Waktu berlalu dengan cepat, tak dirasa aku dan Stella telah memasuki tanda satu tahun pertama usia pernikahan kami. Tidak ada hal spesial yang terjadi, namun aku bisa bilang kalau kini semuanya terasa lebih baik ketimbang beberapa bulan awal. Aku sudah terbiasa dengan kehadiran sosok Stella di tempat dan ruang yang sama denganku dan hampir tidak lagi merasa terlalu canggung untuk mengobrol dengan dia.
Hampir.
Kecanggungan itu tentu masih ada, dan kurasa itu akan tetap tinggal sampai empat tahun ke depan. Bagaimanapun sejak awal aku dan Stella adalah dua pribadi yang tidak dimaksudkan bersama namun dipaksakan untuk bersatu, jadi itu wajar saja.
Alih-alih merayakan anniversary layaknya pasangan lain pada umumnya, pada sabtu pagi yang cerah ini aku malah dikagetkan oleh Stella yang muncul di depan pintu masuk bersama Kevin dengan wajah muram.
Ada apa lagi ini?
Stella dan muram bukanlah kata yang biasa diasosiasikan bersama, ditambah dengan suasana hatiku yang sebetulnya sedang baik sebab telah menyelesaikan seluruh pekerjaan penting untuk dua minggu ke depan hingga bisa bersantai menikmati kopi pagi di hari libur ini, aku merasakan konflik batin untuk memberi tanggapan yang tepat.
"Ada apa?" Tanyaku pelan ketika Stella dan Kevin masih berdiri di lorong masuk dengan wajah cemberut mereka tanpa mengucapkan apapun. Aku memang masih mengenakan piyama dan belum sempat bercermin karena langsung pergi membuat kopi tapi kurasa wajah pagi hariku tidak seburuk itu sampai harus membuat mereka berdua mematung di sana.
"Oh, Luiz kau sudah bangun?" Tanya Stella.
"Hm."
Lalu yang membuatku kaget lagi, setelah mendengar jawaban itu, Stella malah melenggang pergi begitu saja menuju tangga bersama Kevin tanpa bilang apa-apa lagi. Aku—Apa dia marah karena aku melewatkan waktu sarapan? Aku tahu ini sudah pukul sepuluh lewat tapi jangan salahkan aku kalau aku bangun telat sehabis bekerja semalaman penuh, Stella juga tahu tentang kebiasaanku ini di akhir pekan jadi kenapa dia tiba-tiba mengabaikanku begitu saja kali ini?
Ketika sedang menaruh cangkir kopi yang telah kosong di wastafel, aku melihat Stella kembali turun sendiri. Suasana hatiku yang sudah terlanjur terpengaruh membuatku tidak langsung mengatakan apapun padanya. Lagipula jika terjadi sesuatu—dan aku yakin pasti terjadi sesuatu—dia akan cerita duluan padaku.
"Luiz, kau minum kopi sebelum sarapan lagi?"
"Kau tidak ada saat aku turun, jadi..."
"Jadi kau ingin curang dan melewati sarapan lagi?" Stella tersenyum, namun sirat matanya tidak menghumori apapun yang dia katakan, "Jangan begitu Luiz, makanannya ada di meja dan—"
"Stella, apa yang terjadi?"
Aku tidak ada maksud untuk bersikap tidak sopan dengan memotong kalimat Stella, tapi aku tidak sedang ingin mendengar ceramahnya. Aku penasaran apa yang begitu mengusik suasana hatinya sampai harus mencemari milikku juga pagi ini. Aku bisa mengira itu bakal berhubungan dengan Kevin dan Naomi lagi, tapi aku tetap harus tahu apa yang sebenarnya terjadi agar bisa mengambil sikap selanjutnya. Apapun itu supaya aku bisa menikmati hari libur yang jarang ini tanpa beban pikiran.
"Oh...bukan apa-apa, Luiz."
"Stella, cerita."
Disudutkan oleh nada suaraku yang kian menegas, Stella lantas menganjurkan sepasang telapak tangannya padaku. Masih bingung, aku pun melihat tangannya, tekstur kulitnya tampak sedikit kasar tapi luka-luka gores kecil di sanalah yang menyita seluruh perhatianku saat itu juga.
"Saat aku pergi membawa makanan untuk Kevin dan Naomi tadi pagi, di sana berantakan sekali. Banyak pecahan piring bertebaran dan Naomi sedang menangis. Aku—"
"Tahan dulu Stella, obati tanganmu dulu."
Aku punya firasat buruk akan apa yang akan dia katakan, tapi aku juga tidak nyaman melihat goresan di tangannya dibiarkan begitu saja, jadi aku menyuruh dia untuk mengobati dan menutup luka itu terlebih dahulu sebelum lanjut bercerita.
Stella menuruti perkataanku dan pergi meraih kotak obat. Mataku melekat pada dia yang menutup luka gores itu dengan plester luka. Tadi karena spontan aku sempat memegang jemarinya, menyadari itu tidak sekasar yang terlihat namun juga segera melepasnya begitu tersadar apa yang telah kuperbuat.
"Aku sejujurnya tidak mau cerita padamu, Luiz. Aku tidak mau merepotkanmu soal masalah ini lagi."
Aku menghela napas. Aku berterima kasih jika dia sudah menangkap keenggananku, tapi sejak awal pun, aku sudah terlibat dalam masalah ini bukan?
"Tapi aku sudah terlanjur melihatmu membawa Kevin kemari. Jadi tidak ada gunanya bertele-tele lagi, Stella."
Stella mengangguk, "Ini menyangkut suami Naomi. Aku pernah cerita kalau dia terlihat garang kan? Itu bukan hanya dari penampilan tapi sifatnya juga. Dia selalu menghabiskan uang yang ditransfer ayah Naomi setiap bulan untuk tabungan keluarga mereka hanya buat judi dan minum-minum. Saat dilarang, dia bakal marah dan mengamuk. Kadang juga sampai memukul Naomi."
"Ayah Naomi?"
"Oh, aku belum cerita padamu. Ayah Naomi itu pemilik pabrik es besar di Kota C. Dia yang membeli unit apartemen di sini untuk Naomi dan keluarganya."
Bagaimana dengan suaminya, apa pria itu tidak bekerja? Seolah bisa membaca isi pikiranku, Stella lanjut bicara.
"Suaminya bekerja jadi sales di salah satu perusahaan asuransi setelah sempat beberapa kali dipecat dari pekerjaan lamanya. Kata Naomi gajinya tidak seberapa dibanding biaya hidup di daerah sini, jadi uang dari ayahnya lah yang lebih menunjang kehidupan mereka selama ini."
"Kalau sadar begitu, kenapa mereka tidak pindah saja ke perumahan yang lebih sederhana? Yang biayanya lebih murah."
Stella menghela napas, "Suaminya tidak mau. Kata Naomi bagi suaminya hidup di sini mengangkat namanya di mata kolega dan orang-orang yang dia temui. Dia selalu berhalusinasi jadi seorang jutawan yang akan segera menguasai wilayah ini dengan reputasi itu dan dia juga senang sekali membeli setelan-setelan mahal seperti milikmu dengan uang mereka. Kemarin malam, Naomi tidak tahan lagi dengan tingkahnya jadi..."
"Mereka bertengkar?"
Stella mengangguk, "Dan suaminya jadi lebih agresif dari biasanya. Dia melempar piring dan gelas kaca kemana-mana. Saat aku datang pagi ini, Naomi masih belum membereskan semua serpihan itu jadi aku membantu membersihkannya. Dan soal Kevin yang kubawa kemari, Naomi menitipkannya padaku sementara dia berkemas untuk pindah."
Kedua alisku terangkat naik, "...Pindah?"
"Iya, kembali ke rumah orang tuanya. Dia juga sudah bertekad mau menceraikan suaminya."
"Jadi karena itu kau sedih, karena dia mau pindah?"
Mata Stella membulat, "Bukan Luiz, aku sedih karena semua hal tadi harus terjadi. Masalah pindah, itu lebih baik bagi mereka. Sejujurnya aku sudah berusaha membujuk Naomi untuk pindah sejak dari dua bulan lalu saat melihat suaminya meneriaki dia di depanku."
Oh, dan dia tidak memberitahuku soal itu sama sekali. Bagaimana jika dia juga ikut disakiti oleh suami Naomi?
"Oke..." ucapku.
Stella memiringkan kepala, "Jadi...tidak apa Kevin di sini untuk sementara? Aku menyuruhnya tidur di kamarku dulu karena tidak ada kamar kosong lagi. Dia belum tidur semalaman kemarin."
Aku mengangguk, "Hm."
Stella tersenyum, kali ini terlihat sedikit lebih gembira, "Terima kasih, Luiz. Aku tahu kau kurang suka jika ada orang asing di rumahmu, tapi kau tetap mencoba untuk mengerti. Sudah kuduga, Luiz orang yang baik dan bisa diandalkan."
Pujian begitu lagi. Aku selalu tidak siap mendengar pujian seperti itu, aku bukan orang baik atau yang harus terus diandalkan seperti dalam pandangannya. Aku hanya membiarkan Kevin tinggal karena semuanya sudah terjadi, dia sudah tertidur di atas dan tidak mungkin aku mengusir dia hanya atas perasaan tidak senang. Lagipula yang Stella sebut 'rumahku' kini adalah rumahnya juga.
Tanpa sadar aku sudah mengigit pipi dalamku sedari tadi sambil melihat tangan Stella yang dibalut plester. Stella yang sadar lalu melambaikan tangannya pelan, "Ini tidak sakit kok. Jangan khawatir Luiz."
Aku mengalihkan pandangan. Tidak, aku tidak khawatir tentang apapun.
"Luiz, kau tahu tidak, sebenarnya awalnya aku tidak begitu percaya pada Naomi saat pertama kali bertemu. Aku khawatir dia cuma berakting baik di depan kita, jadi aku memutuskan untuk mampir kesana sesering mungkin untuk melihat Kevin. Tapi seiring berjalannya waktu, aku semakin bersimpati pada Naomi dan mau membantu dia."
Apa yang dilontarkan Stella sejujurnya cukup membuatku terkejut namun otakku tak sempat memproses itu lebih dalam sebab dari gestur yang dia lakukan selanjutnya. Tanpa aba-aba, dia mengangkat tangan menyisir rambutku, aku cuma bisa mematung sementara dia berusaha menjinakkan rambut liar sehabis tidurku itu.
"Oh dan tentu saja aku tetap ingat nasihatmu untuk tidak ikut campur secara berlebihan. Dan di lain sisi, aku jadi lebih bersyukur ayah menikahkanku denganmu, walau cuma sebentar, aku tidak bisa membayangkan hidup bersama orang seperti suami Naomi."
Aku tidak mau membayangkan itu dan tidak ingin memikirkan gerakan tangannya di rambutku, jadi aku lanjut bertanya, "Apa mereka juga dijodohkan?"
Stella menggeleng, "Tidak, mereka bertemu saat masih kuliah dan jatuh cinta. Tapi suami Naomi berubah seratus delapan puluh derajat setelah menikah. Padahal Naomi dan orang tuanya percaya padanya saat dia bilang akan mengembangkan karir di kota ini."
"Apa orang tuanya tidak tahu soal ini semua? Kenapa mereka masih membiarkan putri mereka bersama pria yang tidak baik untuk selama ini?"
"Soal itu, aku juga tidak mengerti kenapa Naomi menahan diri untuk cerita pada orang tuanya sampai saat ini. Tapi syukurlah dia berubah pikiran dan memilih kembali dan jujur pada mereka soal apa yang sebenarnya terjadi."
"Hm..."
Aku menyadari usaha Stella untuk membenarkan rambutku tidak akan membuahkan hasil dalam waktu singkat, jadi aku menghentikan gerakan tangannya dengan menurunkannya dari rambutku seraya berdeham pelan.
"...Aku baru ingat mau mengecek email dulu," ucapku sambil beranjak. Aku sudah mendapatkan inti dari masalah yang terjadi, jadi sesi cerita ini cukup sampai disini saja.
"Ah, aku juga jadi ingat harus masak untuk makan siang," Stella melihat jam dinding sebelum ikut beranjak, "Terima kasih lagi ya Luiz, kau sudah meluangkan waktu buat mendengar."
"Hm."
Aku lantas menghabiskan separuh dari sisa waktu sebelum makan siang di dalam kamar untuk mengecek dan menjawab email yang sebenarnya tidak begitu mendesak. Sementara separuhnya lagi aku gunakan untuk mengecek ulang segala file dokumen yang baru kuselesaikan kemarin malam. Aku melakukan segala hal agar tidak memikirkan rasa geli yang timbul di puncak kepalaku sejak tadi.
Saat waktunya aku keluar dan turun ke bawah, aku menemukan Stella tengah menata piring-piring makanan di meja makan. Dia mendongak ketika merasakan keberadaanku, "Oh, Luiz. Aku baru mau memanggilmu. Kevin belum bangun. Tunggu ya, aku akan pergi bangunkan dia setelah merapikan ini."
Stella lantas buru-buru menaruh utensil-utensil yang baru dia gunakan di wastafel seolah sedang dikejar waktu, aku memperhatikan dia hampir menjatuhkan sebilah pisau dapur dan meringis pelan. Kalau begini caranya bisa-bisa dia akan menghabiskan plester luka dalam kotak obat lebih banyak lagi hari ini.
Alih-alih aku mendengar suaraku berkata sendiri, "Biar aku saja yang bangunkan dia."
Stella terdiam, terlihat kaget selama sesaat setelah mendengar inisiatifku meski tetap menyunggingkan senyum pada akhirnya, "Oh...oke. Terima kasih, Luiz."
Aku pun pergi menuju ke kamar Stella. Sesampai di sana, aku tidak langsung masuk. Aku baru sadar, ini pertama kali aku akan masuk ke kamar Stella. Ruangan yang dulu adalah kamar tamu polos dan tidak berdekor apapun karena tidak pernah di tempati ini, setelah Stella menempatinya, jujur aku sedikit penasaran bagaimana tampangnya sekarang.
Stella adalah orang yang polos namun dia juga berkepribadian cerah, aku membayangkan dia pasti akan menuangkan sedikit selera feminim pada kamarnya.
Tak mau kelihatan seperti orang aneh jika berlama-lama di depan pintu itu, aku perlahan memutar gagang pintu di hadapanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments