Apa yang kutemukan begitu melangkahkan kaki ke dalam kamar Stella jauh melebihi yang ada di bayanganku. Kamar Stella jika harus dideskripsikan sangat—dan sungguh—feminim. Aku tahu Stella itu lemah lembut dan suka pada hal-hal manis, tapi aku tidak pernah memikirkan akan menemukan kamar seorang wanita dewasa dengan puluhan boneka kecil terpajang di atas kasur dan nakasnya. Ini feminim tapi sedikit terlalu terasa seperti kamar gadis remaja. Membayangkan Stella tidur dikelilingi oleh boneka-boneka ini...
Uh. Harus kuakui itu cukup—sedikit, hanya secuil saja—menggemaskan.
Aku berpaling ke beberapa foto yang dipajang di dinding, kebanyakan meliputi foto Stella bersama kedua orang tuanya. Memandang itu membuatku teringat akan sebetapa dekatnya dia bersama mereka dan bagaimana karena alasan yang sama akupun kerap berusaha menyisihkan waktu untuk setidaknya bisa mampir ke rumah mereka sekali atau dua kali setiap bulannya bersama Stella. Terlepas dari perjanjianku bersama Stella, fakta aku menikahi anak mereka tetap benar adanya, jadi sudah sepatutnya aku menunjukkan rasa hormatku kepada mereka dengan rutin berkunjung.
"Paman?"
Suara anak laki-laki menyentakku dari pikiranku. Aku menoleh ke arah Kevin yang sudah bangun dan duduk sambil mengusap mata. Matanya tampak berat dan mimik mukanya masih muram.
"Ibu?" Tanya Kevin.
Aku lantas menghampiri dia. Yang aku tahu soal mendekati anak kecil adalah kita harus bersikap santai dan lemah lembut. Jadi aku berjongkok di sebelah tempat tidur untuk menyamai level mata kami dan merendahkan suaraku.
"Ibumu masih berkemas di rumah, dia akan menjemputmu nanti. Untuk sekarang kau bersama paman dan bibi dulu ya."
Kevin menunduk, "Apa ayah sungguh mau membuang aku dan ibu?"
Aku sungguh tidak tahu bagaimana harus memberikan pengertian kepada seorang anak kecil tentang masalah seperti perceraian, jadi aku mencoba menerangkan itu dengan penjelasan apa adanya namun seringan mungkin agar tidak membuat dia bersedih.
"Ayahmu tidak membuang kau dan ibumu. Tapi ibu dan ayahmu sedang ada masalah yang harus diselesaikan. Jadi ibumu harus berpisah dengan ayahmu dulu untuk melindungimu dan dirinya sendiri."
Kevin mengusap matanya yang mulai sembab, "Kenapa ayah selalu memarahi dan membenci ibu dan aku? Ayah jarang pulang, tidak pernah tersenyum dan hanya suka berteriak di rumah."
"Soal itu, saat kau sudah besar nanti, kalau kau masih penasaran, kau bisa tanyakan itu pada ayahmu," aku mencoba menepuk-nepuk kepala Kevin perlahan. Aku bukan orang yang dengan mudah merasakan empati tinggi, tapi menyadari ada seseorang di luar sana yang punya hati untuk menyakiti istri dan anaknya sendiri membuatku kesal.
Alih-alih aku mengajak Kevin untuk ikut turun makan bersama karena Stella pasti sudah menunggu daritadi di bawah. Namun sebelum itu, dia kembali bertanya hal lain lagi yang langsung membuatku berhenti.
"Paman, apa kau juga memukul bibi saat kau marah? Paman, jika kau punya anak, jangan meneriakinya ya. Aku selalu sedih saat diteriaki."
Aku tercengang, bukan hanya dari fakta kalau aku baru saja dinasehati oleh anak kecil, tapi juga akan bayangan yang timbul akibat perkataan Kevin itu. Aku tidak bisa membayangkan dalam situasi apapun akan memukul Stella karena emosi. Tidak hanya Stella, tapi wanita manapun. Aku jarang menggunakan ayahku yang keras sebagai teladan, tapi satu hal yang selalu ku ambil dari dia adalah sifatnya yang selalu menjaga dan memperlakukan ibu dengan baik, dia boleh tegas dalam rumah tapi tak pernah kasar.
"Tidak, Kevin. Paman tidak pernah memukul bibi. Kau juga tidak perlu khawatir soal anak paman nanti," Karena anak itu tidak akan pernah ada sejak awal.
Di meja makan, Kevin makan dengan lahap. Aku dan Stella memperhatikan dia menyantap lauk demi lauk yang ada dalam kunyahan yang besar. Dia pasti sudah lapar sekali karena belum makan daritadi pagi.
"Kevin makan yang banyak ya," ujar Stella, tersenyum hangat.
Kevin menganggut, mulutnya sedikit belepotan, "Um! Masakan bibi selalu enak. Aku suka."
Pujian itu membuat Stella dengan senang hati mengambilkan sesendok penuh mushroom risotto buatannya itu ke dalam piring Kevin yang bahkan masih tampak penuh. Stella, mau seberapa banyak lagi kau ingin dia makan? Aku menggeleng tapi tidak kuasa menahan seulas senyum takjub di wajahku.
"Luiz juga, kau tidak sarapan tadi pagi, jadi porsimu harus dobel. Ini tambah lagi."
"Uh..."
Entah seabnormal apa pikiranku untuk membayangkan ini, tapi untuk sesaat aku membayangkan andai aku dan Stella adalah pasangan suami isteri yang saling mencintai dan punya buah hati dari hubungan kami, maka momen seperti inilah yang akan menghiasi meja makan kami. Aneh bukan? Tapi aku tidak membenci bayangan itu.
Selepas makan aku dengan sedikit terpaksa harus ikut menemani Kevin menonton salah satu film animasi kesukaannya karena Stella harus melakukan beberapa pekerjaan rumah yang lain dulu. Sudah lama aku tidak menonton film-film animasi seperti ini, saat kecil meskipun jarang, ibu biasa mengajakku ke bioskop untuk menonton film animasi yang baru rilis. Itu salah satu momen yang aku nantikan karena bisa istirahat disela kepadatan jadwal sekolah dan les yang harus kuikuti setiap harinya.
Bel pintu berbunyi.
Aku berpaling dari layar televisi dan hendak berdiri namun Stella berseru dari dalam dapur, "Oh biar aku yang buka."
Tak berselang semenit, Naomi pun muncul di ruang tamu ditemani dua koper besar. Dia tersenyum lirih ke arah Kevin sebelum berpaling pada aku dan Stella.
"Aku harus mencari beberapa dokumen dan memesan tiket dulu sebelum berkemas, jadi aku baru bisa datang menjemput Kevin sekarang. Aku sungguh minta maaf sudah merepotkan kalian terus dengan kami."
Stella menggeleng, "Tidak, Naomi. Kami senang bisa membantu. Iya kan, Luiz?"
Aku mengangguk.
"Terima kasih banyak kalau begitu."
"Apa kau sudah yakin tidak ada lagi yang tertinggal? Jangan sampai kau harus kembali lagi ke sini dan bertemu suami jahatmu itu," Stella mengepalkan kedua tangan dan menukik kedua alisnya turun.
Naomi yang walau jelas masih sangat sedih, tertawa halus melihat tingkah Stella, "Sudah tidak ada lagi, Stella. Jangan khawatir, kalau aku kemari lagi nanti, itu hanya karena aku mau mengunjungimu saja."
Aku sedikit penasaran akan sesuatu jadi aku bertanya, "Apa suamimu tahu kau akan pergi hari ini?"
Naomi menggeleng, "Tidak, kalau aku bilang padanya, aku yakin dia akan mengurung kami. Dia tahu ayahku adalah jaminan hidupnya saat ini jadi dia takkan mau melepasku begitu saja. Karena itu aku harus pergi dan mengurus semua persyaratan perceraian ini segera. Stella dan Pak Luiz, terima kasih lagi untuk semuanya."
Ucapan terima kasih itu layak diterima Stella seorang, dialah yang sejak awal membantu mereka. Bukan aku yang hanya muncul diakhir. Stella memeluk Naomi erat, dua wanita yang baru saling mengenal selama beberapa bulan terakhir itu menangis bersama tiba-tiba. Kevin memeluk paha ibunya. Dan aku berdiri canggung sendiri di sana.
"Stella, aku takkan melupakan jasamu selama ini. Kau sudah memberi kami makan, menjaga Kevin, hingga mendukungku untuk mengambil keputusan untuk pergi dari hubungan tidak sehat ini. Kuharap kita bisa tetap berteman sesudah ini."
"Tentu saja, Naomi. Aku akan terus mengontakmu nanti."
Setelah adegan emosional itu mereda, Naomi dan Kevin hendak pamit. Mereka akan kembali ke kota kampung halaman Naomi di Kota C, di sana ayah dan ibu Naomi akan membantu segala proses perceraiannya dengan suami yang sampai saat ini namanya saja belum kuketahui. Aku jadi penasaran seperti apa tampang suami Naomi untuk bisa merasa pantas bersikap begitu tidak tahu diri dan tak menghargai istri dan anaknya sampai mereka harus pergi diam-diam dari rumah begini.
Aku tidak pernah membayangkan diriku akan merasa marah pada seseorang yang bahkan belum pernah kulihat batang hidungnya sedikitpun. Seluruh kejadian ini membuatku merasa aneh sekaligus takjub. Aku tidak begitu mengenal Kevin dan ibunya kecuali dari cerita-cerita Stella selama ini dan mereka pun jarang mampir kemari disaat ada aku. Aku hanya mengganggap mereka sebagai orang lewat dalam kehidupanku, namun di sinilah aku berlutut di depan anak laki-laki yang kini beralih memelukku.
"Paman jangan sombong lagi, dan ikutlah bibi Stella saat main ke rumah kami nanti."
"..."
"Kevin, hush," tegur Naomi.
Stella tertawa dan aku hanya menggeleng pelan. Dasar anak-anak.
Naomi dan Kevin pergi tidak lama kemudian. Aku melihat Stella menutup pintu depan perlahan dan berdiri di sana. Masing-masing dari kami larut dalam pikiran sendiri.
Entah apa yang sedang dia pikirkan, tapi aku terus berpikir, jika aku tidak menikah dengan Stella, aku mungkin akan menikmati hari Sabtu ini dengan bersantai sendiri di sofa tanpa ada gangguan orang lain. Naomi mungkin masih bertahan untuk tinggal bersama suaminya. Kevin tidak akan mengenal seorang bibi baik hati yang dengan senang hati menemani dia bermain dan memasakkan makanan super lezat untuk keluarganya. Dan Stella tidak akan tersenyum padaku sekarang.
Betapa menakjubkan. Kehadiran seseorang saja bisa berdampak bagi tiga kehidupan orang lain di sekitarnya.
Aku boleh saja mengaku hebat dengan segala pencapaianku kini, mengaku kaya dengan segala hartaku, tapi bisakah aku mengaku sebagai seorang manusia berbudi baik dengan pemikiranku yang kadang masih saja mementingkan diri sendiri dan enggan untuk melihat ke sekitar?
Tidak. Sejak awal pun aku tidak pernah benar-benar menganggap diriku sebagai orang yang luar dalamnya berbudi baik. Tapi melihat kerelaan Stella untuk mengulurkan tangan pada orang lain tanpa memandang bulu dan mengabaikan kepentingannya sendiri, aku juga jadi ingin belajar menjadi orang seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments