Bab 13 - Acara Berkumpul Keluarga

Saat ada yang bilang bulan Desember, biasanya yang akan muncul di benak adalah libur Natal dan Tahun Baru. Dua hari ini, selain menjadi hari libur dan cuti bagi beberapa orang yang bekerja, oleh beberapa keluarga juga sering dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk bertemu dan berkumpul bersama para kerabat.

Keluargaku dan Stella juga tidak terkecuali. Kedua keluarga kami sama-sama punya tradisi untuk mengadakan pesta khusus atau jamuan makan malam demi merayakan dua hari itu. Namun jika tahun lalu keluarga kami merayakannya di kediaman masing-masing bersama kerabat tersendiri, tahun ini tentu akan berbeda. Dengan menikahnya aku dan Stella, keluarga besar kami pun berkeinginan untuk merayakan acara tahun ini bersama di rumah orang tua kami secara bergantian.

Aku sudah bilang pada Stella untuk tidak repot-repot memasak apapun karena tahu ibuku pasti sudah memesan makanan yang sangat banyak untuk seluruh anggota keluarga yang datang, tapi dia bersikukuh kalau setidaknya kami harus bawa sesuatu ke sana. Jadilah aku dan dia tiba dengan dua tempat makanan besar yang langsung sigap diambil oleh Pak Vian salah satu pembantu yang berjaga di depan untuk dibawa ke dapur.

"Silahkan masuk Tuan, Nona. Tuan dan Nyonya besar dan beberapa tamu sudah menunggu di dalam. Makanan ini nanti saya kasih ke yang bertugas di dapur."

Aku mengangguk dan Stella tersenyum.

"Terimakasih, pak," ucap Stella.

Kami menaiki tangga dari mansion yang sudah lebih dari empat puluh tahun ditinggali keluargaku itu. Pertama kali ditinggali oleh kakek yang masih baru merintis perusahaan, rumah ini hanya berupa bangunan sederhana tak bertingkat cukup untuk dua kamar. Foto dari bagian depan rumah itu masih disimpan dan dipajang di ruang tamu atas permintaan kakek agar kami tidak melupakan yang namanya kerja keras untuk bisa mempertahankan apa yang sudah dia bangun.

Pertama kali melihat foto itu dulu, Stella begitu takjub dan kagum. Saking kagumnya, dia sanggup duduk sepanjang malam untuk mendengar cerita kakek akan segala 'perjuangannya' semasa muda. Malam itu, aku mulai paham mengapa kakek dan ayah menyukai dia.

"Luiz! Kau sudah datang, anakku sayang," Ibu merapat dari antara kerabat lain yang telah tiba. Seketika aku dapat merasakan Stella menegang di sebelahku.

Ibu, bisa dibilang, kurang menyukai Stella sebagai pasangan untukku. Dulu dia satu-satunya yang mencoba untuk menentang ayah soal perjodohan kami, namun ketika harus berhadapan dengan kakek, keberanian ibu menciut hingga akhirnya menyerah dan pasrah.

Aku ingin memberi Stella semangat dan sedikit menghibur dia dengan bilang kalau ibuku tidak membenci dia dan hanya kurang suka saja. Tapi sepertinya itu tidak akan memberikan perbedaan signifikan. Aku cuma bisa berharap ibu berhenti menakuti atau mengganggu Stella dengan sikapnya.

"Ibu," sapaku balik seraya merangkulnya sejenak sebelum mundur dan menaruh tangan di belakang Stella.

Stella membungkuk dan tersenyum kaku, "Halo bi—maksudku ibu. Selamat Natal dan Tahun Baru."

Kekakuan dari senyum itu ikut tercermin pada wajah ibuku, "Oh Stella. Selamat Natal. Kau terlihat...baik. Bukankah ini baju yang sama dengan yang kau pakai beberapa bulan lalu kemari?"

"Ah, aku tidak ingat," Stella menggaruk pipinya yang merah, "Aku hanya suka memakainya."

"Ibu."

"Apa? Ibu hanya bertanya. Makin lama kau makin terlihat seperti ayah dan kakekmu, Luiz. Lagipula ini masalah penting. Stella, kau ini istri dari Luiz, calon penerus keluarga ini. Kau harus memperhatikan penampilanmu kapanpun dan dimanapun itu. Meski hari ini yang datang hanya keluarga, kau tidak boleh malas, oke? Jangan bikin malu."

"Ehm..." Stella menunduk.

Ini semakin buruk. Aku sayang ibuku tapi ketika dia tidak suka akan sesuatu, dia cenderung mengatakan hal yang jahat dan tidak masuk akal. Hanya karena Stella tidak memenuhi standar dari apa yang ibuku sebut sebagai 'bergaya', bukan berarti dia malas. Justru, sweater putih, rok panjang, dan bando yang dia pakai membuatnya terlihat cukup menggemaskan. Belum lagi ia juga mengurai rambutnya, sesuatu yang jarang dia lakukan.

"Tidak ada yang salah dari pakaian Stella, bu. Aku menyukainya," ucapku sebab merasa tidak enak pada Stella yang tidak salah apa-apa.

"Luiz—"

"Ibu, para bibi sudah menunggumu daritadi sebaiknya kau kembali ke sana. Aku dan Stella juga mau menyapa keluarga lainnya."

Aku tersenyum dan merangkul ibu sekali lagi sebelum membawa Stella pergi darisana menuju tempat yang sepi. Aku khawatir jika kata-kata ibu akan membuat dia merasa sedih, namun ketika aku berbalik dan menoleh, dia cuma melihatku dengan sepasang mata bulatnya.

"Luiz, kau tidak perlu membantah ibumu cuma untuk membelaku. Kurasa dia hanya memberi nasihat."

Aku menghela napas dan berkacak pinggang, "Stella, apa kau merasa malas dengan pakaianmu malam ini?"

Stella menggelengkan kepala kencang, "Aku mengikuti gaya ini dari salah satu majalah yang kubaca. Dan aku juga memakai lipstik merah ketimbang warna merah muda yang biasa. Aku hanya lupa kalau sudah pernah pakai sweaternya dulu kemari..."

Aku mengangguk, "Kalau begitu kau juga harus bisa membela dirimu jika ada yang bilang sesuatu yang salah atau coba merendahkanmu."

"Merendahkanku?"

"Hm. Seperti yang dilakukan ibuku tadi."

Stella membuka mulut, tapi aku belum selesai dengan ucapanku.

"Dan jangan bilang kau tidak paham maksudku, karena aku tahu kau sangat sadar dengan apa yang coba ibuku katakan tadi. Jujur, ketimbang dengan apa yang dia katakan soal penampilan, aku lebih tidak suka jika istriku dapat dengan mudah dipermalukan di depan umum. Kalau kau merasa itu tidak benar, lakukan sesuatu atau setidaknya tegapkan badanmu dalam menghadapi mereka, jangan menunduk dan mengiyakan semuanya. Aku tidak akan terus ada di sebelahmu setiap jam, Stella. Adakala kau harus berdiri untuk dirimu sendiri."

Aku tidak hanya bicara dari kejadian malam ini. Tapi untuk semua hal di masa lalu yang pernah kusaksikan.

Stella mematung, air wajahnya lalu kelihatan memucat. Tanpa sadar, aku sudah menceramahi dia dan sekarang aku jadi merasa bersalah jika sudah membuat dia takut akibat itu.

"Stella—"

"Luiz, kau sudah sampai ternyata," suara ayah membuatku berpaling, "Kenapa kalian berdua hanya disini saja? Dan Stella, sudah lama tidak bertemu nak. Kakek dan orang tuamu sudah menunggu di ruang tamu. Pergilah sapa mereka dulu."

"Halo, ayah. Senang bertemu denganmu," ujar Stella yang memaksakan senyum, "Dan um...k-kalau begitu aku ke ruang tamu dulu."

Lalu tanpa memandangku sama sekali Stella berlari pergi. Aku benci mengakui ini tapi itu sedikit membuat hatiku sakit. Apa aku terlalu keras pada dia? Apa aku sudah meninggikan suaraku terlalu berlebihan pada dia? Aku tidak sempat merefleksikan apapun dari itu karena ayah langsung mengajakku untuk bertemu dengan paman-paman yang lain.

Seluruh kerabat dari keluarga yang hadir malam itu tampak tidak punya masalah untuk mengakrabkan diri, walau ada yang masih enggan untuk bergabung bersama yang lain, selain dari itu tidak ada masalah. Yang masalah adalah aku yang daritadi tidak bisa menemukan kesempatan untuk sekedar berbicara sendiri dengan Stella sebentar saja.

Di sela alunan permainan musik biola dan piano dari pemain musik yang mengiring makan malam dan suara dari para kerabat yang mengobrol di sepanjang meja makan, aku memandang Stella yang duduk tenang sambil menikmati makanannya di sebelahku. Dia masih tidak ingin menatapku daritadi, jadi aku semakin gelisah di kursiku.

"Makanan darimana ini?" Suara ibuku tiba-tiba memecah atmosfir damai saat itu. Aku mendongak, mendapati ayam panggang rica-rica yang dibuat Stella sedang berada di tangan ibuku.

Oh tidak. Jangan lagi.

"A-aku yang membawanya, bu," ujar Stella yang langsung terlihat tegang.

"Astaga, Stella, kenapa juga kau harus membawa makanan? Apa kau meremehkan aku dan berpikir makanannya akan kurang? Setidaknya bawa yang sesuai. Malam ini kan khusus makanan western."

Apa yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang belum pernah kulihat. Stella menunduk ke arah piring makanannya, tangannya meremas sendok dengan kuat. Namun saat kupikir dia hanya akan seperti itu lagi dan hendak berbicara untuknya, dia tiba-tiba menegapkan posturnya. Pandangan mata dan dagunya lurus.

"Aku tidak bermaksud menyinggungmu atau apapun, ibu. Aku membawa makanan karena rasanya datang mengunjungi rumah mertua dengan tangan kosong membuatku tidak enak. Selain itu aku ingin berbagi dengan kerabat lain dan...dan kakek bilang kalau dia suka ayam panggang buatanku itu jadi aku ingin memasaknya untuk kakek juga. Soal menu western, a-aku benar-benar tidak tahu, lain kali aku akan bertanya pada ibu agar bisa menyiapkan menu yang lebih sesuai."

Suara Stella bergetar dan dagunya tampak menegang, ia tidak berhenti meremas sendok di tangannya selama dia bicara. Dia pasti sangat gerogi untuk mengatakan semua itu di hadapan seluruh mata yang memandangnya. Tapi dia tetap berusaha untuk mengutarakan semuanya.

Ibu mengernyit, "Stella—"

"Ibu."

"Bu Diana—"

"Diana, hentikan."

Suara ibu, aku, ayah Stella dan ayahku saling tumpang tindih. Namun suara tawa kakek yang menggelegar segera setelahnya langsung mengalihkan perhatian semua orang dari adegan kecil itu.

"Stella yang baik, Stella yang baik," ujar Kakek, "Berikan ayam itu padaku. Aku memang suka sekali dengan itu. Suka sekali. Suka sekali."

"Ini kakek," Kakak perempuanku Esther segara melayani kakek, dia juga diam-diam mengedipkan mata pada Stella.

"Kami juga mau. Sudah lama sekali tidak mencicipi masakan Stella, iya kan sayang?"

"Iya."

Ayah Stella ikut bersuara dan ibu Stella mengiyakannya dengan suara parau nan bergetar. Jujur, sebelum ayah Stella angkat suara tadi, aku hampir lupa jika mereka juga ada disini. Aku jadi agak kecewa pada sikap ibu yang tidak memikirkan perasaan kedua orang tua Stella atas perlakuannya tadi. Padahal dia yang selalu menekankan soal menjaga sikap di depan orang, tapi kali ini dia gagal menghormati orang tua Stella sebagaimana mestinya hanya karena dia tidak suka pada putri mereka. Ibu beruntung orang tua Stella bukan tipe yang akan langsung mengamuk begitu mendengar perkataannya tadi.

"Oh ini sangat enak. Aku tidak tahu kalau Stella jago masak," Bibi Tere yang ikut mencicip ayam tadi mulai memuji.

"Iya ini enak. Luiz kau beruntung sekali punya istri yang pandai masak," Paman Anton turut berkata, istrinya menyikut dia, "Heh, memangnya aku tidak pandai masak?"

Satu demi satu paman, bibi dan sepupu lain ikut mencicipi masakan Stella. Tanpa sadar suasana di meja makan jadi lebih santai dan hidup.

"Aku juga mau ayam itu," ucapku menimbrung diantara suara para kerabat. Stella sontak menoleh. Mata bulat yang tampak tidak biasa jernih itu menilikku begitu dalam, tapi dia tidak mengatakan apapun selain dari hanya mengambilkan apa yang kuminta.

Stella masih tidak berkata apapun. Baru ketika acara selesai dan kami berjalan menuju mobil untuk pulanglah, dia bersedia membuka mulutnya lagi. Di halaman taman, dia menarik lengan kemejaku pelan.

"Luiz, kau tidak marah padaku?" Suara kecil Stella bertanya ragu.

Aku mengerjap dan menghentikan langkahku, "Tidak...aku tidak marah padamu...kaulah yang malah terus menjauhiku daritadi."

"Oh, itu karena kupikir aku sudah membuatmu sangat sebal. Aku tidak berani mendekatimu daritadi."

"Mungkin aku memang sedikit sebal tadi."

Pundak Stella seketika terangkat, mulutnya membentuk garis lurus. Wajahnya terlihat komikal tapi aku berusaha menahan tawa mengingat situasi.

"Tapi aku tak pernah berniat menakuti atau menekanmu. Aku bangga padamu untuk yang tadi kau lakukan di meja makan," Aku membolehkan sebuah senyum mendarat di mulutku. Khusus malam ini, karena Stella baru saja melakukan hal yang berani untuk dirinya sendiri, aku akan memanjakan dia sedikit.

"Syukurlah kalau begitu. Aku juga senang bisa mengutarakan isi hatiku tadi. Tapi aku khawatir itu hanya akan membuat ibumu semakin membenciku."

"Soal ibu, biarkan dia melihat segala kebaikanmu seiring berjalannya waktu."

Stella mengangguk, "Terima kasih ya, Luiz. Mulai sekarang aku akan mencoba untuk bicara bagi diriku sendiri dan tidak menyusahkanmu lagi."

"...Kau tidak menyusahkanku."

Senyum Stella sesudah itu—di bawah sinar lampu taman—adalah senyum paling lugu tapi juga memikat yang pernah kulihat dari seorang wanita sebelumnya. Bagaimana bisa dia memunculkan ekspresi seperti itu, aku tidak mengerti. Mungkin itu karena dia tersenyum dengan mata tertutup, mungkin juga karena warna lipstiknya yang tidak biasa merah. Dia masih Stella yang berwajah biasa, dia tidak tiba-tiba berubah menjadi wanita cantik namun aku bisa simpulkan kalau aku tidak membenci visual yang kulihat saat itu.

Terpopuler

Comments

Hoselala

Hoselala

up thorr

2022-06-29

2

Shinichi x Kaito

Shinichi x Kaito

next thor, jan lupa mampir

2022-06-28

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 46 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!