Bab 16 - Keributan di Pagi Buta

BAM. BAM. BAM. BAM

Suara seperti benda dibanting tiba-tiba mengusik sunyi malam. Aku yang belum ada dua jam membaringkan diri mengerang seraya mengubur wajah pada bantal, berharap darimanapun suara itu berasal agar segera berhenti.

BAM. BAM. BAM. BAM.

"Argh..."

Aku bangkit duduk. Dengan perasaan kesal dan mata yang berat, aku mengecek jam di nakas. Masih pukul 2 pagi. Orang gila mana yang membuat suara berisik di jam segini? Siapapun itu, dia harus segera berhenti.

Menghempas selimut dan beranjak dari tempat tidur, aku bersikukuh untuk membuat orang yang telah mengganggu tidurku ini menerima konsekuensi. Kau tidak mengganggu tidur orang lain di pagi buta hanya untuk lolos begitu saja tanpa diberi pelajaran.

Saat berjalan keluar dari kamar, suara hentakan tadi mulai diselingi dengan suara tombol yang ditekan dan gagang pintu yang diputar paksa. Langkahku sontak terhenti dan alisku menukik jatuh. Tombol dan gagang pintu? Suatu pemahaman yang menakutkan tiba-tiba menyentak pikiranku kembali segar.

Pintu depan. Seseorang sedang berusaha menerobos masuk.

Kekesalan yang tadi meluap pun perlahan mulai diikuti perasaan waswas. Apalagi saat aku melihat Stella yang memakai piyama krem polkadot ikut terjaga dan keluar dari kamarnya. Dia mengepalkan kedua tangan di dada dan menatapku dengan pupil mata bergetar.

BAM. CLANK. CLANK. BAM. CLANK. BAM. CLICK. CLICK. BAM. BAM.

"Luiz, i-itu siapa?" Bisik Stella sambil menghampiriku. Aku menaruh tangan kiriku pada pundaknya dan satunya lagi di depan mulutku.

"Kau tunggu disini dan aku akan pergi mengecek."

Stella menggeleng, "Aku ikut. Berdua lebih baik daripada sendiri, Luiz."

"Stella."

"Aku hanya akan mengekor di belakangmu. Kumohon."

Aku menghela napas, mau tidak mau membiarkan Stella menarik ujung belakang piyamaku dan mengekor sampai ke pintu depan. Di sana suara ribut itu semakin nyaring. Aku jadi khawatir keluarga kakek-nenek yang tinggal di unit depan juga ikut terganggu dengan keributan ini.

"Stella, telpon sekuriti. Kau tahu nomornya kan?" Aku bertanya tanpa berbalik. Stella bergumam pelan sebelum melepaskan genggamannya pada piyamaku dan bergegas naik kembali. Kuanggap itu sebagai jawab iya.

Langkahku berhenti beberapa meter dari pintu masuk. Menyaksikan gagang pintu bergerak-gerak santer akibat dicoba dibuka paksa dari sisi luar, membuatku meringis pelan. Selama lebih dari lima tahun aku menempati apartemen ini, belum pernah sekalipun hal seperti ini terjadi sebelumnya.

Aku melangkah mendekati interkom, penasaran dengan wajah dari orang gila mana yang berhasil menerobos keamanan apartemen yang ketat dan memilih unit ini sebagai targetnya.

BAM. BAM. BAM.

Aku menyipitkan mata. Dari layar interkom tampak seorang pria tak dikenal dengan penampilan urak-urakan sedang menggedor-gedor pintu sambil memegang sebotol bir kosong. Entah seberapa kuat pukulannya untuk bisa menghasilkan bunyi sekeras dentuman benda berat begitu, aku tak peduli lagi, orang ini sungguh tak berakal.

Beberapa lama memperhatikan dia dan menunggu Stella, aku menyadari kalau mulutnya tampak sedang berkomat-kamit mengatakan sesuatu tapi suaranya tidak sekeras gedorannya untuk bisa kutangkap dari balik pintu, jadi aku menekan tombol sambung pada interkom supaya dapat mendengar apa yang sedang dia katakan sebegitu marahnya.

"Keluar kau wanita ******! Kau kan yang menghasut istri dan anakku untuk pergi?! Keluar kau—"

Suara nafas tercekal dari seseorang membuatku kaget. Aku yang tidak sadar jika Stella sudah kembali segera mematikan sambungan interkom. Dia masih memegang ponsel pada telinga tapi dengan mulut terganga.

"Itu suami Naomi! Luiz, itu suami Naomi! Ah—maaf pak sekuriti, aku sedang bicara dengan suamiku, kalian sudah menuju kemari? Oh baguslah, cepatlah pak," Stella berseru padaku tanpa sadar sebelum lanjut berbicara pada pihak sekuriti yang ada di ujung sambungan.

Suami Naomi? Aku spontan mencermati perawakan pria itu sekali lagi. Berambut tipis hampir botak, bercambang, dan setelannya acak-acakan. Oh jadi dia ini orang tidak tahu diri yang bisanya cuma menyusahkan anak dan istrinya itu. Sekarang dia juga berani menghina Stella. Dia bahkan tidak terlihat keren atau tampan sama sekali tapi punya mulut seperti sampah.

Aku mendengkus keras, merasa benar-benar geram untuk dia yang ada di balik pintu, tapi aku tahu untuk tidak jadi orang bodoh dengan langsung membuka pintu. Aku tidak takut pada pria itu tapi aku tidak mau turut mengambil resiko dengan membahayakan Stella. Lebih baik aku menunggu pihak sekuriti dulu sebelum bertindak sembarangan.

"Stella, masuklah ke kamar dan kunci pintumu."

"Tapi Luiz..."

"Stella—"

Suara benturan keras memutus ucapanku, aku spontan memeluk Stella menjauh dari pintu. Dua sekuriti terlihat dari layar interkom sedang berusaha menahan pria gila itu. Spontan aku dan Stella pun menghela napas lega.

"Tunggu disini," bisikku.

Mengira pria itu telah ditahan, aku membolehkan diri untuk membuka pintu. Betapa kagetnya aku saat pria nyaris botak itu mengigit tangan dan menendang kaki dari kedua sekuriti yang mencoba menahannya dan langsung melompat menerjangku. Beruntung aku punya refleks yang baik dan bisa menghindar sebelum tubuh maupun tangannya yang memegang botol kaca mengenai wajah dan bagian tubuhku yang lain. Dengan sigap, aku menarik tangannya yang memegang botol, memelintirnya dan menjatuhkan dia ke lantai. Aku menunggu hingga dua sekuriti itu turut menindih tubuhnya sampai kesusahan bergerak sebelum beranjak berdiri.

"Luiz!" Seru Stella.

"Stella, masuk ke kamar," ucapku dengan nada tegas. Langkah kaki Stella yang hendak menghampiriku terhenti. Aku mendongak, "Sekarang."

Stella mengangguk dan segera berlari menuju tangga. Aku membuang napas.

"Aduh, Pak Alan, apa yang bapak lakukan tengah malam begini sih?" Gerutu salah satu sekuriti yang berbadan pendek tapi kekar.

"Urgh...lepaskan aku! Tangkap orang itu, dia mematahkan tanganku. Dan wanita tadi juga...dia menghasut istriku!"

"Tidak ada yang patah, pak, tangan bapak cuma terkilir. Bapak yang salah karena buat onar. Masih jam segini lagi, kalau saya tahu bapak bisa agresif saat mabuk, tadi saya tidak akan biarkan bapak masuk walau bapak juga penghuni sini," ucap sekuriti yang satunya lagi.

Dua sekuriti itu berbicara dengan suami Naomi—atau harus kupanggil Alan saja sekarang—yang sepertinya masih menggeliat meski kian melemah karena sakit dari tangan kanannya yang terkilir. Kurasa pelajaran bela diriku pada akhirnya berguna juga.

"Aku minta tolong kalian urus masalah ini. Kalau bisa laporkan dia pada polisi," ucapku.

"Baik, pak. Tapi pak kami perlu tahu apa sebenarnya yang terjadi? Pak Alan bilang istri bapak—"

"Jala—ARGH,"

Aku menginjak tangan kanannya. Jangan pikir aku akan membiarkanmu berbicara sampah lagi. Aku bukan orang yang suka memakai kekerasan, tapi kau pantas menerima ini.

"Istriku kenal dengan istri dan anaknya. Naomi dan Kevin. Dari yang kudengar, orang ini selalu menguras uang keluarganya dan hanya hobi mabuk dan judi. Soal Naomi yang pergi dari rumah dan mau bercerai, istriku tidak menghasut siapapun, itu murni dari keinginan Naomi sendiri."

Aku menunjuk Alan dengan sebal, "Orang ini mengetuk-ngetuk pintuku dengan sangat keras dari pukul 2 pagi tadi. Tidak hanya itu, dia juga ingin menerobos masuk dengan terus menekan-nekan tombol keypad dan memutar-memutar gagang pintu paksa."

Sekuriti 1 mengangguk dan memborgol Alan. Sekuriti 2 membantu Alan berdiri.

"Kami akan segera menelpon polisi untuk di proses lebih lanjut. Pak Luiz, mohon tenanglah dan tetap berjaga-jaga juga."

"Baiklah. Jika ada sesuatu yang perlu kuberitahu pada polisi, kabari aku saja."

"Baik, pak. Maaf jika sesuatu seperti ini terjadi pada bapak dan istri. Kami akan lebih siaga untuk mengawasi seluruh cctv kami selanjutnya agar bisa segera mengecek jika ada yang aneh di setiap koridor lantai."

"Iya. Terima kasih."

Aku memandang dua sekuriti itu membopong Alan yang kini setengah sadar dan limbung akibat terlalu mabuk sebelum menutup pintu. Saat berbalik, aku tanpa sengaja menendang botol bekas bir Alan yang masih ada di lantai sebab terjatuh tadi. Dengan jijik aku membuang itu ke tempat sampah dan membasuh tangan setelahnya.

Inilah salah satu alasan mengapa aku kurang suka untuk ikut campur dengan masalah orang lain, meski aku tahu saling membantu sesama itu baik dan penting. Kadang orang bisa kehilangan akal saat tersulut emosi dan mampu menyerang kita begitu saja. Layaknya kelakuan suami Naomi malam ini.

Aku tak bilang apa yang Stella lakukan untuk Naomi selama ini adalah hal buruk dan takkan pernah menentangnya meski waktu dapat diputar kembali, tapi aku juga bisa bilang kalau aku tidak senang dengan akibat yang datang malam ini pada Stella dan aku.

"Luiz, semua baik-baik saja sekarang?" Stella berbisik dan melangkah keluar dari kamarnya. Aku berhenti di depan pintu kamarku dan mengangguk pelan.

"Maaf semua ini terjadi karena aku. Aku terus menganggumu bukan?" Stella menunduk. Gestur itu membuat dia terlihat lebih kecil dari postur tubuhnya yang asli. Aku sedikit kasihan.

"Tidak usah minta maaf. Ini bukan salahmu," ucapku halus. Lalu aku teringat dengan panggilan Alan pada Stella dan segera meredam amarah yang tiba-tiba timbul kembali.

"Perkataanya tadi jangan kau masukkan ke dalam hati."

Pundak Stella menegang namun dia mengangguk. Aku tahu dia pasti akan terus mengingat panggilan kasar itu untuk waktu yang lama, bagaimanapun selama ini tidak pernah ada yang bersikap kasar maupun mengatai dia. Jadi yang tadi sudah pasti langsung menusuk hatinya.

Aku tidak tahu bagaimana harus menghibur seorang wanita yang bersedih jadi aku hanya menepuk puncak kepalanya dua kali.

"Masuk dan tidurlah lagi."

"Oke...Luiz, terima kasih ya," Stella akhirnya mendongak dan tersenyum, "Tadi kau sangat keren saat melawan pria itu. Bahkan dua sekuriti kewalahan menahan dia, tapi Luiz berhasil menjatuhkan dia dengan mudah."

Wajahku mendadak terasa panas. Stella gampang sekali terpukau akan segala sesuatu yang baru pertama kali dia lihat. Orang lain dengan pengetahuan bela diri dasar pun pasti bisa melakukan hal yang kulakukan tadi, dan sekuriti yang kewalahan itu hanya tidak beruntung saja menghadapi orang gila yang suka menggigit orang lain. Tidak ada yang spesial untuk dipuji.

"Stella, masuklah ke kamarmu."

"Oh, oke. Selamat malam, Luiz."

"Malam, Stella."

Aku menunggu Stella sampai dia telah benar-benar menutup pintu kamarnya sebelum masuk ke dalam kamarku sendiri. Aku bilang pada Stella untuk tidak memasukkan perkataan Alan ke dalam hati, tapi aku sendiri masih tidak bisa menghentikan perasaan getir acap kali terngiang akan itu. '******' adalah kata yang sungguh vulgar dan eksplisit. Aku bukan suami yang mencintai dia, tapi aku tidak senang mendengar kata itu atau kata tak senonoh lainnya disandingkan bersama Stella yang polos dan selalu tulus. Dia tidak berhak mendapat perlakuan kasar dari siapapun. Tidak dari Alan, aku maupun orang lain di masa depan.

Alan tidak bisa terus dibiarkan berkeliaran di sekitar kompleks apartemen ini dan terus membuat Stella gelisah. Tidak setelah dia mencoba menerebos masuk dan memanggil Stella dengan kata kotor.

Aku harus segera mengurus Alan. Secepatnya dan bagaimanapun caranya.

Terpopuler

Comments

Hoselala

Hoselala

Nextt

2022-07-08

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 46 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!