Tak ada yang begitu berubah dari hari-hariku setelah aku memutuskan untuk mulai sarapan di rumah. Prasangkaku soal makan bersama Stella pasti akan canggung juga tak sepenuhnya keliru, karena walau Stella kadang berbicara ini dan itu tentang makanan yang dia buat atau beberapa hal yang dia lakukan dihari sebelumnya, dia lebih cenderung larut dalam pikirannya sendiri tanpa mengatakan apapun. Tak urung kami lebih sering diam dan berhenti bercakap saat tak ada lagi yang bisa diobrolkan. Itu cukup canggung, tapi lambat-laun suasana itu jadi tidak seburuk yang ada di bayanganku lagi, setidaknya makanan yg enak juga punya andil membuatku melupakannya.
Kalaupun ada yang berbeda, itu Stella yang akhir-akhir ini punya kebiasaan baru. Aku sadar setelah mengamati dia melakukannya selama seminggu ini. Setiap pagi setelah sarapan, saat aku naik untuk mengambil barang-barangku di kamar, dia bakal buru-buru pergi keluar dan balik kembali sebelum aku berangkat. Awalnya dia bilang dia hanya pergi untuk membuang sampah akibat petugas kebersihan yang dipekerjakan pihak manajemen apartemen tak kunjung muncul selama dua hari, namun sekarang dia malah membawa kotak makanan bersamanya.
"Stella, kau masih buang sampah sendiri? Haruskah aku memberitahu pihak manajemen soal petugas kebersihannya?"
"Eh, tidak perlu, petugas kebersihannya sudah datang kemarin. Aku hanya mau buang beberapa bahan yang sempat ketinggalan di kulkas sekalian membawa ini," ucap Stella seraya mengangkat kotak makanan di tangannya.
Alisku terangkat naik, "Apa itu?"
"Tupperware."
"Aku tahu, maksudku isinya."
"Oh, ini makanan kucing. Whiskus."
"Makanan kucing?" Aku memiringkan kepala, "...kau memberi makan kucing tetangga atau apa?"
Stella menggeleng, lalu melanjutkan seraya tersenyum, "Kalau penasaran, mau ikut turun bersama? Sekalian kau berangkat kerja juga."
Karena memang sudah waktunya berangkat, aku mengiyakan saja. Aku dan Stella pun turun bersama menuju basemant tempat parkir. Dalam perjalanan menuju lift, kami berpapasan dengan pasangan kakek-nenek yang juga sudah lama tinggal di lantai yang sama denganku. Hanya ada dua unit per lantai, jadi sudah pasti aku mengingat mereka sebagai satu-satunya tetanggaku disini. Mereka menyapa dan seperti yang selalu mereka lakukan sejak pertama kali aku pulang dengan status menikah, mereka mendoakan agar kami terus langgeng dan sejenisnya, kami hanya balas menyapa singkat sekaligus berterima kasih.
"Mereka ramah sekali," ucap Stella, "Saat tua nanti, aku mau seperti mereka."
Aku melirik ke arahnya. Tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba tertarik membahasnya. Kakek-nenek tadi jelas hanya ingin berbasa-basi.
"Kenapa? Kau tak kenal mereka yang sebenarnya, mereka hanya bersikap sopan tadi."
"Tapi bersikap sopan itu hal yang baik kan?" timpal Stella dengan nada riang dan aku tak menjawab lagi. Stella orang yang seperti itu, kusadari dia selalu memandang positif apapun yang terjadi disekitarnya. Berbeda denganku yang lebih sering bersikap skeptis. Sudah kuduga kami tidak cocok.
Aku dan Stella tiba di basemant setelah menjalani beberapa menit yang terasa amat lama dalam lift. Situasi sepi menyebabkan setiap gema langkah kami dapat terdengar jelas. Stella menujukan langkahnya ke lokasi tempat pembuangan sementara yang terletak di ujung dalam basemant. Ada beberapa petugas kebersihan yang menyapa Stella dengan ramah namun sekalinya berpaling ke arahku, mereka langsung tampak segan untuk bahkan mengucapkan sepatah katapun.
Stella memberikan kantungan sampah kecil ditangannya pada salah satu petugas dan berbalik ke arahku dengan seulas senyum, tangannya memberi gestur agar aku mengikutinya lagi ke sisi yang lain. Tak lama, dia memintaku berhenti sementara dia mendekati sebuah kardus yang terletak beberapa meter di depan, mengangkatnya lalu memperlihatkannya padaku.
Napasku segera berhenti beberapa saat. Ada empat anak kucing dengan berbagai macam belang hitam putih sedang tertidur nyenyak di dalam kardus itu. Mereka masih sangat kecil. Aku tak habis pikir siapa yang tega menaruh atau menelantarkan mereka disini.
"Waktu buang beberapa hari lalu, aku tak sengaja dengar suara 'meow-meow' kecil dari kardus ini, saat kulihat anak-anak lucu ini sedang menangis kelaparan, entah siapa yang meninggalkan disini aku juga tidak tahu,"ucap Stella, "Karena kasihan, aku dan biasanya para petugas kebersihan jadi memberi makan untuk mereka."
Stella berdiri tak begitu jauh tapi juga tak begitu dekat, aku hanya bisa melihat kepala-kepala kucing mungil yang ketaranya mulai terbangun dari obrolan kami. Awalnya aku heran dengan sikapnya yang mengambil jarak, namun kata-kata yang dia ucapkan selanjutnya langsung menjawab keherananku sekaligus mengkonfirmasi apa yang sempat melintas di benakku.
"Aku ingin memelihara mereka tapi aku tahu kau alergi pada bulu kucing dan tidak jadi melakukannya."
Jadi dia tahu. Aku menatapnya ragu, "...Kau tahu darimana soal alergiku?"
"Ayahmu pernah bilang padaku."
Ayah? Aku pikir dia tak pernah peduli padaku kecuali jika itu berhubungan dengan masalah perusahaan. Dulu sewaktu kecil, seorang sepupu pernah membawa kucing peliharannya ke rumah dan aku yang telah bosan disuruh belajar terus pun ikut main bersamanya. Tak butuh waktu lama bagi tubuhku bereaksi, dari gatal, bersin, mata bengkak sampai peradangan menyerangku begitu parah. Aku ingat melihat ibuku dengan panik membawaku ke rumah sakit sambil menelpon ayah yang saat itu masih berada di kantor, aku tak tahu bagaimana jawaban pasti yang ayah berikan tapi aku ingat ibu berakhir memarahinya dengan kalimat 'Anakmu sakit dan kau cuma memikirkan relasimu dengan rekan bisnismu?!'
Memori lama. Walau aku masih heran kenapa ayah dan Stella bisa sampai mengobrol tentang alergiku atau mengapa ayah begitu menyukai Stella sampai memberikan segala informasi ini, sekarang bukan itu masalahnya.
"Kalau begitu, kenapa tidak kau bawa saja mereka ke penampungan?"
Ketimbang meninggalkan anak-anak kucing itu disini, penampungan tentu akan mengurus mereka dengan lebih baik. Aku harusnya tidak kaget akan jawaban Stella selanjutnya.
"Rencananya memang mau begitu. Tapi kalau seperti itu...saat ada yang ingin mengadopsi, nanti mereka bisa saja terpisah satu sama lain kan? Saat kupikir begitu, rasanya sedih."
Aku—aku tak tahu harus merespon bagaimana. Dia memperlakukan anak kucing itu layaknya anak manusia. Dia ingin menolong mereka tapi disaat bersamaan dia juga tidak mau mereka berpisah dari saudaranya, yang kemudian membuat dia mengurungkan niatnya untuk membawa mereka ke penampungan.
Stella, kau serius?
Aku mengernyit melihat kardus lembab tempat kucing-kucing itu bernaung. Uh, mereka harus segera dipindahkan dari sana.
"Bawa mereka ke dokter hewan dan titipkan ke penampungan yang layak. Justru akan lebih bagus jika ada yang mengadopsi mereka, mereka akan punya rumah. Terpisah lebih baik daripada mereka terlantar di tempat dingin dan gelap begini."
"Tapi..." Stella memiringkan kepala. Dia masih ragu untuk melepas anak-anak kucing itu.
Aku menghela napas, refleks melembutkan suara untuk bisa membujuk Stella, "Stella, kau ingin menolong anak-anak kucing malang ini bukan?"
Stella mengangguk.
"Kalau begitu kau tahu apa yang harus kau lakukan. Ikuti saranku dan bawa mereka ke tempat yang lebih layak."
Stella masih menatap ragu selama beberapa menit hingga akhirnya mengangguk pasrah. Aku tahu salah satu alasan mengapa dia tidak mau membawa anak-anak kucing itu ke penampungan adalah karena dialah yang tidak mau berpisah dari mereka, beberapa hari ini dia pasti begitu senang bisa memberi mereka makan setiap hari. Tapi mau apa lagi, dia tahu mana yang lebih baik.
Masih di pagi yang sama, karena aku adalah alasan utama Stella tak bisa merawat anak-anak kucing itu dan yang turut meyakinkan dia agar mengambil keputusan tadi, aku pun menemani dia pergi ke dokter hewan dan tempat penampungan yang tidak begitu besar namun dapat dikatakan lebih dari memadai. Bagi Stella tempat penampungan yang besar takkan bisa memberikan perhatian yang cukup untuk 'anak-anak lucu' itu akibat sibuk dengan hewan lain jadi aku cuma menurut saja pada apa yang dia katakan.
"Aku bakal mengunjungi mereka sesering mungkin," ujar Stella ketika aku dan dia baru saja meninggalkan tempat penampungan. Langkah kakinya ringan dan nada suaranya ceria. Aku hanya mengangguk sebagai respon.
"Luiz, terima kasih sudah mengantar kemari."
"Tidak perlu berterima kasih, ini bukan apa-apa."
Tempat penampungan yang aku dan Stella datangi berlokasi tepat di depan jalan raya yang melarang untuk parkir di pinggir jalan, karena itu tadi waktu baru sampai aku harus memarkir mobil di tanah lapang yang jaraknya tidak begitu jauh dari gedung penampungan. Kala berjalan kembali ini, aku tak sengaja memindai langkahku dan Stella yang acap kali memiliki tempo yang berbeda. Entah aku yang kecepatan atau dia yang kelambatan, aku jadi berakhir melambankan langkahku untuk menyamai miliknya.
"Kuharap siapapun yang mengadopsi anak-anak lucu itu adalah orang baik," ujar Stella lagi sambil menahan rambutnya yang tertiup angin.
Aku meliriknya sejenak, "Mereka bukan manusia atau anakmu, kenapa kau terus memanggil mereka 'anak-anak lucu'?"
Stella mendongak dan tersenyum lebar, "Semua yang lucu adalah anak-anakku!"
Aku sungguh tak mengerti Stella. Sifatnya yang terkadang terlalu cerah tak jarang membuatku ingin menghindarinya. Kami tidak cocok tapi disisi lain dia adalah orang yang baik. Aku tak menyukai Stella tapi aku juga tidak membencinya.
...****************...
Bonus:
Rio: Pagi semuanya. Karena Pak Luiz ada urusan sebentar, untuk sementara briefing pagi saya yang pimpin.
Manajer A (yg selalu mengidolakan Luiz): Hmm, urusan apa pak?
Rio: Mengantar kucing :)
Manajer A dan manajer lain: ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
MAHA KARYA
salam kenal ... buat pembaca dan author .. silahkan mampir di cerita novel karya ku yang berjudul " Rindu yang tersembunyi" terimakasih 🤗
2022-07-10
0
Senja Pena
Semangat kaka buatnya
2022-06-18
1
Hoselala
Aww~
2022-06-18
3