Stella sungguh bukan wanita yang ada dibayanganku untuk menjadi isteriku. Semua tentang dia itu terlalu rata-rata dan jika tidak, dia itu aneh. Tingginya rata-rata, wajahnya rata-rata, pakaiannya rata-rata, dan dia juga ceroboh. Karena itu pernikahan kami pun tak seindah dan seharmonis milik orang lain.
Selama dua bulan awal setelah menikah, aku sebisa mungkin menghindari interaksi dengan Stella. Kami tidur di kamar yang berbeda dan aku bakal berangkat kerja pagi-pagi sekali sebelum dia bangun dan pulang larut malam saat dia telah tidur. Jika aku terlambat bangun karena habis lembur pada malam kemarinnya, aku akan menghindari ajakannya untuk sarapan bersama karena tak tahan memikirkan kecanggungan yang akan terjadi di meja makan nanti.
'Aku harus segera berangkat, sarapannya nanti saja' menjadi alasanku untuk menghindarinya. Sebenarnya kadang aku merasa buruk dengan melakukan itu, apalagi saat menyadari dia juga mulai berusaha bangun sepagi mungkin untuk bisa sempat membuatkan sarapan. Jika aku bangun jam enam, dia bakal bangun jam enam lewat lima dan jika aku bangun jam setengah lima, dia juga bakal bangun setengah lima.
Stella pernah membuatku kaget karena berdiri di depan pintu kamar mandi dengan rambut panjangnya yang masih acak-acakkan dan piyama merah mudanya yang sama berantakan.
"Oh..Pagi Luiz.." gumamnya lalu berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi. Aku perlu lima belas detik untuk memproses apa yang baru saja terjadi saat itu.
Aku tak bisa mengerti jalan pikiran Stella. Dia kadang melakukan hal-hal diluar nalarku. Suatu kali pada waktu pagi menjelang siang, saat aku kembali untuk mengambil flashdisk berisi data penting yang tertinggal, aku mendapati dia tidur dengan posisi membungkuk dengan tangan terentang ke depan di lantai seolah sedang menyembah sesuatu. Meski sedikit ragu, aku memutuskan untuk menghampirinya.
"Stella..." Panggilku, "Stella.."
"Stella bangunlah," Aku menggoyangkan bahunya pelan setelah panggilan saja tidak berhasil membangunkannya. Dia terbangun dan menggosok mata, namun wajahnya sudah terlanjur memerah karena aliran darah yang turun ke kepala. Aku jadi khawatir dia akan merusak otaknya kalau aku tidak kebetulan harus kembali dan menemukan dia saat itu.
"Kenapa kau tidur disini dan dengan posisi begitu?"
"Hah? Oh, Luiz...Bukan apa-apa, aku hanya ketiduran saat mau mencoba yoga tadi," ucapnya lalu tertawa kecil seolah tidak ada yang salah.
Bagaimana dia bisa tidur dalam posisi seperti itu, aku takkan pernah mengerti.
"Jangan begitu, itu tak bagus untuk aliran darah dan otakmu."
"Ah? Bukannya yoga itu bagus untuk tubuh dan pikiran?" Ucap Stella sambil menggaruk-garuk pipi.
"Bukan, aku bicara soal kau yang tertidur di posisi itu."
"Oh..."
Aku masih berusaha menghindari Stella hingga sekarang, namun pagi ini herannya dia tidak seriang biasanya. Waktu aku mulai beralasan lagi harus segera berangkat, alih-alih tersenyum dan mengangguk mengerti seperti yang kemarin-kemarin, dia malah menunduk dan menatap makanan di meja dengan murung. Ini bukan pertama kalinya tapi hari itu raut wajahnya terlihat tiga kali lipat lebih gelap dari yang sudah-sudah.
Langkahku sontak terhenti. Perasaanku dilema akibat merasa bersalah sudah menyinggung perasaannnya terus, selama beberapa saat aku menimbang tindakan yang harus kuambil sebelum pada akhirnya aku memilih menuruti nuraniku. Aku berdeham pelan.
"Sarapannya...jadikan bekal saja, aku akan makan di kantor."
Ekspresi murung Stella lekas bertukar menjadi gembira. Tubuhnya lantas bergegas menyiapkan bekal sementara aku memakai sepatu. Dengan samar aku bisa mendengar beberapa bunyi benda jatuh dari dapur.
...Kuharap aku mengambil keputusan yang tepat dengan ini.
Alhasil aku tiba di kantor sambil menenteng sebuah tas esktra selain dari tas laptop yang sering kubawa, Rio yang selalu membeli sarapan untukku dari kafetaria kantor sudah berdiri rapi di sebelah meja yang tertata dengan makanan. Aku melirik set makanan yang ada di meja sebelum meletakkan bekal dari Stella di sampingnya.
"Aku lupa mengabarimu, hari ini harusnya tidak perlu membeli sarapan," ucapku lalu menunjuk ke makanan di meja, "Semua itu kau saja yang makan."
"Saya pak? Semuanya?"
"Hm. Duduklah, makan bersamaku. Kau belum sarapan kan?"
Rio menatapku seolah sebuah keajaiban baru saja keluar dari mulutku. Sekarang kupikir, rasanya selama ini aku terlalu kaku sebagai seorang atasan. Walau aku selalu memastikan untuk tetap bersikap ramah pada semua pegawai, sepertinya itu belum memadai untuk meningkatkan relasi di antara aku dan mereka. Haruskah aku mentraktir mereka keluar sesekali?
"Wah terima kasih banyak pak!" Seru Rio.
Kembali ke sarapan, Stella, tak kusangka bisa memasak dengan cukup baik. Keraguan yang sempat melintas di benakku akibat mengingat kecerobohannya di dapur tadi berganti dengan rasa terkejut begitu membuka tutup bekal. Makanan yang dia siapkan lumayan simpel, hanya nasi, chicken katsu, tamagoyaki dan sedikit sayuran, tapi penampilan dan aroma yang menyerbak dari semua itu dapat lekas menggugah selera.
Bagaimana mungkin ini berasal dari tangan yang sama dengan tangan seorang Stella?
"Wah, pak, bekal anda kelihatannya enak sekali. Istri anda pasti pandai memasak," Rio memandang bekalku dengan penuh selera, dia secara natural tahu kalau Stella yang membuat semua ini. Tentu saja, siapa lagi, jika bukan isteriku yang membuatkanku bekal.
Aku mendongak sekilas, lalu mengangguk ke arah makanan di hadapanku, "Cobalah, kalau kau mau."
"Bolehkah pak? Makanan yang spesial dibuat oleh istri anda ini, bolehkah pak?"
Rio, kau berlebihan. Aku melempar pandang padanya namun dia sudah terlanjur terpincut dengan bekalku untuk menyadarinya.
"Iya, cobalah."
Soal makanan hal yang paling penting tetaplah rasa. Aku takkan terburu-buru berspekulasi hanya dari tampilannya yang menggugah, bagaimana jika rasanya justru sebaliknya? Aku butuh jaminan sebelum mencobanya.
Usai mendapat izin, Rio tanpa ragu menyendok sepotong katsu dari bekalku. Aku menilik wajahnya yang bertransformasi dari antusiasme ke terkejut dan berakhir dengan penuh apresiasi.
"Wah, ini enak sekali pak!" Rio menutup mulut dan melototiku seolah ingin menyampaikan seluruh perasaan yang dia rasakan dari gestur itu.
Melihat Rio makan rasanya bagai sedang menonton langsung acara makan-makan yang pernah tanpa sengaja kudapati Stella tonton di tv. Seenak itukah? Tidakkah dia sedikit terlalu berlebihan? Aku yang penasaran lantas ikut mengambil sendok dan mulai mencicipi untuk menilainya sendiri. Itu tidak mungkin sampai seenak itu...
Oh...
Oh...ini enak. Rio tidak berbohong. Tanpa kusadari, tangan dan mulutku terus bergerak untuk menyendok dan mengunyah semuanya. Mungkin salah satu faktor yang mempengaruhi adalah karena aku sudah lama tidak makan makanan rumah dan masakan Stella mengingatkanku pada yang biasa ibuku buatkan dulu. Dalam waktu kurang dari dua puluh menit, tempat bekal itu bersih tanpa sisa.
Rio juga menghabiskan makanannya dan kembali ke mejanya di luar ruang kerjaku. Selagi aku mengelap bibirku dengan saputangan, sebuah gagasan diam-diam menyelinap melewati benakku:
Aku harus sarapan di rumah sesekali untuk menjaga asupan sehatku.
Hm, sudah diputuskan. Bagaimanapun dalam pernikahan kontrak sekalipun harus ada yang namanya simbiosis mutualisme. Aku bekerja mencari nafkah untuk membeli bahan makanan, jadi sudah sepatutnya aku juga menikmati hasil akhirnya bukan?
Beberapa hari kemudian.
"Luiz, untuk sarapan hari ini aku buat menu khusus kentang! Ada sup kentang, tumis sosis kentang dan perkedel kentang. Duduklah-duduklah, aku akan mengambilkannya untukmu," sebelum bisa bereaksi, Stella menarik lenganku untuk duduk di meja makan. Aroma lezat muncul begitu dirinya mengangkat panci dari kompor.
Mulanya aku benar-benar cuma berniat untuk sarapan dirumah sesekali saja, tapi entah mengapa setiap pagi saat Stella memanggil di ujung tangga, aku tak bisa membawa diriku lagi untuk mengatakan alasan lama yang biasanya kugunakan untuk menghindari waktu sarapan. Wajahnya selalu menatap penuh harap dan adakalanya aku merasa telah dijebak oleh dia.
Aku tak menyukai Stella. Karena dia, aku tidak bisa lagi menikmati makanan di luar seperti sedia kala tanpa membandingkannya dengan yang biasa dia masak di rumah. Dia sudah merusak indera perasaku.
^^^ ^^^
...****************...
Bonus:
Rio: Selamat pagi, Pak Luiz! Seperti biasa, anda kelihatan semakin makmur!
Luiz:...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Karen_gold
baru mampir nih Thor, aku suka alur cerita nya
2022-07-09
1