Tiga hari telah berlalu. Sejak kejadian pagi itu, aku telah resmi menjadi seorang kekasih El Barrack. Aku hanya berkomunikasi melalui ponsel dari El yang ia berikan melalui Zack kemarin. Ponsel itu sudah dipastikan keamanannya. Tinggal aku saja yang harus pandai menyimpan ponsel itu.
Kalian tahu, kenapa aku harus memiliki dua ponsel? Karena sejak aku masuk ke rumah ini, ponselku langsung terhubung oleh seorang hacker yang bekerja untuk suamiku. Jadi, aku harus menyimpan rapat hubunganku dengan El, sekalipun dengan kedua sahabatku.
Dan selama tiga hari ini, juragan Ali tidak mendekatiku sama sekali. Dia hanya memastikan aku makan dan tidur dengan baik, itu saja. Jenuh memang, oleh karena itu aku menyibukkan diri dengan membaca novel online dan belajar melukis.
Sesekali, aku juga berbagi kabar dengan Aninda dan bapakku di kampung. Tapi rasanya sakit, karena aku harus berpura-pura bahagia dalam keadaanku yang terkurung dan tersesat seperti ini.
Siang ini, aku tengah berendam di bath up sambil menonton drama China favoritku. Ya ... aku lebih memilih berdamai dengan keadaan daripada memberontak yang hanya akan membuatku semakin lelah.
Puas berendam, aku segera memakai pakaianku dan mulai belajar melukis. Ngomong-ngomong, setiap sudut rumahku terpasang CCTV, kecuali kamar pribadiku. Jadi, aku bebas melakukan video call bersama El sepuasnya.
Sejenak, aku memikirkan sesuatu. Sejak kejadian Maya menggunjing juragan Ali, sampai saat ini dia belum kembali. Itu membuatku penasaran. Terakhir kali yang aku dengar dari El, Maya sedang mandi keringat dengan juragan Ali. Tapi mengapa sampai sekarang dia tak kembali?
Tring! Tring!
Ponselku berdering nyaring, membuat lamunanku ambyar seketika. Ternyata, itu panggilan dari El Barrack. Detak jantungku berpacu cepat hanya dengan melihat namanya tertera di layar utama. Ah ... lebay.
"Hai, Kak," ya, sekarang aku memanggilnya dengan sebutan Kakak. Itu adalah permintaannya sendiri, sih.
"Hai, Sayang. Sudah makan?" ah, suara itu sangat menyejukkan hati. Lebay lagi.
"Sudah, Kak. Kakak lagi apa? Kok gelap?"
"Kakak lagi di ruang bawah tanah, nih," jiwa haluku langsung meronta melihat kegelapan yang katanya di ruang bawah tanah itu. Gimana kalau lagi video call an seperti ini tiba-tiba muncul pocong atau mbak kunti di belakang El? Serem ...
"Kakak ngapain di situ? Lagi mau jebak tikus?"
"Kakak lagi sembunyi dari kejaran rentenir, Sayang," bisiknya, sampai hanya terlihat dahinya memenuhi layar ponselku.
"Emang Kakak punya hutang?"
"Ya ampun, Eca! Kamu polos banget, sih? Jadi bikin tambah kangen, deh. Kakak tuh lagi nyari dokumen suami tercinta kamu, nih," El memperlihatkan seluruh isi ruangan gelap yang menyeramkan itu.
"Mau sensus penduduk, Bang?" godaku.
"Hmmm ... udah pandai godain pacar, nih, ceritanya?" dia tersenyum manis, membuat rasa rinduku padanya semakin membuncah.
"Kak, aku rindu," ucapku, dan tanpa kusadari air mata telah menetes membasahi pipiku.
"Sayang ... kok jadi mellow, sih? Kakak juga kangen banget sama Eca. Sabar ya, dua hari lagi Kakak datengin kamu, oke. Jangan nangis, dong,"
Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum.
"Aku tunggu kedatangan Kakak. Janji bakal datang, ya?"
"Kakak janji, Sayang." kulihat tangannya bergerak mengusap layar ponselnya. Apa dia sedang membayangkan sedang mengelus wajahku?
"Ya udah, kalau gitu aku tutup dulu teleponnya, ya? Aku lagi belajar melukis, nih,"
"Oke. I love you, Eca,"
"Love you, Kak." aku mengecup layar ponselku bersamaan dengannya yang juga sedang mengecup ponselnya. Dan setelah itu, panggilan benar-benar berakhir.
Aku menghela nafasku kasar, dan lalu aku melanjutkan kegiatanku.
Ting! Ting!
Hah, yang ini ponsel keduaku berdering. Dan sudah kupastikan, kali ini suamiku yang memanggil.
"Ya, Gan. Ada apa?" tanyaku malas.
"Turunlah. Kita makan bersama di bawah," ucapnya di seberang sana.
"Baiklah."
Aku segera memutus sambungan telepon, sebelum dia yang memutus duluan. Biar dia tahu kalau aku malas meladeninya.
Aku segera bersiap dan turun menggunakan lift.
Sesampainya di lantai satu, ternyata semua orang sudah berkumpul di ruang makan. Mbak Sri, Mbak Mira, Mbak Mustika, dan Mbak Neneng. Masing-masing asisten juga sudah berdiri di samping masing-masing majikan. Hanya Maya yang tidak ada di sana.
Mereka semua menatapku penuh arti. Perlahan aku melangkahkan kakiku dan duduk bergabung dengan mereka.
"Dek, mukamu pucat sekali. Masih belum fit?" tanya Mbak Neneng dengan suara lembut. Ah ... aku seperti melihat ibuku.
"I-iya, Mbak. Saya ... masih sering pusing," jawabku gugup.
"Obatnya masih?" sekarang Mbak Tika yang bertanya padaku. Ternyata para maduku ini saling memerhatikan satu sama lain.
"Masih, Mbak." jawabku, sambil menundukkan kepalaku. Sekilas kulihat juragan Ali melirikku dengan tajam. Sejenak aku berpikir, apa aku berbuat kesalahan?
"Baik, karena kalian semua sudah berkumpul di sini, aku akan mengumumkan kabar gembira. Eneng, Sri, Tika, Mira, dan kamu, Seika, bahwa aku telah menikahi Mayaratih. Oleh karena itu, untukmu, Seika, sementara waktu kamu tidak ada aspri. Tapi aku akan segera mencari pengganti Maya, supaya kamu tidak kesepian. Jadi, apa ada yang keberatan?" papar juragan Ali panjang lebar.
"Maaf, Beib. Bukannya keberatan, tapi kenapa secepat ini kamu menikahi Maya? Kasian Seika, Beib," rasanya mau meninggoi mendengar Mbak Tika menyebut juragan Ali dengan sebutan Beib.
"Memangnya kenapa? Yang penting kalian semua aku cukupi, kan?" tanya juragan Ali sinis, seperti mengejek.
"Bukan begitu-"
"Diam! Bapakmu ada di tanganku, Tika. Kalau sampai kamu banyak omong, aku bunuh dia sekarang juga," sentak juragan Ali, matanya melotot tajam. Aku bergidik ngeri melihat pemandangan di depanku.
"Bang, udah. Jangan apa-apa pake ngancam mau bunuh orang. Kasian Pak Danu, Bang. Dia udah nggak bisa apa-apa karena ulah kamu," bela Mbak Sri.
Prang!
Piring di depan juragan Ali terbang melayang menghantam wajah Mbak Sri, hingga wajah putih itu mengeluarkan darah yang lumayan banyak. Aku gemetar ketakutan melihat pemandangan di depanku. Dan entah dorongan dari mana, aku berdiri dan berlari mengambil kotak P3K. Setelah obat kudapatkan, aku menyuruh Mbak Mira mengobati Mbak Sri. Baru setelah itu, aku berkacak pinggang di depan suami gilaku ini.
"Agan, boleh aku tahu alasan Agan menikahi kami?" tanyaku penuh penekanan. Juragan Ali menyentak nafasnya kasar, lalu balas menatapku dengan tatapan sendu.
"Jelas aku mencintai kalian, Seika. Apa lagi?"
"Bukan cinta, Gan. Mencintai itu melindungi, menyayangi, melengkapi, menghormati, dan menghargai. Bukan menyakiti dan menghakimi, Gan. Lihat Mbak Sri, dia terluka fisik dan hatinya karena ulah Agan. Apa ini namanya cinta?" isakku.
"Seika Sayang, maaf jika aku membuatmu takut. Tapi tolong, jangan ikut campur urusan Agan, ya?" juragan Ali mencoba meraih tanganku, tapi aku tepis dengan kasar.
"Jangan sentuh aku kalau Agan masih main kasar sama wanita. Ingat, kamu juga terlahir dari rahim seorang wanita. Jika kamu berani melukai wanita, lalu bukankah sama halnya dengan melukai ibumu sendiri, hah?" aku masih terisak di depan suamiku. Aku keluarkan semua uneg-uneg di hatiku agar sedikit lega.
"Seika?! Beraninya kamu!" juragan Ali seperti hendak melayangkan tangannya untuk menamparku. Tapi aku tak gentar, aku serahkan wajahku untuk dia tampar.
"Tampar aku, Gan. Kalau perlu, bunuh aku sekalian. Aku lebih baik mati ketimbang harus hidup dengan laki-laki ringan tangan seperti Agan!" teriakku, lalu aku segera berlari keluar rumah. Masa bodo nantinya, yang pasti aku ingin sendiri. Aku pun takut menghadapi kenyataan yang mau tak mau harus aku hadapi nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Dinda Putri
makin seru ceritanya ka lanjut love yuo
2022-06-25
2