pun akhirnya menoleh ditengah keributan yang Stella buat dari memindahkan bingkisan-bingkisan cokelat tadi ke meja counter dapur. Aku menatap dan dia balik menatap, matanya bulat dan rambut ikalnya lembab seperti baru habis mandi.
"Siapa ini Stella?" Tanyaku. Sepertinya aku pernah melihatnya di sekitar kompleks, tapi aku tak yakin.
"Ya?"
Aku menoleh ke arah Stella, "Siapa anak ini? Keponakanmu?"
Stella sontak mendelik, ketaranya baru sadar kalau dia belum menjelaskan apa-apa padaku. Dia menaruh kotak cokelat yang ada di tangannya dan segera menarik tanganku menuju lantai dua dengan tiba-tiba. Sekilas aku sempat melihat dia tersenyum ke anak itu tapi entah apa yang dia maksud dengan itu.
Aku memandang ke arah tangan yang melingkari pergelangan tanganku itu sampai ketika Stella melepaskan genggamannya sembari berbisik maaf.
"Ah, maaf. Kau pasti kaget melihat anak itu."
Aku meraba pergelangan tanganku, "...Tidak apa. Jadi siapa anak itu?"
"Dia Kevin. Anak dari penghuni yang tinggal dua lantai di bawah kita. Aku tak sengaja memergoki dia menangis sendiri sambil hujan-hujanan di taman bermain kompleks saat baru kembali dari supermarket. Karena kasihan, aku memutuskan untuk membawanya kemari."
Aku terheran, "Kenapa kau tidak langsung memulangkan dia saja?"
"Dia tidak mau....sudah begitu sejak tadi pagi. Makanya aku membolehkannya tinggal sambil sekalian menunggumu pulang untuk membantu."
Menungguku untuk membantu? Stella, jika kau yang lemah lembut dan murah senyum saja tidak berhasil membujuk anak itu, apa yang membuatmu berpikir aku yang kaku ini bisa melakukan sesuatu atasnya?
"Luiz selalu bisa diandalkan, jadi kupikir kau pasti bisa membujuknya lebih baik ketimbang aku."
Aku mengernyit, "Aku tidak pintar urusan begini, Stella. Pulangkan dia, kalau kau harus memaksa, paksa saja."
Stella terlonjak dengan mimik gamang. Aku tahu suaraku terdengar cukup dingin, tapi aku lebih khawatir dia akan terlibat masalah yang lebih besar akibat dari tindakannya. Bagaimana perasaan orang tua anak itu saat sudah pergi mencarinya kemana-mana tapi tidak kunjung menemukannya? Aku tidak mau Stella dituduh hal yang tidak-tidak nantinya.
"Pulangkan dia sekarang. Aku akan menemanimu," ujarku lalu berbalik.
Alih-alih, Stella menarik lengan kemejaku dengan tenaga yang kuat. Walau tak sampai memundurkanku, itu cukup untuk menghentikan langkahku. Ini pertama kali aku menyaksikan dia bertindak begitu kukuh akan sesuatu.
"Tidak, tidak...jangan marah, Luiz. Aku tak mungkin bermaksud menyembunyikan anak itu atau apa dari orang tuanya kalau bukan karena anak itu yang memohon. Dia bilang orang tuanya sudah tak menyayanginya lagi dan tak ingin dia kembali."
"Stella, itu masalah keluarga lain. Hal terbaik yang bisa kau lakukan sekarang adalah memulangkannya."
Stella mengangguk namun mengeratkan jemarinya, "Tapi—! Dia bilang ibunya memukulnya...bukankah itu termasuk kekerasan? Bagaimana jika dia akan kembali dipukuli lagi saat kembali? Luiz, kita harus mempertimbangkan semua ini dulu."
Aku memutar tubuhku kembali sepenuhnya menghadap Stella kala mendengar kata 'Kekerasan'. Dia punya kebiasaan untuk melebih-lebihkan sesuatu, tapi jika dugaannya benar, aku lebih tidak mau lagi dia terlibat akan apapun masalah ini.
"Stella," ucapku dengan suara yang lebih halus untuk membujuk, "Jangan memancing masalah yang tidak bisa kau atasi nantinya, hm? Jika memang ada kekerasan, aku tak melihat ada luka sama sekali pada anak itu, kau sudah memastikannya?"
Stella menggeleng. Aku menghela napas.
"Aku akan berbicara dengan anak itu," timpalku. Aku masih cukup lelah akibat jetlag, tapi disisi lain aku juga tak bisa beristirahat tenang membiarkan ada orang asing dalam rumahku.
Anak itu—siapa namanya tadi? Kevin?—masih berada di posisi yang sama sejak ditinggal tadi. Di hadapannya tepatnya di meja, sebuah mangkuk makanan yang tadi sepertinya berisi makanan yang diberikan Stella untuknya telah kosong dan bersih. Melirik postur dan tingginya, kuperkirakan dia baru berumur sekitar lima sampai tujuh tahun.
"Kevin?" Mulaiku sembari jongkok, aku sebenarnya tak seluruhnya paham bagaimana harus berurusan dengan anak kecil, tapi biarlah aku mencoba, "Istri paman bilang kau tidak mau pulang, kenapa?"
Kevin mengangguk, "Ayah dan Ibu sudah tak menyayangiku lagi, mereka terus berteriak di rumah."
"Mereka berteriak padamu?"
"Um."
"Berteriak seperti apa?"
"Kevin jangan ikut campur! Kevin anak tak berguna!"
Aku bisa mendengar suara Stella yang terkesiap dari belakang, namun mataku diam-diam menilik Kevin dari ujung rambut hingga mata kakinya, dia mengenakan kaus merah muda kebesaran yang tampaknya dipinjamkan oleh Stella. Dia tidak kelihatan berbohong, tapi aku juga tak melihat ada tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya.
"Apa orang tuamu pernah memukul atau menyakitimu?"
"Um. Ibu memukulku kemarin dan menyuruhku pergi dari hadapannya."
"Seberapa sering dia memukulmu?"
Kevin menunjukkan telunjuknya. Aku mengangkat alis.
"Setiap hari sekali?"
Kevin menggeleng, "Cuma satu kali. Kemarin."
"Apa dia sering memarahimu?"
"Ibu tak suka marah, hanya ayah, dan ibu selalu membelaku tiap kali ayah memarahiku, tapi... kemarin ibu yang memarahiku dan menyuruhku untuk pergi."
Aku menghela napas. Kelihatannya ada sebuah kesalahpahaman di sini. Aku mencoba menepuk puncak kepala kevin pelan.
"Ibumu tidak membencimu. Aku tak tahu soal ayahmu, tapi aku yakin ibumu tidak membecimu. Dia hanya lepas kendali kemarin dan pasti sangat menyesalinya sekarang."
Kevin mendongak, matanya bulat serupa milik Stella saat sedang penasaran akan sesuatu, "Darimana paman tahu?"
"Paman hanya tahu," jawabku, "Dan paman yakin ibumu pasti sedang khawatir karena kau belum pulang sejak pagi tadi."
Aku melihat jam dinding. Sudah hampir jam sembilan malam.
"Sungguh? Tapi ibu sendiri yang menyuruhku pergi..."
"Ibumu tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Orang dewasa sering melakukan itu."
"Sungguh?"
Aku mengangguk dan tersenyum tipis, "Makanya paman akan mengantarmu pulang ya? Jika sesuatu terjadi lagi...kau tahu nomor panggilan darurat kan?"
"Luiz..." gumam lirih Stella sambil menarik kerah bajuku pelan. Apa? Itu hal yang paling tepat bukan?
Pada akhirnya, aku menghela napas dan mengeluarkan kartu namaku dari dompet, mengulurkannya pada Kevin yang berwajah polos. Tangan mungilnya menggenggam erat kartu itu seolah baru saja mendapat harta karun.
"Ini, kalau sesuatu terjadi hubungi nomor disitu, kau mengerti?"
Kevin melenggut tanda mengerti.
"Paman antar pulang?"
"Iya."
Aku melihat Kevin melompat turun dari sofa sambil berdiri kembali. Tak lama, pergerakan dari belakang membuatku berpaling. Stella menatap Kevin dan kemudian padaku dengan mimik ragu, tapi tak berbicara sepatah katapun untuk menentang. Tidak, malah dia tak perlu bicara apapun sebab matanya telah mewakilkan seluruhnya. Matanya bagai jendela dari seluruh perasaannya dan itu membuatku sulit untuk segera menyusul Kevin yang kini sudah berada di depan pintu mengenakan sepatunya.
"Jika ada sesuatu yang ganjil dari orang tuanya setelah bertemu nanti, aku akan menelpon pihak berwajib untuk memeriksa keadaan mereka lebih lanjut. Untuk sekarang, biarkan dia pulang ke ibunya," jelasku.
Stella menganggut pelan, "...Oke. Aku mengerti."
Aku minta maaf jika aku bukan orang sebaik dirimu, Stella. Tapi aku tahu apa yang kulakukan. Jika anak itu datang menangis dengan penuh memar atau sekedar mengatakan orang tuanya berkali-kali memukulinya, aku takkan membiarkan dia kembali ke rumahnya begitu saja. Sebaliknya membiarkan anak kecil terus-terusan lari dari rumahnya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi adalah hal yang buruk.
Stella memberi Kevin sekotak cokelat dari salah satu oleh-oleh yang baru saja kubawa dengan senyuman yang hangat. Aku berharap semua baik-baik saja di rumah anak itu, dan orang tuanya sungguh tidak bermaksud untuk menyakitinya.
Hal-hal seperti ini tidak pernah menjadi urusanku sebelumnya. Aku tidak suka terlalu ikut campur dengan masalah orang lain, karena itu banyak yang bilang aku ini cukup dingin dan tak acuh akan keadaan sekitarku. Namun sekarang aku tidak lagi seorang diri saja, tampaknya aku harus mulai bersiap akan kejadian-kejadian serupa sebab Stella merupakan tipe yang cenderung punya empati tinggi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Innis
Semangaat... Aq sudah mampir nih..
2022-12-30
1
Achi
like dan bunga untuk ka author 🌹🌹🌹
2022-07-11
0
Shinichi x Kaito
next kak semangat trs
2022-06-19
1