Di tengah nafas kami yang memburu akibat gairah yang sudah di puncak ubun-ubun, El memberhentikan aktivitas kami dan segera pergi ke kamar mandi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Aku heran dibuatnya.
Bersamaan dengan itu, ponsel El berdering. Dan aku baru ingat, ponselku tertinggal di rumahku. Aku penasaran siapa yang menelepon El kali ini. Perlahan, aku memberanikan diri untuk mengangkat panggilan itu.
"Halo, Bos. Ada kabar buruk," ucap seseorang di seberang sana, dan terdengar nafasnya yang memburu.
"Nona Mayang diculik komplotan orang Ali Suprapto, Bos. Dan juga, ayah Nona Seika terluka parah akibat luka tusukan dari orang Ali juga,"
Deg.
Air mata sudah tak dapat ku bendung lagi. Aku menjatuhkan ponsel yang ada dalam genggamanku. Tubuhku lemas sekali, kepalaku berdenyut nyeri, entahlah ... aku tak dapat mencerna apa yang terjadi.
"Eca, apa yang terjadi?" ku dengar El berlari mendekatiku. Dia menatap ponsel yang tergeletak di lantai dan mengambilnya.
"Apa kamu baru saja menerima telepon?" tanya El, sedikit mengintimidasi. Aku hanya mengangguk mengakui.
"Lalu, kenapa? Ah ... lancang sekali kamu menerima panggilan di ponselku!" teriak El. Aku tak takut sama sekali, masa bodoh. Aku segera bangkit menggapai kesadaran yang setelah sekian menit ku biarkan kosong.
Aku melangkahkan kakiku, mengabaikan tatapan murka dari selingkuhanku.
"Berhenti, Seika Annahita!" sentak El. Tapi aku abaikan, ada yang lebih penting dari itu.
"Seika Annahita! Aku katakan, berhenti atau kau ku serahkan ke suami gilamu!"
Aku menghentikan langkahku, bukan karena ingin kembali pada El. Tapi aku menoleh ke arahnya lalu berkata. "Serahkan aku, memang di sana tempatku seharusnya berteduh. Bawa aku ke sana, biar aku bisa membuat keluargaku hidup tenang tanpa ancaman dari orang-orang suruhan suamiku. BAWA AKU KE SANA, EL!"
Kulihat, El terpaku akan ucapanku. Pria itu lantas melangkah mendekatiku. Aku biarkan dia memelukku, aku biarkan dia mengecup kepalaku, aku biarkan dia berbuat semaunya terhadapku. Karena aku merasa tenang akan perlakuannya. Dekapannya yang hangat dan kecupannya yang dalam.
"Katakan, apa yang orang dalam ponsel itu beritahukan, hmmm?"
Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, mengurai rasa sesak di dada. Pria ini baru saja menyentakku, sekarang sudah lembut kembali. Apa dia punya tempramen? Atau ... memang dia sebenarnya tidak benar-benar mencintaiku? Ah, enyahlah kamu pikiran buruk!
Ku lihat, El membuka layar ponselnya. Mungkin, dia tengah mengecek siapa si penelepon tadi. Tapi perasaanku semakin tak tenang kala ponsel El kembali berdering.
"Halo." tampak El mengernyitkan dahinya.
"Ah benar, istrimu sedang bersamaku. Mengapa?" El menyeringai. Aku mengerti siapa orang di balik layar itu. Tentulah dia suamiku.
"Baiklah, aku setuju. Sekarang juga aku ke sana." El memutus sambungan telepon, lalu beralih menatapku.
"Sayang, kita harus bertemu Ali sekarang juga. Apa kamu berani? Kalau kamu takut, tetaplah di sini. Aku tak akan memaksamu," ucapan El terdengar lembut, tapi aku tak menangkap ketulusan di setiap kata yang keluar dari mulutnya. Justru aku merasa, kalau sekarang aku terancam bahaya.
"Baiklah, aku siap." aku mengangguk mantap, tapi jantungku berdebar begitu kencang seperti genderang mau perang.
"Tenanglah. Kamu ikuti saja permainanku, ya? Aku janji, setelah urusan Ali selesai ... aku akan segera menikahimu. Dan untuk ayahmu, beliau sudah mendapatkan penangan yang tepat di rumah sakit terbaik di Yogyakarta. Adikmu sudah berada di tempat yang aman. Tenanglah, jangan berpikir macam-macam, oke," aku terpaku sejenak, dalam hati aku bertanya sejak kapan dia mengetahui informasi mengenai bapak di kampung?
"Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Anak buahku tadi mengirim laporan secara tertulis, tapi karena aku lagi sibuk ehem sama kamu ... dia jadi berpikir aku sedang dalam bahaya. Makanya tadi dia meneleponku." aku malu sekali mendengar ucapannya yang katanya sedang ehem sama aku. Padahal kan, dia yang ngajak duluan.
"Jangan malu, karena suatu hari nanti kamu harus terbiasa dengan adegan tadi. Kamu kan, calon masa depanku." ya ampun, bagaimana aku tahan jika pria tampan ini selalu tebar pesona seperti ini. Dia begitu mempesona.
Sejenak aku merasa lega karena bapak sudah mendapat penanganan yang tepat. Aku percaya dengan El. Sejauh ini, tak ada gosip miring mengenai kehidupannya. Dia terkenal gigih dalam bekerja dan jujur dalam keadaan apa saja.
Sekarang, aku tinggal menyiapkan mental untuk bertemu dengan suamiku. Mau tak mau, aku harus menerima setiap konsekuensi atas keputusan yang telah aku buat.
Mayang ... Bapak ... Anin ... kalian bertahanlah, aku janji akan menyelesaikan masalahku secepat mungkin. Tunggu, Mayang?
"Kak, Mayang bagaimana?" tanyaku lirih. Aku masih sedikit takut jika banyak omong di depan El Barrack. Takut kena marah kaya tadi lagi.
"Mayang, dia sedang dalam masa pencarian. Percayalah, semua akan baik-baik saja." El mengecup keningku, lalu membenamkan kepalaku ke dadanya yang kekar dan bidang.
"Lima menit lagi, kamu harus bersiap untuk bertemu dengan suami tercintamu. Tapi sekarang, biarlah aku menikmati pelukan hangat ini." El semakin mempererat pelukannya. Ah ... aku sangat mencintainya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments