Bab 5 - Lembur dan Obrolan Tengah Malam

Bunyi notifikasi 'ping' dari komputer memecah keheningan ruangan, bersamaan dengan itu sebuah pop up bar muncul dilayar menampilkan email yang baru saja masuk. Aku memijat kedua pelipisku sambil bersandar dan melirik ke arah layar dihadapanku. Dalam ruangan yang gelap, hanya layar komputer inilah yang menjadi sumber cahaya.

Fr: Mario D

Subject: Notulen Rapat Gabungan

Fr: Mario D

Subject: Arsip Keuangan Perusahaan Mei

Fr: Mario D

Subject: Laporan Administrasi dan Kesekretariatan

Satu demi satu, mataku memindai subjek email yang dikirim oleh Rio. Untuk seseorang yang terlihat santai, dia selalu bekerja cekatan dalam tugas-tugasnya. Kuakui dia punya stamina tinggi yang jauh melebihi orang normal dan itu adalah hal yang bagus. Sebab aku butuh seseorang yang memiliki kemampuan dan tubuh prima untuk mengimbangi ritme kerjaku, dan dia adalah orang paling tepat di posisinya. Aku mungkin bakal memberi dia gaji bonus di akhir bulan ini untuk kerja kerasnya.

Aku memejamkan mata kembali. Biasanya aku akan langsung menegapkan punggung dan mulai mengecek satu demi satu laporan yang dikirim itu, tapi untuk beberapa alasan tubuhku sedang tidak dalam kondisi terbaiknya. Penat berkecamuk dari seluruh area tubuh terutama pada kepalaku yang mulai pusing. Ini kerap terjadi saat aku cenderung mengabaikan waktu tidur demi bekerja tanpa henti tapi aku tak membencinya.

Aku senang menghabiskan waktuku dengan bekerja. Perasaan yang timbul tiap kali berhasil menyelesaikan sesuatu dengan cepat dan tepat waktu selalu memberiku kepuasan tersendiri. Ibu dan kakakku selalu menganggapku aneh karena itu, namun ayahku yang melihatnya—layak perumpamaan buah jatuh tak jauh dari pohonnya—menyukai sisi diriku yang serupa dengannya itu.

Sejak kecil, ayah selalu membiasakanku untuk bisa belajar menghadapi tekanan yang lebih berat, tidak tidur sehari dua hari harusnya bukan apa-apa dibanding segala cobaan yang dia berikan kepadaku dulu.

Sayup-sayup aku mendengar namaku dipanggil dari balik pintu kamar yang telah kuubah menjadi ruang kerja pribadiku ini. Aku mengernyit namun tetap pada posisi yang sama.

"Luiz, Luiz," Panggil suara familiar itu dengan volume yang kian lantang.

Aku lantas membuka mataku dengan sedikit kesal. Disana, di pintu yang setengah terbuka, sebuah kepala menyempil dari baliknya. Rambut panjang bergelombang yang menyelimuti wajah bulat pemiliknya dengan acak-acakan itu membuatku hampir terperanjat.

"Belum tidur?" Tanya Stella tanpa merasa bersalah sedikit pun. Jika aku orang yang penakut dengan kondisi jamtung yang lemah, mungkin aku bisa-bisa terkena serangan jantung karena tingkahnya itu. Diam-diam, aku memberi catatan bagi diriku agar tak lupa memberitahu Stella soal hal ini besok. Sekarang aku sedang tak dalam suasana hati untuk meladeni siapapun.

Kedua alisku bertaut, "Hm, kau sendiri?"

Lelah dan sakit kepala tampaknya membuat responku terdengar lebih dingin dan datar dari yang seharusnya, namun Stella tetaplah Stella jadi dia tidak terpengaruh sama sekali.

"Tadinya sudah tidur tapi terbangun karena haus," ucap Stella sambil mengangkat segelas air di tangannya, "Aku habis ambil air dan baru mau balik ke kamar, tapi tak sengaja lihat pintu ini belum tertutup rapat. Kupikir kau lupa dan berniat menutupnya, ternyata kau masih disini....Masih banyak kerjanya?"

"Hm," Jawabku lalu hendak menimpal dengan menyuruhnya kembali, namun belum juga sepatah kata keluar dari mulutku lagi, sosoknya segera menghilang dari balik pintu.

Aku mengerjap, memandang ke arah pintu yang ditinggal terbuka begitu saja. Apa ini? Dia pergi begitu saja, tanpa basa-basi ini itu, haruskah—haruskah aku menganggap ini sebagai peningkatan dari sisi Stella...?

"Aku kembali!"

Ah. Lupakan. Belum ada lima menit, Stella kembali membawa nampan yang diatasnya terdapat dua cangkir yang masih mengeluarkan uap asap.

"Ini untukmu," ucap Stella usai meletakkan nampannya di meja kerja dan menyodorkan salah satu cangkir ke hadapanku.

"Teh?" Gumamku ketika Stella sudah mendudukkan dirinya dengan nyaman di kursi di hadapanku.

"Iya, teh hijau. Mama bilang minum teh hijau bisa meningkatkan stamina dan daya tahan untuk orang yang begadang. Lebih mujur daripada kopi!"

"Oh..." kataku dan tak sengaja menghirup aroma teh hijau yang menyerbak dari cangkir ditangan, "Tapi aku tak suka minum teh, kau tak perlu repot-repot. Terima kasih. Kembalilah ke kamarmu."

"Kenapa? Teh hijau punya khasiat yang tinggi," ujar Stella, sama sekali tak menunjukkan niatan untuk pergi.

Aku merengut, "Aku hanya tak suka. Stella, kepalaku sedang sakit, kembalilah."

"Ah, mau kupijat? Aku sering melakukannya untuk ayahku."

Entah dia sengaja berpura-pura tidak mengerti maksudku atau apa, tapi dia terus bersikukuh.

"Tidak, sungguh tidak perlu."

"Kau yakin? Aku lumayan jago dalam memijat."

Aku mengangguk, menutup mata dan bersandar kembali ke kursi, "Kembalilah."

Stella tak menjawab lagi. Suasana kembali ke kesunyiannya yang tadi dengan hanya detik jam yang mengiringi, namun tak ada pergerakan yang terdeteksi baik dari kursi di depanku maupun dari pintu di sana. Ah terserahlah, jika dia mau tinggal tanpa melakukan apapun juga, aku tak peduli. Saat dia bosan atau mengantuk, dia pasti akan kembali dengan sendirinya.

Alih-alih situasi itu berlangsung hingga saat sakit kepalaku mulai mereda. Aku membuka mata dan mendapati Stella berdiri menatap keluar jendela. Sepertinya aku sempat tertidur sejenak tadi dan tak menyadari kalau dia telah berpindah tempat.

"...Apa yang kau lakukan?" Tanyaku, berniat menghampiri. Sepintas mataku melirik pada secangkir teh yang kini telah dingin dan cangkir lainnya yang telah kosong. Berapa lama aku tertidur? Kenapa Stella masih bertahan disini, tidakkah dia jemu?

"Oh kau sudah bangun, Luiz. Aku hanya melihat jalanan di bawah."

Jalanan? Kami tinggal dalam kompleks apartemen privat, apa yang menarik selain dari lampu jalanan dan sekuriti yang biasanya mondar mandir di pagi buta begini?

"Tidak ada, tapi aku suka saja," timpal Stella dengan seulas senyum dan suara yang tak biasanya kalem.

Aku mengatup mulutku, tersadar kalau sudah mengucapkan isi pikiranku tanpa sadar. Tanpa suara, aku berdiri satu kaki di sebelah Stella untuk melihat jalanan yang sesuai kataku memang sepi.

"Kau mau kubuatkan tehnya lagi? Yang hangat lebih enak. Mama memberikan paket teh yang banyak bersama mesin penyeduhnya untuk salah hadiah pernikahan darinya."

"Kubilang aku tak suka minum teh, Stella."

"Kalau begitu kau harus belajar menyukainya," nada suara Stella kembali ke volume normalnya yang persuasif, "Sebenarnya, aku juga tak suka minum teh hijau dulu. Cuma karena mama selalu melarangku minum kopi sementara aku perlu begadang demi persiapan ujian nasional, aku jadi belajar untuk meminumnya tanpa memedulikan rasanya yang pahit. Sekarang aku bisa menyukainya dengan sendirinya."

Aku diam sejenak, "Sesuatu yang dipaksakan itu tak baik."

"Bukan memaksa, aku hanya ingin kau belajar menyukainya."

Mendengar suara Stella yang penuh determinasi, aku berpaling dari jendela untuk pertama kali sejak tadi. Dari jarak ini, wajahnya kelihatan lebih bulat dan matanya terlihat lebih besar seolah sedang mencoba menembus segala isi pikiran orang yang menatapnya.

"Kembalilah ke kamarmu."

"Ah, sudah tiga kali."

Kedua alisku terangkat naik.

"...Apanya?"

"Sudah tiga kali kau menyuruhku kembali," jawab Stella, tersenyum menunjukkan tiga jemarinya, "Luiz, memangnya kau tak pernah merasa kesepian bekerja sendiri?"

Pertanyaan itu mengagetkanku, tapi aku berhasil menjaga ekspresiku agar tetap normal. Aku tidak menyangka dia akan begitu peduli untuk menanyakan perasaanku.

"Tidak juga, aku lebih suka kalau suasananya tenang," jawabku. Aku selalu sendiri untuk hampir separuh hidupku, jadi aku sudah terbiasa. Malah semakin tenang berarti lingkungan yang mendukung untuk semakin produktif juga.

"Kupikir juga begitu. Tapi boleh tidak aku singgah duduk sebentar disini saat kau begadang lagi? Aku pikir kita perlu bicara untuk bisa jadi partner yang baik."

"Stella, kita hanya menikah untuk sementara."

"Aku tahu, aku hanya ingin berteman saja. Kata ayah, dua orang bisa bekerja lebih baik jika sudah saling mengenal dan mengerti satu sama lain."

Keluar dari mulut Stella, hal itu memang masuk akal. Paman dan bibi ketaranya sering menasihati dia dengan kata-kata yang bijak. Aku mengerti keinginannya, dari cara berbicaranya aku juga yakin dia tak punya motif tersembunyi, masalahnya adalah sebagian diriku tak ingin membangun hubungan yang lebih lagi dari apa yang ada sekarang diantara kami.

Alih-alih menjawab pertanyaan Stella tadi, aku memutar tubuhku untuk berjalan kembali ke meja. Responku singkat, aku memberi dia kalimat yang sama untuk keempat kalinya malam itu.

"Kembalilah ke kamarmu."

...****************...

Bonus:

Rio (Dirumahnya): Pak Luiz lama juga balasnya, ada yang masih kurang atau tidak sebenarnya...ah mungkin tidak ada (Tersenyum lega) Saatnya aku tidur!

5 detik kemudian.

Ping. Ping. Ping.

Luiz: Ada yang masih tidak jelas dibagian ini. Kenapa tabel ini kosong, bukannya ada pemasukan dana sebelumnya dari perusahaan D? Data karyawan baru bulan kemarin belum ada di laporan administrasi, coba tanyakan ulang. PPT untuk sore nanti bagaimana, sudah kau tambahkan chart yang kubilang? Kirimkan semuanya lagi sebelum kau berangkat pagi ini.

Rio:...

Terpopuler

Comments

Novria Aza

Novria Aza

semangat thor..

2022-06-22

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 46 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!