Bab 17 - Mengatasi Alan & Memilih Hadiah

"Luiz, apa kau tahu kalau suami Naomi sudah pindah dari unitnya? Pak sekuriti bilang padaku ada temannya yang datang untuk mengurus surat-surat rumahnya tadi pagi dan dia sudah tidak pernah kembali kemari sejak malam dia mencoba menerobos masuk kemari. Melegakan tapi aneh."

Stella berbicara sambil mencuci piring. Aku mendongak dari tabletku dan menatapnya sekilas.

"Apanya yang aneh?"

"Soal dia yang tidak pernah kembali kemari lagi. Kurasa dia bukan tipe yang akan berhenti begitu saja dalam sekali coba, jadi aku sempat khawatir kalau dia akan mencoba menerobos masuk lagi sesudah dilepaskan dari kantor polisi. Kau tahu, pak sekuriti juga bilang kalau dia ditebus oleh teman yang sama dengan yang datang mengurus suratnya kemari malam itu juga. Aku penasaran siapa temannya yang begitu setia padanya? Ah dan kau ingat bukan kalau dia sangat suka tinggal di sini, mana mungkin dia tiba-tiba mau pindah sekarang."

Untuk seseorang yang lebih sering menggunakan hati ketimbang otaknya, Stella bisa lumayan menangkap inti dari keganjilan situasi Alan dengan baik. Aku ingin memberitahu dia apa yang sesungguhnya terjadi tapi kurasa dia lebih baik tidak tahu.

"Kau terlalu banyak pikir. Tidak ada yang aneh, dia hanya ingin pindah."

"Oh, iyakah? Mungkin kau benar," Stella tertawa pelan sambil mengusap piring kaca dengan hati-hati, "Yang penting semua sudah berakhir. Setidaknya untuk kita. Bagi Naomi dan Kevin semuanya baru akan dimulai, kuharap mereka bisa mendapat bagian yang banyak dari pembagian hartanya. Mereka pantas mendapatkan itu demi keadilan. Suaminya benar-benar barbar, dan kemarin sungguh menakutkan. Sekali lagi aku beruntung menikah dengan orang sebaik dan sebijak Luiz."

Aku terdiam. Lagi-lagi aku tidak merasa pantas mendapatkan pujian itu. Jika Stella tahu apa yang kulakukan pada Alan untuk memaksanya pindah, aku ragu dia masih akan melihatku dan membicarakanku dengan penuh kekaguman. Stella terlalu polos sedangkan aku baru saja memanfaatkan posisi dan hartaku untuk merampas hak seseorang dari tempat tinggalnya. Walau memang orang itu yang cari gara-gara duluan, tapi tetap saja terasa aku merasa sedikit pengecut sebab memperdayakan kekuasaanku.

Beberapa hari lalu, tepatnya esok hari sesudah malam Alan yang mencoba menerobos ke unit ini, dia dibawa ke kantor polisi dan berakhir jadi tersangka atas tindakan menerobos paksa, aku menyuruh orangku untuk pergi menjamin dia agar bisa segera dipulangkan. Alan begitu menyebalkan sampai tidak ada anggota keluarga yang bersedia datang menjamin dia, sedangkan aku tidak mau mengulur waktu hanya untuk menunggu dia menyelesaikan kasusnya di persidangan. Jadilah aku mengirim orangku untuk berpura-pura datang sebagai teman dari keluarganya, membayar jaminan dan membawa dia kepadaku untuk rencana selanjutnya.

Aku mendengar segelintir percakapan di kantor polisi dari rekaman suara.

"Hei, keluargamu datang buat menjamin."

"Siapa—"

"Ah, Alan. Kami semua mengkhawatirkanmu. Kau pasti mabuk berat sampai bisa seagresif ini. Sudah-sudah, kau tenang saja, biar aku selesaikan masalah ini."

"Huh...siapa...?"

Dia bingung, tapi tak menolak ketika tahu artinya dia akan segera dibebaskan dari kurungan sementara itu.

Rencana awalnya aku hanya ingin memberi dia sedikit peringatan dan memaksa dia pindah tanpa harus menyakiti dia. Mungkin dengan sedikit ancaman dan gertakan ringan tapi bukan memakai kekerasan sesungguhnya. Aku tidak mau mengotori tanganku dengan melakukannya dan Stella juga tidak akan suka dengan itu, jadi aku membuang pilihan itu jauh-jauh.

Tapi Alan tetaplah Alan. Apa yang bisa diharapkan dari dia yang pemabuk dan suka main tangan? Dia menyerang orang yang kutugaskan datang menjamin dia itu dalam perjalanan kembali menuju ke tempat di mana aku menunggu. Karena itu pula dia hampir menyebabkan mereka kecelakaan namun syukurlah tidak ada yang terluka atau orang luar yang terdampak.

Soal Alan yang babak belur kemudian, itu tak lain dari orang suruhanku yang jadi benar-benar geram dan memukuli dia habis-habisan.

"Arkh...arkh," Alan meringis kesakitan sambil terlutut di depan kakiku, wajahnya berkerut takut, "Kau...ternyata..."

"Pak, maafkan saya. Saya tidak tahan untuk memukul dia. Dia terus menyulut emosi saya, gara-gara dia saya hampir menabrak orang lain di jalan," Dennis si suruhanku itu menggaruk tengkuk sambil melapor padaku.

Aku hanya bisa membuang napas melihat keadaan Alan saat itu. Aku tidak tahu harus berpikir tentang apa soal pemukulan itu selain dari dia yang memang pantas menerimanya atas orang yang hampir tertabrak dan kalau itu begitu efektif dalam membuat dia merasa takut padaku. Dia bahkan tidak bernyali untuk sekedar menatap mataku dan mengiyakan segala perkataanku setelah itu.

Bisa dikatakan proses 'pemaksaan' itu jauh lebih cepat dari dugaanku. Dan Alan setuju untuk pindah ke tempat lain dengan uang kompensasi yang ķuberikan dan berjanji supaya tidak muncul lagi di hadapan kami. Masalah unit bekas tempat tinggalnya dan Naomi di lantai bawah aku tetap memberikan segala dokumennya pada dia. Karena seperti kata Stella, masalah pembagian harta biar diselesaikan di persidangan. Yang penting dia tidak lagi berkeliaran di sekitar sini.

"Ah, sepertinya sekarang sudah jadi," ucap Stella yang serentak mengembalikan pikiranku ke situasi saat ini.

Mataku lantas mendarat pada figur Stella yang sehabis mencuci piring bergerak ke arah kulkas untuk mengambil sesuatu. Dengan seulas senyum dia meletakkan agar-agar serupa es krim yang masih ada dalam cetakan bersama stiknya di hadapanku sebelum menarik satu untuk ia makan.

"Makanlah, Luiz. Aku sering makan ini saat masih kecil, apalagi setiap habis makan. Aku ingin buat yang pakai biskuit, tapi tadi tak sempat. Aku akan buat yang itu nanti, kali ini agar-agar biasa saja dulu hehe."

Aku jadi tersadar kalau aku daritadi benar-benar menunggu di meja makan hanya untuk makan agar-agar yang Stella bilang sudah lama tidak dia makan ini. Ada apa denganku akhir-akhir ini? Aku harusnya tidak membuang waktu untuk hal-hal begini.

Aku menarik satu stik dan makan perlahan. Rasanya...ya tentu saja hanya seperti agar-agar biasa, tidak ada yang spesial selain dari kalau ini ditusuk dengan stik es. Lalu mengapa Stella tampak begitu bahagia memakannya?

"Segar bukan? Habis makan yang panas-panas memang paling enak makan yang dingin. Tidak ada es krim, agar-agar pun jadi."

"...Hm."

Stella tertawa sejenak sebelum tiba-tiba dengan suara pelan memanggilku, "Um...Luiz?"

"Hm?" Aku melengak. Mendapati Stella mengemut stik dan memandang ke bawah. Jarang bagi dia untuk bersikap gugup saat berbicara denganku kecuali saat pertama bertemu, tapi aku tetap menunggu sabar.

"Itu...tiga minggu lagi salah satu sepupuku yang tinggal di luar kota bakal menikah. Aku hanya ingin tanya, apa kau bisa ikut? Tentu saja itu kalau kau tidak sibuk, tapi kalau kau sibuk juga tidak apa, aku bisa pergi sendiri. Aku tidak memaksa."

"Siapa?"

"Katrina."

"Aku tidak ingat. Apa dia juga datang ke pesta pernikahan...kita?"

"Datang. Tapi dia tidak bisa berlama-lama waktu itu. Dia tampak sedang banyak masalah dengan pacarnya waktu itu, jadi dia tidak begitu antusias akan pestanya."

Kedua alisku naik, "Kedengarannya bukan sepupu yang baik."

"Oh tidak, bukan begitu," Stella menggeleng, "Dia sudah minta maaf soal itu berulang kali dan sangat menyesalinya. Kondisi pikirannya memang hanya benar-benar buruk saja waktu itu. Luiz, percayalah, dia sepupu paling baik padaku."

"...Oke."

Stella lalu melambai-lambaikan tangan cepat seraya tertawa kecil, "Tapi aku tidak memaksa. Sungguh, aku hanya bertanya kalau kau mau ikut atau tidak. Jika tidak, aku bisa membawakanmu oleh-oleh kalau kau ingin sesuatu."

"Aku ikut."

Aku belum memeriksa jadwalku, tapi aku bisa pastikan tidak akan ada agenda apa-apa di hari itu. Aku takkan mungkin membiarkan istriku pergi ke pernikahan sepupunya yang ada di luar kota sendiri. Bukan apa dan jangan salah paham, aku tidak mencintai dia atau apa untuk bertingkah peduli dan ini itu. Pendapatku tentang Stella memang telah meningkat, tapi tidak pernah cinta. Aku hanya membayangkan pria macam apa aku di mata keluarganya kalau sampai membiarkan dia pergi sendiri ke sana? Apa kata ayah dan ibunya nanti?

Sudah sepatutnya aku ikut pergi.

"Sungguh?"

Kegirangan Stella menyilaukanku. Aku menarik stik agar-agar ketigaku dan mengangguk pelan.

Stella bertepuk tangan, "Ah, aku pikir kau akan bilang kau sibuk atau tidak mau pergi."

Apa dia sesenang itu aku ikut pergi? Itukah mengapa dia begitu gugup bertanya, karena takut aku menolaknya dan lebih mementingkan pekerjaanku? Entah mengapa, aku jadi merasa buruk karena dia beranggapan begitu.

"Kalau begitu Luiz, apa kau punya saran untuk hadiah yang harus kita bawa? Aku tahu acaranya masih lama, tapi aku ingin benar-benar memberi sesuatu yang bagus dan jika mungkin sedikit spesial untuk Kat. Dia memberiku boneka bicara dengan rekaman suaranya mengucapkan selamat dan itu sangat lucu."

Hadiah pernikahan ya...kalau hadiah pernikahan hanya ada satu yang terlintas di kepalaku.

"Hampers?" Gumamku. Saat teman, kenalan atau rekan kerja mengundangku ke pernikahan mereka. Aku selalu memberikan hadiah itu. Selain aku tinggal memesannya dan lebih praktis, kurasa itu juga hadiah yang bagus.

"Oh itu bagus, tapi...rasanya bakal banyak yang memberi dia itu. Saat kita menikah, kita juga banyak sekali mendapat hampers skincare dan makanan. Aku bahkan belum habis menggunakan semua skincare-nya."

Ah, benar. Aku ingat dulu melihat banyak sekali hampers bertebaran di ruang tamu saat hadiah pernikahan kami baru dikirimkan kemari. Seluruh ruangan serasa jadi pajangan toko hampers.

"Bed cover dan peralatan dapur juga keluar dari daftar kalau begitu," timpalku. Selain hampers, dua benda itu, jika memoriku tidak keliru juga adalah yang paling mendominasi di antara seluruh hadiah pernikahan kami, sisanya ada yang memberi jam tangan, sepatu, dan beberapa karangan bunga, "Sepertinya semua orang punya pikiran yang sama saat mau memilih hadiah pernikahan."

Stella tertawa kecil, "Iya ya."

Jika itu dari kerabat atau teman dekat pasti bed cover dan peralatan dapur. Jika itu dari kerabat jauh, kenalan atau rekan kerja biasanya hampers dan aksesoris. Aku baru menyadari itu sekarang dan tak bisa menahan tawaku sendiri karenanya.

Stella menatapku penuh binar. Aku pun sontak berdeham pelan dan mengambil satu stik agar-agar lagi, "Bagaimana kalau memikirkannya sambil berbelanja? Maksudku sambil melihat-lihat ke barang-barang lain di toko."

"Oh benar juga!" Seru Stella seraya menyengir lebar dan menepuk tangan, "Jadi kapan kita ingin pergi? Kemana?"

Kita? A-aku tidak pernah menawarkan diri untuk pergi. Stella, aku hanya memberi saran, bukan mengajakmu pergi bersama. Hal yang seperti ini, apalagi jika itu untuk teman baikmu, kurasa tidak begitu memerlukan pendapatku.

Masalahnya jika kami pergi berdua saja, bukankah itu akan terlihat seperti kencan? Namun sebagaimanapun aku ingin meluruskan ini, wajah penuh ekspetasi Stella terus memaksaku untuk mengurungkan niat.

"Luiz?"

"Aku tidak bisa minggu ini," ucapku.

Pundak Stella layu, "Oh..."

"Tapi... bagaimana kalau Sabtu depan? Kalau kau mau aku bisa menemanimu pergi ke mall atau toko hadiah dan sejenisnya."

Wajah Stella yang sempat sedih tadi langsung berseri lagi, dia mengangguk, "Oke!"

Ah...seperti inikah aku sekarang? Lemah pada wajah memelas seorang wanita?

Terpopuler

Comments

Annisa Fitri

Annisa Fitri

itu udah ada benih2 cinta pa Luiz🤣🤣

2022-09-17

0

Achi

Achi

hai ka🤗🤗

2022-07-18

0

MoonBebe

MoonBebe

wkwkwk si luiz

2022-07-10

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 46 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!