Bab 10 - Kegiatan Baru Stella

Stella adalah tipe orang rumahan. Setidaknya itulah yang kudengar dari ayahnya dulu saat bertemu untuk membicarakan urusan pernikahan kami. Ayahnya bilang dia bisa menghabiskan dua puluh empat jam per tujuh waktunya di rumah tanpa merasa bosan sama sekali saat tidak punya kegiatan lain. Dulu dia pernah bekerja di sebuah kafe buku terkenal milik teman ayahnya, tapi karena pekerjaan itu dianggap terlalu berat untuknya, dia disuruh berhenti oleh kedua orang tuanya. Belum sempat aku bertanya tentang hal lain seperti apa yang dia lakukan sekarang sebagai gantinya, tetapi seseorang sudah memotong pembicaraan kami waktu itu. Itulah mengapa aku berpikir kalau dia hanyalah wanita manja yang selalu bergantung pada orang tuanya.

"Luiz, ini sendok dan garpumu. Hati-hati dengan supnya, baru kuangkat dari panci jadi masih panas sekali."

"Oke."

Aku dan Stella baru mau menyantap makan malam saat obrolan dengan ayah Stella itu kembali melintas dalam benakku. Duduk bersebelahan dengan posisi menghadap ke arah televisi yang menyala, dengan hanya volume sedang dari suara si pembawa berita dan sebuah lampu dapur yang menyinari ruangan, atmosfir yang meliputi kami saat itu terasa cukup menyejukkan.

Sekarang aku pikir lagi, kurasa Stella hanya korban dari perlakuan ayah dan ibunya yang melihat dia sebagai pribadi yang rapuh dan harus terus dimanja. Mereka membesarkan dia dengan cara pikir kalau wanita pada akhirnya hanya akan menjadi tanggung jawab suaminya dan tak perlu bersusah payah akan sesuatu kecuali itu untuk menyenangkan suaminya juga. Tidak heran Stella pandai sekali dengan pekerjaan rumah tangga ketimbang pekerjaan lain di luar sana. Aku tidak bilang itu buruk, hanya sayang saja untuk menahan dia dari mempelajari hal lain yang mungkin menarik minatnya.

"Luiz, makan wortel dan sayurnya juga."

"...Iya."

Soal Stella yang senang tinggal di rumah, mulanya aku sama sekali tak merasa ada yang aneh dari itu pasalnya aku pun tipe yang serupa, dan justru bagus kalau dia lebih suka tinggal di rumah karena itu berarti dia takkan menimbulkan masalah atau berbuat hal macam-macam di luar seperti yang biasa dilakukan beberapa istri dari rekan kerjaku—bergosip dan berfoya-foya adalah hal terakhir yang kuinginkan dari seorang istri—hingga aku menyadari kalau Stella nyatanya bisa seperti itu akibat dia tidak mempunyai teman yang mau atau bisa untuk diajak keluar.

Aku sedang menikmati semangkuk kuah kaldu hangat dari mangkuk ketika Stella mulai bicara. Dia bercerita soal kunjungannya ke unit Kevin dan ibunya Naomi sejak beberapa minggu lalu. Dia memang jadi lebih sering keluar dari biasanya dan kadang membuat aku yang pulang mendapati rumah kosong, aku juga sempat khawatir kalau dia mulai berkeluyuran di luar namun ternyata dia pergi untuk mengunjungi ibu dan anak itu.

Saat aku tanya mengapa dia begitu antusias soal mereka, Stella malah balik bertanya dengan pertanyaan yang membuatku lumayan kaget.

"Luiz, apa aku ini menyebalkan?" Tanyanya. Matanya membulat dipenuhi binar-binar penasaran, seolah dia sudah sangat ingin menanyakan itu dari dulu.

Aku mengerjap heran, sama sekali tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba menanyakan itu, sementara dia semakin menuntut dengan pertanyaannya.

"Kalau terlalu peduli pada sesuatu atau seseorang, apa itu sifat yang menyebalkan?" Timpal Stella ketika aku belum menjawab.

"Mungkin?" Jawabku, "Kalau orang itu sampai ikut campur urusan pribadiku, aku tentu akan marah."

"Ah begitu ya..." gumam Stella. Dengan pandangan menurun dan kedua ujung bibir tertarik lurus, ekspresinya terlihat tidak biasanya murung, "Tapi sulit bagiku untuk tidak mempedulikan orang lain di sekitar. Aku tidak tahan untuk tidak melakukan sesuatu saat aku melihat ada sebuah masalah, walaupun kadang aku sadar itu bukanlah urusanku..."

Oh, aku mengerti. Dia pasti yang biasa disebut dengan tipikal orang busy body. Kalian tahu, itu tipe orang yang selalu menyibukkan diri dengan urusan orang lain sekalipun itu bukan urusannya.

"Aku hanya ingin membantu dan menjadi teman yang baik, tapi mereka menyebutku seseorang yang terlalu ikut campur, mencari muka, tidak asik dan sejenisnya. Luiz, bukankah aneh kalau mereka awalnya sangat menyukai bantuanku dan ingin menjadi temanku karena itu tapi akhirnya meninggalkanku karena alasan yang sama?"

Selagi bertanya, alis Stella mengerut semakin dalam, dan bibirnya mengerucut. Aku langsung menunduk, untuk suatu alasan aneh, aku merasa tidak baik bagiku melihat ekspresi itu terlalu lama. Seolah ada sesuatu darinya yang mendorong diriku untuk mengabulkan apapun yang akan dia katakan selanjutnya. Bahaya, ekspresi itu bahaya.

Aku kembali fokus pada perkataan Stella sebelumnya. Apa "mereka' yang dia maksud adalah teman-teman lamanya? Kurasa begitu. Jadi inilah alasan mengapa dia tak pernah punya teman dekat di sekitarnya, bahkan saat kami menikah tamu yang datang dari sisi undangannya kebanyakan adalah rekan bisnis ayahnya atau tidak sepupu-sepupunya. Aku salah mengira, tapi rupanya dia tidak sama denganku yang memang memilih untuk tidak begitu dekat dengan siapapun diluar keluargaku, tapi dia simpelnya hanyalah seseorang yang dijauhi kawan-kawannya.

Itu cukup menjawab pertanyaanku akan mengapa dia begitu antusias pada Naomi yang baru dia kenal. Tak ayal, dia ingin mencari sosok teman baru dari wanita itu jauh melebihi kepedulian awalnya pada si Kevin. Apalagi setelah tahu kalau Naomi juga seumuran dengannya—ya, Naomi rupanya seumuran dengan Stella meski terlihat jauh lebih tua dari penampilannya—tak ada yang bisa menghentikannya dari keputusan itu.

Aku menelan makananku perlahan sebelum menjawab, "Tidak juga. Kau mungkin tak sadar kalau sudah melewati batasan yang ada dengan sikapmu dan mereka tidak menyukainya. Itulah mengapa membatasi diri itu penting. Menjadi terlalu baik atau peduli pada apapun, suatu saat bisa punya dampak buruk. Untukmu dan orang disekitarmu."

"Kenapa?"

"Karena sesuatu yang berlebihan itu tidak baik."

"Bahkan jika niatku baik?"

"Hm."

"Kalau begitu...Luiz, apa menurutmu Naomi dan Kevin akan sebal jika aku sering mengunjungi mereka setiap hari dan bersikap terlalu ramah? Membantu mereka dengan ini itu?"

Aku termenung sejenak sembari mengunyah makanan. Layaknya yang kukatakan tadi, semenjak memulangkan Kevin, Stella mulai berusaha mengakrabkan diri dengan pasangan ibu dan anak itu setiap harinya.

Setiap waktu makan malam, tanpa ditanya Stella akan selalu bercerita soal ini itu dari apa saja yang dia lakukan di rumah mereka dan hal-hal lain yang dia ketahui selama menghabiskan waktu disana. Dia rutin memberi makanan, mendengarkan curhatan Naomi tentang suaminya dan beberapa kali menemani Kevin bermain saat Naomi sibuk. Semuanya dia ceritakan dengan penuh energi. Unit B-082 seakan menjadi hunian keduanya saat ini.

Kalaupun ada yang membuat Stella menahan diri untuk tak berkunjung setiap hari, itu mungkin adalah suami Naomi yang sampai detik ini dia masih tidak tahu namanya. Dia mendeskripsikan suami Naomi yang walaupun suka muncul memakai setelan yang serupa dengan milikku sebagai orang ugal dengan wajah garang, dan temperamental saat pertama bertemu. Intinya tidak ada impresi baik dari suami Naomi dalam memorinya. Acap kali dia senantiasa bercerita dengan begitu ekspresif, melihat raut wajahnya yang bergantian berubah dari bahagia menjadi sebal waktu bercerita tentang keluarga itu cukup menghibur dan membuatku takjub.

Seharusnya bukan hal buruk kalau dia bisa menemukan teman baru, jadi aku pun menjawab pertanyaan tadi apa adanya.

"Selama kau bisa menentukan batas agar tidak ikut campur dalam masalah privasi yang ada dalam keluarga mereka. Kurasa...mereka akan menerimamu dengan besar hati."

Air wajah Stella kembali cerah dengan senyum merekah, "Iya! aku akan mencoba menahan diri. Mungkin aku harus melakukan yoga lagi."

"..."

Stella bersenandung seraya mengambil sepotong ayam pandan yang belum lama ini dia pelajari resepnya.

"Kalau bisa jangan dekat-dekat dengan ayah Kevin. Dan jangan sampai kebaikanmu dimanfaatkan oleh orang lain," ucapku.

Sekali lagi, aku tidak mau kalau dia sampai terseret suatu masalah nanti. Bagaimanapun, walau kami tidak saling mencintai, saat ini dia tetaplah istri yang menjadi tanggung jawabku.

Stella mengangguk dan semenit kemudian mendongak dengan mata cemerlang, "Luiz sungguh orang yang dewasa. Aku beruntung bisa bertemu denganmu."

Ucapan itu melesat begitu saja dari mulut Stella, membuat aku yang tak siap jadi diam-diam gelagapan harus merespon seperti apa. Aku tak mau jika dia sampai melihatku sebagai sosok yang dikagumi atau apa. Aku hanya pria biasa yang karena menuruti keinginan keluarga harus menikah dengannya dan berbincang tentang ini. Aku ingin bilang, jika yang ada di depanmu adalah pria lain yang jauh lebih ramah dan perhatian, mungkin dia akan memberi tanggapan yang lebih baik untukmu dengan kata-kata manis yang penuh cinta.

Alih-alih aku hanya bergumam pelan dan melanjutkan makanku tanpa mengatakan apapun lagi. Malam itu, pertama kali bagi aku dan Stella tuk berbicara sesuatu yang cukup serius, dan sejak itu pula walau sebatas obrolan ringan, kami jadi lumayan banyak berbicara satu sama lain.

"Stella, kalau sesuatu terjadi...kau harus segera memberitahuku," kataku sambil memperhatikan Stella mengunyah makanan. Mendengar itu, seperti yang sudah-sudah dia hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum, tapi aku tahu dia akan segera datang padaku sebagai pertolongan pertamanya. Dan aku benci akan diriku yang merasa sedikit bangga untuk itu.

Aku tidak seharusnya membuat dia jadi ketergantungan padaku, tapi akulah yang justru terus menawarkan bantuan padanya.

Terpopuler

Comments

Ria Onits

Ria Onits

karakter wanitanya lemot kurang greget

2022-09-22

0

Hoselala

Hoselala

Lanjutt

2022-06-21

2

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 46 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!