Aku memandang Rio mengangkut kopernya dari conveyort belt bagasi sambil menunggu koperku yang tak kunjung muncul. Saat ini kami baru saja tiba dan berada di terminal kedatangan Bandara Internasional Negara B setelah melalui hampir delapan belas jam perjalanan udara. Jam diponselku telah memperlihatkan pukul delapan pagi waktu setempat dan para penumpang lain mulai berlalu pergi dengan bagasi mereka masing-masing.
"Pak, koper bapak tidak ada," ucap Rio tiba-tiba.
Aku mendongak, "Tidak ada? Kau yakin tidak melewatinya?"
"Tidak pak, saya terus mencari sampai koper terakhir yang tadi keluar tapi tetap tidak ada juga."
Aku mengernyit menatap conveyort belt yang telah kosong. Koperku itu berisi berkas-berkas penting dan setelan-setelan yang harusnya kugunakan selama bussiness trip ini. Koper itu tidak boleh hilang begitu saja.
"Saya akan menghubungi petugasnya. Bapak tunggulah di kursi di sana," ucap Rio menunjuk ke salah satu bangku panjang. Aku mengangguk.
"Baiklah. Usahakan kau menemukannya."
"Siap pak."
Rio lantas bergegas dari posisinya untuk mencari petugas terdekat yang bisa dia tanyai sementara aku menarik troli kami dan mencari tempat duduk untuk menunggu. Cukup lama waktu yang terlewat sampai saat Rio kembali dengan nafas terengah-engah.
"Bagaimana?" Tanyaku.
"Mereka masih berusaha mencarinya pak. Saya sudah menulis laporan bagasi hilang dan meminta mereka agar bergerak cepat, tapi untuk saat ini kita hanya bisa menunggu sampai mereka menghubungi kembali."
Aku menghela napas, dan mengusap pelipis, "Disana ada berkas penting untuk rapat siang ini. Aku harap mereka cepat menemukannya sebelum waktu itu."
Rio mengangguk namun tak lama kemudian sebuah senyum terbit dari bibirnya, "Soal itu, bapak tidak perlu khawatir. Saya selalu membawa dua kopian berkasnya dalam koper dan ransel saya untuk jaga-jaga kejadian seperti ini terjadi."
"Kau membuat dua kopian cadangan?"
"Iya pak. Dan untuk setelan bapak juga sudah saya pesankan via telepon tadi dari toko tempat bapak biasa beli pakaian disini. Setelah mengantar bapak ke hotel, saya akan pergi mengambilnya ke sana."
Aku mengerjap ke arah Rio yang tersenyum lebar dengan penuh percaya diri. Dia tahu benar kalau dia baru saja melakukan pekerjaan yang sangat baik dan aku mengakuinya. Entah apa yang akan terjadi kalau dia tidak mempersiapkan kopian apapun dan bergerak tanggap seperti tadi.
Aku menggeleng dengan seulas senyum, "Aku akan memberimu bonus dua kali lipat bulan ini."
Senyum Rio melebar, "Siap, terima kasih pak!"
"Aku akan ke hotel sendiri, kau langsung pergi ambil setelan itu saja."
"Tapi koper saya—"
"Akan kubawa, sekalian aku ingin lihat kopian yang kau buat. Dimana kau taruh?"
"Oh di kantung ini pak," Rio menunjuk kantung kopernya.
Aku mengangguk lagi, "Pesankan aku taksi."
"Oh, baik pak."
Hari pertama tiba dan sudah ada masalah. Syukurlah aku punya sekretaris sekaligus asisten pribadi yang kompeten seperti Rio yang selalu bisa diandalkan. Jika tidak rencana tujuh hari ke depan bisa kacau balau dengan satu masalah ini.
Begitu, aku memulai business trip di negara asing ini. Dari menghadiri seminar, rapat dengan klien, hingga menghadiri jamuan makan siang maupun makan malam. Semua berjalan dengan baik tanpa ada masalah yang begitu berarti hingga aku harus bertemu klien-ku yang terakhir.
Aku tersenyum ke arah pria muda di hadapanku sambil menjabat tangannya. Seluruh kegiatanku akan berjalan lancar jika bukan karena dia yang harus kutemui dihari terakhirku ini. Dia adalah anak dari CEO yang menjadi klien utamaku, karena sesuatu dan lain hal, dialah yang dikirim untuk menghadiri rapat hari ini menggantikan ayahnya.
Seorang pria muda yang tak pernah begitu peduli dengan apa yang dia lakukan, berbicara dengan tak sopan, mengubah jadwal pertemuan sesuka hatinya dan datang tidak tepat waktu. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan seseorang yang punya seluruh hal yang tidak kusukai menyatu dalam dirinya.
Parahnya, dia mengubah tempat bertemu dari salah satu restaurant klasik yang telah dipesan Rio menjadi ke sebuah klub malam yang sangat bising dan tak senonoh. Sungguh, jika dia bukan anak dari salah satu klien penting, aku takkan mau menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Apa dia bahkan mengerti tujuan dari meeting ini?
Aku sangat tak nyaman sampai-sampai aku menyelesaikan semua diskusinya secepat yang aku bisa. Aku memanfaatkan dirinya yang mulai mabuk untuk menyetujui semua yang aku ajukan dan mendatangani dokumen kesepakatan kami. Jika ada hal yang sekiranya tidak disetujui ayahnya nanti, mereka tidak bisa menyalahkan pihakku.
"Pak, sudah semuanya, Pak Bethran sudah menandatangani semuanya," ujar Rio. Ruangan yang tidak begitu kedap suara ini masih bisa mendengar keributan dari luar, jadi bicara dengan cukup keras pun harusnya takkan terdengar apalagi oleh si pria muda mabuk di seberang meja kami.
Aku melempar tatapan pada Rio namun tak ada perasaan marah sedikitpun. Pria itu pantas disebut seperti itu.
"Senang bisa bekerja sama dengan perusahaan anda," ujarku dengan senyum samar.
"Ha? Oh...Tentu saja, perusahaan kami-hik-punya banyak omset. Perusahaan kecil–hik–milik kalian–hik– hanya sebagian kecil yang mendapat kesempatan..." Bethran, pria itu berucap sambil mengayunkan gelas champagne di tangannya.
Aku mengangguk saja karena tidak mau berdebat dengan dia. Tidak ada gunanya berdebat dengan orang mabuk yang mungkin bahkan tidak akan mengingat semua perkataannya esok pagi. Dari tingkahnya, wajar jika dia tidak tahu kalau perusahaan kami memiliki omset yang banyak dan ayahnya lah yang datang mencari perusahaan kami duluan. Mungkin ayahnya memberi tugas ini untuk menguji kompetensinya. Aku jadi merasa prihatin akan masa depan perusahaan mereka jika sampai orang ini yang mewarisi posisi ayahnya.
"Karena sudah tak ada lagi dan ini sudah larut—"
"Ha? Sudah mau pulang...? Hik–tapi pesta utamanya belum dimulai–Hik–Hei, kalian yang di pintu, panggil wanita-wanitanya!"
Aku merengut dan menatap Rio. Rio yang mengerti pun segera bangkit setelah mendapatkan signalnya.
"Pak Bethran, maaf jika lancang tapi bos saya harus segera kembali untuk penerbangan besok."
"Wanitanya–"
"Maaf, pak. Pak direktur sudah menikah dan punya istri. Hal seperti ini tidak sepatutnya dilakukan."
Aku mengangguk dan tanpa berbasa-basi langsung beranjak dari sofa, "Senang berdiskusi dengan anda, sampai jumpa."
Aku baru saja melangkahkan kaki keluar ruangan ketika mendengar Bethran berucap untuk terakhir kali.
"Menikah? Alasan membosankan, siapa yang suka terikat dengan satu orang–hik–yang sama untuk seumur hidupmu. Ah...sial aku jadi ingat wanita itu."
Aku baru tahu setelahnya dari Rio kalau Bethran sebenarnya sudah menikah dengan seorang wanita karena sebuah keteledoran yang menyebabkan wanita itu hamil. Kabarnya mereka memang tidak harmonis, namun ayahnya memaksanya untuk mempertahankan pernikahan itu agar menjaga nama baik keluarga mereka.
"Aku terkejut mereka tidak mencoretnya dari daftar keluarga sampai saat ini," kataku, kini dalam perjalanan kembali ke hotel.
Pria seperti Bethran...aku harap tidak akan bertemu dengannya lagi dalam waktu panjang. Aku yakin setelah mendengar detail pertemuan ini, ayahnya takkan mempercayakan rapat atau pertemuan apapun lagi pada dia.
Rio tertawa pelan, "Bicara soal ini, saya jadi ingat istri saya pak. Besok pagi, saya izin untuk beli oleh-oleh dulu ya pak."
"Soal itu, aku juga mau beli oleh-oleh. Kita pergi bersama saja."
"Untuk ibu bapak lagi ya?"
"Iya dan untuk istriku juga," jawabku, lalu menatap Rio yang menatapku aneh, "Kenapa kau melihatku begitu?"
"Bukan apa-apa pak. Cuma ini pertama kali setelah bapak menikah, biasanya saat keluar kota bapak hanya membeli oleh-oleh untuk ibu bapak, itupun bapak menitip ke saya. Saya pikir bapak—maaf ya pak—kurang harmonis dengan Bu Stella tiap kali begitu, saya jadi lega kalau dugaan itu terbukti tidak benar," ucap Rio. Aku ingin mengabaikannya tapi dia kembali bertanya lima detik setelahnya.
"Bapak mau beli apa untuk Bu Stella? Biar saya siapkan rute perjalanan kita besok pak."
"Cokelat."
"Cokelat? Itu saja?"
"Dia hanya mau itu."
"Wah, pasangan yang serasi," Rio memberi jempol, "Kesukaannya pun sama."
Aku benar-benar mengabaikan celotehannya kali ini sambil menutup mataku di sepanjang perjalanan. Saat tiba di hotel dan masuk ke kamarku, sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi dari ponselku. Seketika aku teringat kalau belum mengecek ponsel seharian ini.
Pesan itu dari Stella. Dia rutin mengirim sms setiap malam sejak aku disini. Isinya biasanya hanya sebuah ucapan selamat malam yang singkat, dengan sebuah emoji senyum diakhir kalimatnya.
Kini aku cermati, seluruh isi percakapan ku bersama Stella seminggu ini terlihat serupa dengan kumpulan kalimat singkat yang hanya di copy-paste dari awal sampai akhir. Jika Rio lihat ini, apa dia masih akan mendeskripsikan kami sebagai pasangan serasi?
Aku menghela napas, mengetik jawaban, namun mengurungkan niat tuk mengirimnya. Entah karena apa, aku jadi berpikir apa yang Stella lakukan di rumah selama aku pergi. Sebelum aku berangkat, dia pernah bilang kalau kadang dia merasa takut berada di apartemen sendiri karena ada bunyi-bunyi aneh yang dia dengar, dan kalau dia juga tak pernah benar-benar ditinggal sendiri seharian selama dia masih tinggal di rumah keluarganya dulu.
Jujur saja...aku jadi sedikit kepikiran. Bagaimana jika dia memecahkan atau menjatuhkan sesuatu akibat berlari ketakutan? Bagaimana jika dia mengganggu keluarga kakek-nenek tetangga kami dengan mengetuk pintu mereka ditengah malam untuk meminta tolong setelah mendengar atau melihat sesuatu yang mungkin hanya imajinasinya saja? Hal-hal itu, berpotensi besar untuk diperbuat seorang Stella.
Aku menggeleng. Tidak, tidak. Aku tak perlu mengkhawatirkannya. Dia bukan anak kecil jadi dia takkan membuat onar. Dia juga tahu cara menghabiskan waktu, jadi dia pasti takkan kesepian atau apapun itu.
Ya, aku tidak seharusnya khawatir pada wanita yang mungkin malah sedang bersenang-senang sendiri jauh di seberang lautan sana.
Aku hanya akan mengirim pesan singkat saja.
Luiz: Stella, jika kau mendengar atau melihat sesuatu yang membuatmu takut, jangan menganggu tetangga dan telpon saja aku.
Luiz: Maksudku, jika kau yakin itu sesuatu yang tak kasat mata, berdoalah dulu lalu telpon aku. Tapi kalau itu seseorang yang menerobos rumah atau pencuri, sembunyilah di kamar dan telpon sekuriti atau polisi dulu sebelum menelponku.
Stella: Luiz, sekarang kau membuatku jauh lebih takut :(
Luiz: Kalau begitu telpon aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Annisa Fitri
jangan jangan mantannya stella
2022-09-17
0
Karen_gold
nyicil 2 bab dulu ya Thor, ada waktu aku bakal nyetor lagi, fav deh pokok nya🥰
2022-07-14
0
Vita Sari
kak aku juga sudah mmpir ya. sdah like dan mnambahkan ke favorit juga💖
2022-07-11
0