Setiap hari minggu atau akhir pekan, salah satu rutinitas yang aku jalani biasanya termasuk dengan mengantar Stella ke tempat penampungan hewan. Ini sesuai pada apa yang dia katakan dulu kalau dia akan rutin mengunjungi anak-anak kucing yang dulu kami bawa ke sana. Mulanya dia hanya pergi setiap seminggu sekali, namun begitu dia memutuskan untuk ikut bergabung jadi volunteer di sana sejak tiga bulan lalu, frekuensi kunjungannya pun meningkat secara alami. Dia juga sering pergi sendiri dengan taksi saat aku tidak bisa mengantarnya.
Hari ini, seperti yang sudah-sudah, aku menyuruh Stella masuk duluan sementara aku pergi memarkir mobil di lapangan yang terletak beberapa langkah dari tempat penampungan. Saat aku akhirnya menyusul dia masuk, meja depan tempat pekerja penampungan biasa menyambut tamu kelihatan tidak biasa kosong.
"Kemana orang-orang?" Tanyaku.
Stella menggeleng, "Aku tak tahu. Aku sudah memencet bel tapi tidak ada yang keluar."
Barulah beberapa menit kemudian, seorang perempuan yang kelihatan masih sangat muda muncul dari ruang belakang. Dia terkejut waktu melihat kami namun bergegas menghampiri.
"Ah, maaf-maaf. Aku tidak mendengar belnya, sedang ada orang penting yang berkunjung jadi semua pekerja sibuk di dalam. Ada yang bisa dibantu?" Ucap gadis itu sambil menggaruk-garuk kepala.
Aku tidak begitu sering kemari. Tapi aku sudah cukup hafal wajah dari orang-orang yang bekerja di tempat ini, begitupun mereka padaku dan Stella. Dan perempuan ini kelihatannya adalah pekerja baru.
"Oh, aku Stella dan ini Luiz suamiku. Um...kami sudah sering ke sini beberapa kali untuk mengunjungi kucing yang kami bawa kemari dan aku juga sudah mendaftar jadi volunteer di sini sejak tiga bulan lalu."
Stella memperkenalkan dirinya dengan cukup lancar walau pipinya agak memerah lagi.
"Stella? Oh tunggu sebentar, biar aku cek dulu. Stella...Wilcolm?!" Gadis itu tiba-tiba melotot ke arah kami dari balik buku yang dia pegang. Aku mengangkat kedua alisku sambil menoleh ke arah Stella, sementara dia juga hanya mengangkat bahu heran.
"Maafkan keleletan saya dari menyadari anda! Mari masuk Pak Wilcolm, Bu Wilcolm!"
Gadis itu menuntun aku dan Stella masuk dengan senyum lebar yang menempel di wajahnya, "Saya tidak tahu jika ada orang penting lain yang bakal berkunjung hari ini...saya masih baru disini, jadi tolong dimaklumi. Tapi saya dengar kalau bapak dan ibu sudah banyak berdonasi untuk tempat ini."
Stella selalu terlihat senang sehabis berkunjung dari sini dan hewan-hewan di sini juga begitu banyak yang membutuhkan perawatan, maka dari itu kupikir tidak ada salahnya untuk memberi donasi kemari. Selain dari ini salah satu bentuk doronganku pada Stella untuk bisa melakukan hal yang dia sukai, uang yang kukeluarkan juga lebih punya manfaat untuk kegiatan moral.
Aku dan Stella mengikuti gadis itu memasuki ruang bermain anjing yang lumayan besar. Di sinilah aku biasa menghabiskan waktu bersama beberapa anak anjing sambil menunggu Stella menyelesaikan kegiatan lainnya di ruangan lain. Sebagai sukarelawan atau volunteer, Stella biasa ikut terlibat dari memandikan, memberi makan, hingga membersihkan kandang hewan-hewan di sini. Itu terdengar melelahkan, tapi bagi Stella itu adalah pekerjaan yang menyenangkan asal bisa melihat banyak hewan lucu.
Aku mengusap kepala anjing labrador yang mengendus kakiku saat Stella lanjut berbicara dengan gadis itu.
"Aku mau lihat anak-anak kucingnya."
"Boleh, bu. Kebetulan hari ini hari mandi mereka, jadi lagi pada segar semua. Mari saya antar."
Suara Stella dan gadis itu perlahan mengecil seiring langkah mereka yang menjauh. Ruang bermain kucing dan anjing dipisah demi mencegah kalau-kalau ada yang jadi agresif antara satu sama lain, jadi aku tidak perlu khawatir akan alergi bulu kucingku selama menanti di sini. Aku memandang seisi ruangan, hanya ada satu orang pekerja yang juga asik menemani anjing-anjing bermain. Aneh, biasanya setiap waktu bermain, akan ada dua atau tiga pekerja yang berjaga atau mengurusi anjing-anjing ini.
Beberapa menit berlalu.
Aku tidak menghitung sudah berapa lama waktu berjalan semenjak Stella pergi, tapi suara langkah kaki dari luar sebelum tidak lama kemudian pintu ruang bermain terbuka tertangkap telingaku. Aku sontak mendongak. Ada sepasang pria dan wanita berpakaian mewah dan tiga orang penjaga yang masuk. Ah, jadi ini orang penting yang mereka masuk. Aku tidak begitu memperhatikan wajah mereka dan tidak tertarik juga jadi aku lanjut bermain dengan dua anjing di hadapanku.
"Pak Luiz?" Suara pria memanggilku.
Mendengar itu, aku lantas mendongak ulang. Pria yang tadi masih berdiri di depan pintu kini sudah berjalan menghampiriku, aku memperhatikan wajahnya secara seksama.
Ah.
Aku tahu dia, dia adalah salah satu manajer di perusahaan tempatku. Pak Russel. Pria yang akhir-akhir ini juga berusaha mendekati aku setelah mengajukan permintaan kenaikan promosi. Niat menjilatnya tampak terlalu kasatmata, aku tidak suka pada orang seperti dia. Lagipula apa yang dia lakukan di tempat penampungan hewan sederhana begini? Aku mencium aroma mencurigakan tapi tetap berusaha membalas sapaannya dengan sopan dan turut berdiri.
"Pak Russel," jawabku memperhatikan dia yang mengenakan setelan merah menyalanya lengkap dan rapi bersama sepatu mengilapnya. Rambutnya juga dipoles gel sampai kelihatan begitu berminyak.
Wah. Dengan segala aktifitas dan air liur anjing yang bakal kutemui disini, bahkan aku merasa gerah dan enggan untuk mengenakan kemejaku yang biasanya dan memilih mengenakan kaos polo yang lebih praktis. Pak Russel kau yakin tidak salah mengira tempat ini sebagai gedung pesta yang harus kau hadiri?
"Saya tidak tahu Pak Luiz ternyata suka kemari juga. Saya dan istri sedang tertarik untuk berdonasi pada tempat-tempat penampungan hewan sekarang. Yah, soalnya kita ini kan memang harus meningkatkan kepedulian dengan hewan-hewan tak beruntung ini, betul tidak pak?"
"Hm."
"Oh, iya. Kenalkan ini istri saya pak. Sayang, ini Pak Luiz, direktur di perusahaan yang sering kuceritakan padamu."
Wanita yang dari tadi berdiri di belakang Pak Russel maju dan menampakkan diri. Seperti suaminya, dia pun memakai pakaian yang sama mewahnya. Aku melihat blazer cokelat yang dia kenakan, mungkin dia ingin berkamuflase jadi mirip anjing yang ada di tempat ini.
"Seline," ujar wanita itu seraya mengulurkan tangan. Dia tersenyum tapi juga mengedip-ngedipkan kedua matanya dengan begitu aneh. Mungkin dia sakit mata karena bulu mata palsunya yang terlalu berat...?
"Luiz," aku menjabat tangan wanita itu singkat.
Sudah cukup aku menghadapi tingkah Pak Russel di kantor, aku tidak perlu menghadapi dia disini lagi. Alih-alih aku duduk kembali dan membiarkan mereka berdiri di sana. Mereka datang untuk melakukan misi sosial mereka untuk menolong hewan-hewan disini bukan? Kalau begitu biarkan mereka melakukan itu tanpa gangguanku.
"Pak Luiz, aku ingin mengadopsi anjing. Apa kau punya rekomendasi dari semua yang ada di sini?"
Aku mendongak pada para pekerja yang berdiri di dekat mereka. Salah satu pekerja yang cermat segera menjawab pertanyaan itu untukku. Aku hanya datang bermain dengan anjing-anjing ini seminggu sekali, bagaimana aku tahu seluruh kondisi mereka? Jadi biarkan yang ahli menjawab pertanyaan itu.
Suara-suara lain terdengar lagi dari luar. Kali ini berasal dari Stella dan gadis pekerja yang tadi, mereka tertawa akan sesuatu tapi aku tak tahu soal apa. Stella sudah berganti baju seperti yang selalu dia lakukan setiap kali aku ikut berkunjung kemari. Dia tidak mau lalai sedikitpun dan membuat bulu kucing yang tertinggal pada pakaiannya mengenaiku jadi dia selalu membawa baju ganti serta mencuci tangan dan kakinya sebelum kembali lagi ke ruangan ini. Aku merasa telah merepotkan dia karenanya, tapi dia selalu bilang itu bukan masalah dan terus mengajakku untuk bermain bersama anak-anak anjing di sini sambil menunggu urusan dia selesai.
Stella mengangkat seekor anjing pug yang berlari ke arahnya dan berjalan perlahan menghampiriku. Tanpa sadar, Stella berdiri tepat di sebelah istri Pak Russel. Tanpa hak tinggi, Stella terlihat jauh lebih pendek dari wanita itu. Kaos putih bergambar bunga dan rok panjang kuning senadanya tampak terbanting saat bersanding dengan pakaian esentrik pasangan di sebelahnya.
"Luiz, lihat anak anjing yang ini. Dia langsung lari padaku tadi," Seru Stella sebelum berhenti untuk menyapa pasangan Russel, "Oh. Halo."
Istri Pak Russel—aku lupa namanya—mendecih pelan ketika lengan Stella tidak sengaja bersentuhan dengan lengannya. Aku menyipitkan mata.
"Stella—"
"Hei, kau, ambilkan foto kami. Kami perlu mengabadikan momen ini," Pak Russel memotong ucapanku secara spontan. Dia mengoper ponsel miliknya pada Stella yang tentu saja dengan senang hati melakukan apa yang diminta tanpa merasa tersinggung sama sekali dengan panggilan Pak Russel kepadanya.
Aku mengernyit seraya berdiri, "Foto untuk apa? Tidak perlu."
"Ah, bapak jangan begitu. Ini momen berharga yang menandai koalisi kita sebagai aktivis pemerhati hewan."
Koalisi apanya. Aku mengisyaratkan Stella untuk berdiri di sampingku dan dia langsung berpindah posisi.
"Hei, mau pergi kemana—"
Aku berdeham, "Pak Russel, Bu Russel perkenalkan istriku Stella. Stella, Pak Russel manajer di perusahaanku dan istrinya."
"Oh salam kenal, Pak Russel, Bu Russel," Stella mengulurkan tangan pada dua orang yang mematung itu. Mereka saling melirik sebelum lekas menjabat uluran tangan Stella begitu antusias.
"Astaga, istri bapak? Wah bisa-bisanya saya tidak sadar. Halo, Bu Stella. Senang bertemu anda."
"H-halo Bu Stella."
Aku mengangguk, "Mau bagaimana lagi. Pak Russel satu-satunya manajer yang tidak datang ke pernikahan kami jadi kau tidak tahu wajah istriku."
Wajah Pak Russel memucat. Padahal aku cuma mengatakan fakta sesungguhnya. Setahun lalu, kau bahkan tidak mau repot-repot hadir ke undanganku dan sekarang kau mencoba mencari muka untuk mendapat kenaikan jabatan.
Pak Russel tertawa garing, "Ah, itu pak? Waktu itu saya sedang tidak enak badan. Iya kan sayang?"
"I-iya," Istri Pak Russel mengangguk cepat, dia mengerucutkan bibir sambil mengusap lengan suaminya, "Sangat sakit sampai tidak bisa bangun."
"Betul sekali sayang..."
Aku hendak menoleh pada Stella, namun Pak Russel masih belum selesai dengan congornya.
"Begini saja, pak. Bagaimana jika bapak dan istri makan siang bersama kami untuk menebus waktu itu? Saya dengar ada restaurant enak di sekitar sini. Dan, eh...dan Bu Stella juga bisa bertukar nomor dengan istri saya untuk—"
Aku membuang napas dan mengangkat tangan, "Cukup, Pak Russel. Rapat direktur beberapa hari lagi. Jika kau masih bersikukuh melakukan semua ini, akulah yang akan matian-matian menentang permintaan promosimu pada saat itu."
Ucapan itu berhasil mendiamkan sekaligus memulangkan Pak Russel bersama istrinya tanpa banyak omong lagi. Dia minta maaf dan berjanji untuk tidak mengangguku lagi di kantor maupun luar kantor. Namun tentu, sebelum pergi, aku memastikan mereka benar-benar memberi donasi yang sudah mereka janjikan pada pekerja tempat penampungan hewan terlebih dahulu.
Stella terlalu tercengang pada apa yang terjadi untuk langsung berbicara, tapi dia menatapku penasaran.
"...Apa?" Tanyaku.
"Luiz, kau menolak ajakan makan siang mereka."
"..."
"Mungkin Pak Russel benar-benar tahu tempat makan enak di sekitar sini yang tidak kita ketahui dan ingin mentraktir kita...? Rasanya sayang menolak ajakan makan."
"Stella, kalau tidak ada lagi yang harus kau lakukan, kita pulang saja."
Siang itu, sebelum pulang, aku membawa Stella makan di salah satu restaurant yang tampak lumayan ramai. Ramai biasanya sering berarti enak bukan? Jadi aku memesan tempat VIP di sana dan betapa lega diriku begitu Stella bilang dia suka rasa dari chicken casserole pesanannya dan mulai makan dengan lahap. Aku sendiri memandang dia makan sambil mengunyah tortellini carbonara pesananku.
Jujur saja, bagiku yang dia buat sendiri masih lebih enak. Tapi jika dia benar-benar suka dengan makanan di sini, kurasa sesekali kemari bukan ide buruk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Achi
🤗🤗
2022-07-15
0
Hoselala
Nextt
2022-06-24
2
Novria Aza
up..
2022-06-24
1