Note :
Negara dan Kota dalam cerita ini karena murni dalam dunia fiksi penulis, hanya akan menggunakan nama huruf ya~misal Negara A, Kota B, dsb. Itu bukan inisial dari kota atau negera asli, jadi pure fiksi. Terima kasih dan selamat membaca.😊
Aku baru saja menutup pintu depan tatkala suara musik pop sayup-sayup terdengar dari dalam. Aku diam sebentar. Suara ini pasti berasal dari Stella yang sedang memutar lagu lagi di dapur. Dia sering melakukannya, sesuatu serupa bergoyang dan menyanyi sambil menunggu masakannya matang, hanya saja dia tak tahu kalau aku sering tanpa sengaja memergokinya. Kurasa dia memang kerap melakukan itu dari dulu, tapi akunya saja yang selalu pulang larut dan baru tahu belum lama ini.
Seperti yang mungkin telah kalian tahu, Stella sering melakukan hal-hal yang tidak anggun dan aku yang sudah tak begitu menemukan alasan untuk pulang berlarut-larut lagi berakhir sering mendapatinya melakukan hal-hal itu. Dia bukan penyanyi yang bersuara merdu, bukan juga penari yang hebat. Suaranya dalam opiniku biasa-biasa saja dan gerakannya cenderung kikuk hingga kadang serasa menggelitik saat menontonnya.
Aku sebenarnya tak mau begitu peduli dengan apa yang Stella lakukan, dia mau melakukan apapun itu bukan urusanku, yang jadi masalahnya adalah aku punya kebiasaan untuk selalu mencuci tangan tiap kali baru saja kembali dari luar. Tak peduli darimanapun, tiap kali kembali aku harus mencuci tanganku sebelum bisa lanjut beraktifitas lagi. Dan untuk mencuci tangan, aku biasa menggunakan wastafel di dapur, tentu saja aku bisa menggunakan yang ada di kamar mandi, tapi yang manapun tetap saja aku harus melewati dapur untuk kesana.
Aku memikirkan kejadiannya bakal jadi canggung saat dia tahu aku daritadi hanya diam dan memperhatikan dia di sini. Apa yang harus kulakukan saat dia telah berhenti karena sadar aku sudah pulang? Haruskah aku memuji nyanyiannya? Tidak mungkin aku cuma melewatinya begitu saja tanpa mengatakan apapun, aku setidaknya tahu harus mengucapkan salam ketika baru pulang. Biasanya setelah menimbang beginilah, aku selalu berakhir keluar lagi hanya untuk mengulur waktu dengan berjalan-jalan di sekitar apartemen sebelum kembali lagi saat yakin dia pasti telah menyelesaikan urusannya di dapur.
Namun hari ini bagaimanapun aku tak bisa mengulur waktu karena harus segera menuntaskan beberapa deadline penting dari perusahaan. Aku harus menghadapi ini sekarang juga. Jadi dengan menebalkan wajah, aku mulai melepaskan sepatu dan melangkah masuk. Sesuai dugaan, Stella sedang asik memakai spatula di tangannya sebagai mic dan bergoyang dengan aneh pada lagu yang entah lagu siapa aku juga tak tahu.
Aku berdeham keras demi memberi Stella aba-aba sebelum aku muncul di dapur, "Aku pulang."
Mendengar salamku, Stella sontak berhenti dan berbalik. Pandangan kami bertemu dan untuk beberapa detik yang canggung, tak satupun dari kami yang mengatakan sesuatu. Dia hanya terdiam menatapku dengan mata bulatnya yang tampak lumayan kaget, sementara aku hanya diam tuk menunggu respon apapun darinya agar bisa segera membebaskan diri dari suasana ini.
"Aku pulang," ulangku. Jika Stella tetap tak merespon, aku akan langsung ke kamar mandi saja. Ya, harusnya memang begitu dari awal.
Alih-alih, dikala aku mengukuhkan diri untuk angkat kaki, Stella akhirnya tersenyum, "Ah, kau sudah pulang...Selamat datang, Luiz."
Aku mengangguk, terlihat tenang, "Hm. Kau—"
Apa yang mau kukatakan tadi? Kata-kata yang semula kusiapkan dari pintu masuk seketika terlupakan begitu saja. Kenapa aku selalu berakhir terlihat bodoh di hadapan Stella? Dia bahkan tidak lebih superior dari ayah maupun rekan bisnis yang telah kuhadapi selama ini. Lalu kenapa?
"...Kau sedang masak?" Pertanyaan itu terlontar pelan dari mulutku. Sekarang aku ingin menampar diriku untuk menanyakan hal yang sudah pasti jawabannya.
"Iya, buat makan malam," jawab Stella, "Kau baru sampai atau sudah daritadi, Luiz?"
"Baru sampai."
Walau samar, aku bisa melihat Stella menghela napas, tak berselang lama dia juga tertawa pelan, "Oh begitu. Baiklah, baiklah. Makan malamnya masih sebentar lagi, Luiz kau pergilah beberes diri dulu."
Kurasa Stella merasa lega akan sesuatu, tapi aku tak yakin, mungkin itu hanya imajinasiku. Entahlah, yang penting aku tak mau berbasa-basi lagi.
"Aku ke kamar mandi dulu."
"Iya."
Begitu, aku lekas meloloskan diri ke kamar mandi dan mencuci tangan hingga bersih. Disela itu aku menyadari musik yang diputar Stella juga telah dimatikan tak lama setelahnya, berganti dengan suara televisi yang memutarkan siaran berita. Aku lantas berpikir apa aku jadi menganggunya dari bersenang-senang?
Tidak. Apapun jawabannya aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Aku tidak boleh terlalu peduli padanya, toh aku sendiri yang menulis itu di perjanjian kami. Aku lalu melepaskan seluruh pakaian dan menyalakan shower dan mulai mandi.
Lima belas menit berlalu.
"Luiz, makan malamnya sudah siap, setelah beres-beres langsung makan ya," ucap Stella begitu aku baru keluar dari kamar mandi. Benar saja, aroma harum seperti keju menyambut penciumanku. Ah, tanpa sadar, aku sudah begitu lapar.
"Oke," jawabku.
Namun aneh, Stella malah tak bergeming dari posisinya. Ia terus berdiri dihadapanku, menghalangiku dari melangkah maju. Aku mulai menatapnya heran sebelum sadar kalau matanya bukan terarah pada wajahku lagi melainkan pada tubuhku yang selain dari handuk melingkar di pinggang, tidak terselimuti apapun. Tadi karena terlalu larut dalam pikiranku, aku lupa untuk mengambil baju dulu dan langsung mandi begitu saja. Alhasil jadilah seperti ini.
Hawa dari air panas shower yang masih meliputi tubuhku tiba-tiba terasa meningkat. Aku berdeham namun Stella tidak berkedip sama sekali. Pipinya sempat memerah namun tak lama dia mendongak sambil menatapku dengan mata berbinar.
"Kau punya roti sobek, Luiz!"
Aku hampir tersedak ludah sendiri, "...Hah?"
"Roti sobek. Abs! Kau pasti rajin berolahraga, ya?"
Aku mengerjap, "Uh, tidak juga, hanya di waktu luang."
"Sungguh? Tapi itu menakjubkan."
Aku tak tahu harus merespon pujian itu bagaimana, jadi aku bersikap seolah itu tidak mempengaruhiku sama sekali.
"Hm. Kalau tak ada lagi, aku ke kamar dulu."
"Oh, iya. Jangan lama ya, makanannya nanti keburu dingin."
"Hm."
Aku sungguh tak mengerti Stella. Aku takkan pernah bisa memprediksi reaksinya akan sesuatu. Kadang aku berekspetasi dia akan begini, tapi nyatanya dia malah melakukan sebaliknya. Ditambah, dia juga tak nampak serupa wanita yang begitu pemalu seperti yang sering dideskripsikan tentangnya.
Tak lama, lepas berpakaian, aku pun turun. Aku mengambil kursi yang bersebelahan dengan Stella di meja makan, berhadapan langsung ke televisi yang menyala. Waktu Stella bertanya akan mengapa aku tak mau duduk berhadapan dengannya, aku beralasan kalau ingin menonton berita sambil makan, meski sejujurnya aku hanya mencari hal yang bisa mengalihkan perhatianku selama berdua saja dengan Stella. Setidaknya dengan menonton, aku punya alasan untuk tak mengajaknya bicara, atau kalaupun suasana tiba-tiba menjadi canggung, berita di televisi bisa dijadikan topik untuk pembicaraan.
Aku sedang menyendok sup jamur tatkala teringat kalau ada yang harus kuberitahu pada Stella.
"Aku bakal ke luar negeri untuk business trip akhir minggu ini," mulaiku. Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, biasanya aku hanya keluar kota dan pulang dalam jangka waktu sehari dua hari.
"Oh, kemana?" Tanya Stella usai menelan makanannya.
"Negara B."
"Jauh ya. Selama berapa lama?"
"Seminggu kalau tak ada kendala," jawabku lalu diam sejenak, "...Kau mau oleh-oleh apa?"
"Ah? Aku?"
Aku mengiyakan. Aku bertanya karena selama ini ayah dan beberapa rekan di perusahaan selalu melakukan hal yang sama untuk istri-istri mereka, kadang mereka bisa pulang dengan beragam tas belanjaan penuh barang branded dan sejenisnya. Selain memang sudah seharusnya, aku belum pernah membelikan Stella sesuatu saat pergi keluar kota karena masih merasa terlalu canggung untuk melakukan itu, kini kurasa tak ada salahnya untuk memberi dia sesuatu yang dia mau sebagai rasa terima kasih karena sudah memasak makanan yang enak selama ini.
"Hmm...aku tak sedang ingin sesuatu sebenarnya..." gumam Stella sebelum lekas menimpali, "Ah! Ada-ada! Kalau ke Negara B, sudah pasti harus bawa pulang cokelat mereka. Luiz, bagaimana kalau cokelat?"
"Boleh," jawabku. Aku memang sudah berencana untuk membawa pulang cokekat dari Negara B, disana cokelat mereka punya ciri khas rasa yang manis. Mungkin memang tidak kelihatan, tapi aku ini suka sekali dengan makanan yang manis.
Jawaban Stella di sisi lain, tidak mengejutkan sama sekali. Dari tipenya, dia memang tidak terlihat seperti orang yang tertarik pada barang-barang branded, atau lebih tepatnya tidak peduli sebenarnya. Asalkan itu sesuatu yang simpel dan kelihatan imut, kurasa dia akan menyukainya.
Alih-alih aku teringat dengan dessert box cokelat yang ibu beri padaku kemarin, saat dia pergi ke kantor untuk mengunjungi ayah dan mampir ke ruanganku sebentar. Katanya itu dari gerai yang baru buka di jalan dekat rumah dan rasanya sangat enak.
"Bicara soal cokelat Stella, bukannya aku memberimu dessert box dari ibu untuk disimpan kemarin?"
"Ah?"
"Dessert box," ujarku.
"Soal itu...aku sudah memakannya."
"Hm, ada dua kotak bukan? Satunya memang untukmu."
"Um..."
Stella menarik bibirnya lurus sambil menggaruk pipi.
Aku baru tersadar, "...Kau makan semuanya?"
Stella tertawa kaku, "Kupikir kemarin itu kau tidak suka dan memberi semuanya padaku."
Aku—
"Maaf Luiz," seru Stella, menepuk kedua telapak tangannya di depan dada, "Aku akan beli lagi khusus untukmu sebagai gantinya. Dengan porsi besar! Maaf ya, aku sungguh mengira kau memberi semuanya untukku karena tidak suka makan yang manis."
Ini selalu terjadi. Mengapa semua orang selalu beranggapan aku tidak suka hal yang manis? Bagian mana dari diriku yang memancing mereka beranggapan seperti itu?
Aku menghela napas, salahku juga yang tidak berbicara jelas, "Tak apa. Itu hanya makanan."
"Sungguh? Tapi itu sangat enak. Aku bisa memesannya lagi."
"Sungguh. Jangan memikirkannya."
Aku takkan bersikap seolah dunia akan berakhir jika aku tak makan sekotak dessert box cokelat itu. Memang cukup sedih, tapi masih banyak kesempatan untuk memesannya nanti. Aku hanya cukup takjub soal Stella yang mampu menghabiskan dua kotak dessert box itu dalam kurun waktu semalam, saat makan malam dia agaknya selalu menjaga porsi makan, menjadikanku menyantap makanan paling banyak, wajar saja aku tidak menyangkanya.
Tunggu. Itukah mengapa dia selalu makan lebih sedikit? Tiba-tiba sebuah pencerahan menerjang benakku. Aku melirik ke piring Stella yang daritadi makan dengan perlahan, hanya tertinggal nasi saja dengan sepotong kecil ayam. Aku selalu berpikir dia bukan orang yang gemar makan, rupanya...
Genggamanku pada sendok mengerat. Entah apa yang merasukiku, tanganku bergerak menyendok potongan ayam keju dan menaruhnya di piring milik Stella. Ia terdiam sebelum mendongak.
"Makanlah. Kau selalu membuatku makan paling banyak, kau ingin membuatku gemuk?"
Stella menggeleng cepat.
"Mama bilang aku harus memuaskan suamiku yang banyak agar dia tak jajan di luar. Luiz makanlah sampai puas."
Ibu mertua nasihat apa saja yang sudah kau berikan padanya? Dan Stella, kau bahkan tidak mengerti maksud dari nasehat itu. Aku menghela napas.
"Kau juga harus makan banyak, Stella."
"Kau bekerja lebih keras, jadi kau harus makan lebih banyak,"timpalnya.
"Kalau begitu, jika itu tak repot, masaklah dengan porsi yang sedikit lebih banyak untuk selanjutnya, jadi kau tetap bisa makan tanpa menahan diri. Aku akan puas kalau kau juga makan sampai kenyang, oke?"
Stella mengangguk, lalu dengan mata penuh binar kembali bertanya.
"Luiz, kau cenayang ya? Bagaimana kau bisa tahu kalau aku menahan makan selama ini?"
Aku memilih mengabaikan yang satu itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Annisa Fitri
yaAllah😭🤣🤣🤣
2022-09-17
0
MAHA KARYA
semangat kak
2022-07-10
0
Yunialfi ~IG: yyn_writer08
semangat thor aku mampir
2022-07-09
2