Aku baru saja sampai ke tempat tongkrongan Risha. Dan langsung aku disambut hangat oleh gadis berkulit kusam dan berpakaian urakan. Ya, Risha adalah anak punk. Tapi aku sangat menyayanginya, karena aku begitu tersentuh ketika dia menceritakan kisah hidupnya.
Katanya, dia anak yatim piatu sejak berusia enam tahun dan diasuh oleh Bibinya. Tapi setelah menginjak usia tujuh belas tahun, dia hendak dijual ke tempat perda*angan wanita. Beruntung dia berhasil melarikan diri dan bertemu dengan salah satu anggota punk di jalan. Lalu, dia bergabung dan saat ini dia sudah menjadi ketua di kelompoknya.
"Seika! Ah, aku sangat merindukanmu!" seru Risha lalu memelukku erat. Bau tak sedap dari tubuh Risha sudah hal biasa bagiku. Aku berpegang pada prinsip tidak membeda-bedakan teman, bagaimanapun keadaannya.
"Iya, aku juga," balasku, lalu melepas pelukan kami.
"Bagaimana dengan masalahmu?" tanyaku tak mau berbasa-basi.
Terlihat Risha menghela nafasnya kasar dan raut wajahnya berubah sendu.
"Aku dituduh mencuri ponsel mahal milik seorang preman pasar, Sei. Padahal, aku tidak mencuri sama sekali," ungkap Risha.
"Lalu?" aku masih menyimak kelanjutan ceritanya agar aku paham, inti dari masalahnya.
"Aku harus mengembalikan ponselnya yang hilang, lalu mengambil pilihan dibawa ke kantor polisi atau membayar denda,"
Aku menyentak nafasku kasar mendengar perkataan Risha. Lagi-lagi uang yang jadi masalah. Hampir setiap bulan aku harus merogoh uang untuk sahabat nakalku ini.
"Baiklah, antar aku ke orang itu. Aku akan mencoba bernegoisasi," pungkasku.
Singkat cerita, aku dan Risha berangkat menuju pasar yang menjadi tempat pemalakan preman yang dimaksud Risha, dengan menaiki angkot.
Ada rasa takut yang hinggap dalam benakku kala mengingat orang yang akan aku hadapi ini seorang preman.
Dan sebenarnya, aku pun merasa ada yang janggal dengan Risha. Dia ketua anak punk, tapi kenapa menyelesaikan masalah seperti ini saja harus memanggilku? Bukankah anak buahnya banyak dan mereka semua tahan banting?
Beberapa saat kemudian, angkot yang kami tumpangi berhenti di depan pasar tradisional, tak jauh dari letak tempat tongkrongan Risha dan kawan-kawannya. Setelah aku membayar jasa angkot, aku segera menyusul langkah kaki Risha yang sudah meninggalkanku begitu saja.
Tepat di sebuah gang sempit yang berada di belakang pasar, terlihat sekitar lima orang yang kuduga merekalah premannya.
"Wah, akhirnya datang juga lu, Bocah!" seru salah seorang preman berambut gondrong.
"Bang, ini teman yang akan bertanggung jawab atas kesalahanku,"
Deg.
Aku merasa dihempaskan ke dalam angin ****** beliung kala mendengar pernyataan Risha.
"M-maksud kamu, aku yang bertanggung jawab?" tanyaku masih belum percaya.
"Ya iyalah, Sei. Terus siapa lagi?" decak Risha sebal.
"Tapi aku nggak ada uang sekarang, Rish. Dan juga, aku hanya membantu. Bukan bertanggung jawab," protesku.
"Tapi aku nggak mau digilir sama mereka, Sei. Aku nggak mau punyaku longgar gara-gara diterjang terong bengkak milik mereka," rengek Risha ketakutan.
Aku terdiam sejenak. Setelah itu, aku mendekati preman yang berambut gondrong. Lalu aku berkata. "Berapa yang harus Risha bayar, Bang?" tanyaku ketus.
"Dua puluh juta. Lu ada duit, hah?" tanyanya dengan nada mengejek.
"Beri aku waktu tiga hari, maka aku akan segera membayar denda sahabatku," tawarku mencoba bernegoisasi.
Kelima preman itu tampak berdiskusi. Dan selanjutnya, preman bertubuh paling kekar dan paling hitam menghampiriku, lalu berkata. "Baik, tiga hari saja. Aku akan menggilir sahabatmu kalau sampai kau bohong," ucap preman itu dengan nada sarkas dan penuh penekanan.
Nyaliku ciut seketika. Keringat dingin meluncur bebas keluar dari dahiku. Aku hanya mengangguk menyetujui kesepakatan yang telah dibuat. Bagaimanapun juga, aku nggak tega kalau sampai Risha digilir oleh orang-orang jorok seperti mereka. Ya ... meskipun Risha sendiri sedikit jorok, sih.
Tapi tidak, dia sahabatku. Meskipun kesal, aku menyayanginya.
Setelah acara tawar-menawar beres, aku mengajak Risha langsung pulang. Tapi sebelumnya, aku mengantar Risha terlebih dahulu.
Selama dalam perjalanan, aku tak bosan memberi pencerahan kepada sahabatku.
"Aku mohon, ini terakhir kalinya kamu berbuat ulah. Aku nggak mau tahu, pokoknya kalau sampai kamu berulah lagi, aku nggak mau bantuin kamu. Udah cukup kamu menyusahkan aku. Kalau cuma tenaga, okelah. Tapi kalau selalu dengan uang, gajiku pas-pasan, Sha. Untuk kebutuhanku, untuk jatah Ayah dan Anin, belum untuk membayar setiap masalah yang kamu buat. Aku capek, Sha," keluhku hampir menangis. Risha menatapku jengah, entah apa yang membuat dia seperti masa bodoh denganku.
Apa karena dia tak tulus berteman denganku, atau karena dia yang bosan aku ceramahi.
"Dua puluh juta, Sha. Uang dari mana aku, hah? Pokoknya, kamu harus ikut usaha cari uang separuhnya. Kalau kamu nggak dapat, terserah kamu. Paham?" ucapku sedikit memberi ketegasan kepada Risha yang tengah menunduk tajam sembari memainkan jemarinya.
"Kamu nggak tahu kerjaan aku, Sei? Aku cuma ngamen, sepuluh juta uang dari mana? Orang ... sehari cuman dapet uang lima puluh ribu, itu pun maksimal. Kalau ngutang, siapa yang percaya? Aku cuma anak punk, Sei ... nggak bakalan ada yang percaya sama aku," lirih Risha membuatku terenyuh. Ya ... kelemahanku adalah tidak bisa melihat orang kesulitan.
Aku menghela nafasku kasar. Sejurus kemudian, aku menatap Risha lekat.
"Kalau begitu, do'akan aku berhasil. Aku akan mencoba minjam uang ke Juragan Ali," sekilas aku melihat raut wajah Risha berbinar, sekilas saja setelah itu dia seperti memasang wajah sedih lagi.
"Kamu yakin?" tanyanya membalas tatapanku.
"Do'akan aku saja."
Angkot berhenti, aku menatap punggung Risha yang baru saja turun dari angkot dan tentunya, aku yang membayar uang jasa angkotnya.
"Entah mengapa, aku merasa kamu memang tidak tulus kepadaku. Aku melihat raut wajahmu berbinar ketika aku berkata akan meminjam uang ke juragan Ali. Bukannya cemas, malah kamu seperti bahagia aku akan dalam bahaya." aku mendongakkan wajahku, demi mencegah air mata yang sudah menganak sungai di ujung mataku.
Ali Suprapto, biasa dipanggil Juragan Ali. Dia pemilik gudang beras, minyak, dan gula yang lumayan sudah masuk urutan nomor lima terbesar di Jakarta. Dia berusia lima puluh lima tahun dan memiliki empat orang istri, serta tujuh orang anak. Dia terkenal akan kesombongan dan kemesumannya.
Istri kedua sampai keempat ia dapatkan dari hasil kecurangannya kepada orang bawah. Ada yang karena tak sanggup membayar hutang, ada yang melakukan kecerobohan saat bekerja di gudang, dan ada yang memang mengincar hartanya. Istri pertamanya menderita stroke dan hanya duduk di kursi roda.
Aku bertekad untuk meminjam uang kepadanya dan menguatkan tekadku demi sahabatku. Apapun hasilnya, yang penting aku usaha, kan?
Jika pinjam ke Orland Mart, aku tak berani. Karena konon katanya, pemilik Orland Mart ini pelit. Aku sudah ciut nyali jika rumor yang beredar sudah seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Vi
knp hrus sahabatan sm anak jlnann yg g jls sih.
2022-10-02
4
Amelisa cherry Salsabila
em
2022-06-09
1