Hari ini, aku sudah mulai kembali bekerja setelah dua hari izin libur. Dan seperti biasa, aku berangkat pukul 8 pagi berboncengan dengan Rosa. Sedangkan Mayang, dia biasa diantar jemput oleh pacarnya.
Sesampainya di Orland Mart, pikiranku tak fokus sama sekali. Aku terus memikirkan nasib uang 20juta itu. Bahkan ketika putra Tuan Orland melewatiku, aku tak sempat memberinya hormat atau menyapanya.
"Hmmm ..." dia berdehem kepadaku. Aku terjingkat kaget menyadari dia sudah menatapku dengan sorot mata sendu. Entah mengapa, lima kali bertemu dengannya, aku tidak pernah melihat keangkuhan dan kearoganan darinya. Hanya sorot mata sendu yang selalu nampak.
"M-maaf, Tuan. Saya-"
"Fokus bekerja. Jangan banyak melamun," potongnya cepat dan lalu segera berlalu meninggalkanku yang masih menunduk.
Aku menghela nafasku kasar dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berharap rasa sesak di dada ini segera hilang. Acap kali mengingat uang itu, aku selalu resah.
Hingga sore menjelang, waktu pulang tiba. Aku mengatakan kepada Rosa bahwa aku hendak pergi ke juragan Ali. Rosa dan Mayang hendak menemaniku, tapi aku tak ingin membawa mereka masuk ke dalam permasalahanku.
Ketika mereka tahu masalahku, mereka menyalahkan aku bahkan memarahiku habis-habisan. Aku hanya mampu bungkam tak berani menjawab, karena memang itu kenyataannya. Aku lemah, aku bodoh, dan aku gegabah, kata mereka. Melihatku yang tidak berdaya, akhirnya mereka memelukku dan memberi kekuatan. Mereka juga menanggung kebutuhanku selama satu bulan ini. Ah ... mereka ini benar-benar teman ter-endulitahku.
Sesampainya di depan gudang milik juragan Ali, aku menguatkan mentalku terlebih dahulu. Setelah puas bertapa di depan gudang itu, aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam gudang dengan sejuta rasa. Orang yang kucari pun nampak tengah duduk di meja kasir sambil menghitung uang yang menumpuk di mejanya.
"Permisi, juragan Ali," sapaku ramah setengah takut.
"Ah, kau ... Seika?" tanyanya kaget dan menatapku penuh arti.
"Ya, saya Seika," jawabku menunduk.
"Mau beli beras lagi? Bukannya kemarin baru beli si Mayang itu?" mendadak jantungku serasa mau copot mendengar pertanyaan laki-laki tua itu. Seketika kata demi kata yang ku susun sedemikian rupa, terhapus bersamaan dengan pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
"A-anu ... Juragan, Sa-saya boleh meminjam uang?" fiuh ... lega rasanya bisa mengutarakan niatku ini.
"Mau berapa memangnya kamu?" tanyanya enteng.
"Dua puluh juta, Juragan," jawabku takut.
"Boleh, tapi ... kamu tahu sendiri syaratnya, kan?" dia mengangkat alisnya dan menatapku mesum. Jijik aku melihatnya.
"Syarat? Oh, iya. Saya akan melunasi hutang saya secepat mungkin. Saya janji," balasku cepat.
"Bukan. Dua puluh juta bukan angka yang sedikit, Darling. Kamu harus menjadi istriku selama satu tahun, melayaniku layaknya empat istriku yang lain. Eh, bukan empat, tapi tiga. Yang satu udah angkatan mau mati dia," ucapnya menyeringai licik. Senyumnya sangat menjijikkan. Aku? Aku gemetar ketakutan, bimbang. Aku tidak mau menikah dengan kakek-kakek seperti dia. Meskipun aku jelek, setidaknya aku mau suami seperti babang tamvan yang lagi viral sekarang.
"Kalau begitu, saya cari pinjaman lain dulu, Juragan. Kalau dapat ya tidak jadi pinjam Juragan, kalau nggak dapat saya ke sini lagi," sekuat tenaga aku berusaha menetralkan otak dan bibirku agar tidak terlihat ketakutan. Bisa bangga dia kalau tahu aku ketakutan.
"Baiklah, karena kamu cantik aku setuju. Pikirkan baik-baik, kalau kamu menjadi istriku, kamu akan aku beri uang banyak, mobil bagus, skincare mahal, dan baju branded. Pikirkan itu," tawarnya sambil memperlihatkan uangnya yang segepok.
"Baik, Juragan. Saya permisi dulu kalau gitu," pamitku.
"Hati-hati, Darling Seksiku." sahutnya dengan wajah yang ugh ... menyebalkan.
Aku berlari sampai kosan, berharap aku dapat mengurai rasa sesakku di sela nafasku yang tersengal. Aku menyeka keringatku menggunakan tisu harga seribuan yang selalu aku bawa tiap aku kerja.
"Tuhan ... apa yang harus aku lakukan?" keluhku sambil membuka pintu kamarku.
"Sei, sudah balik lu?" tanya Rosa tiba-tiba membuatku terjingkat kaget.
"Nggak lihat aku sudah di sini?" sungutku.
"Yaelah ... sewot amat. Kenapa? Nggak dapet BLT dari pemerintah, hah?" tanyanya yang sontak membuatku tertawa karenanya. Ah ... penghiburku.
"Ros, masa aku mau minjam uang 20juta syaratnya harus jadi istri selama satu tahun?" curhatku. Rosa terbelalak tak menyangka.
"No, big No, Sei! Jangan sudi jadi istri kelima si tua bangkotan itu. Kamu tuh cantik dan masih perawan, lho. Eh, ya kalau masih perawan sih," ucapnya, dia mengaduh kesakitan karena aku menyentil mulut tak beradab itu.
"Enak aja nggak perawan. Aku masih rapet, singset, dan seret, Bestie," ujarku tak terima.
"Bener? Boleh aku coba?" Aku bergidik ngeri mendengar pertanyaan Rosa. Aku segera berlari masuk ke kamar sedangkan Rosa mengejarku sambil tertawa.
"Ijinkan aku mencicipi keperawananmu, Gadis Ndeso, ho! ho! ho!" seru Rosa semakin membuatku tertawa dan bahkan tak sanggup lagi untuk berlari.
"WOY! Main kejar-kejaran kok nggak ajak-ajak!" pekik Mayang dengan suara khasnya yang mampu membuat siapapun orang yang mendengar sakit telinga.
"WOY! Lu juga bisa nggak, nggak teriak-teriak kaya kuntilanak kebelet kencing!" seru Rosa tak kalah melengking. Aku menutup telingaku dengan kedua tanganku karena berdengung.
"DIAM! Kalian ini, sudah malam bukannya tidur malah asik antri minyak goreng, lagi mahal ngerti nggak!" seru Ibu Kos tiba-tiba nongol, membuat aku, Rosa, dan Mayang terdiam seribu bahasa.
Kalau Ibu Kos sudah mengeluarkan suaranya, kami lebih memilih pura-pura tidak dengar. Karena, tiap kali kami sedang bersenda gurau seperti tadi, dia melerai tapi hikmahnya adalah curahan hatinya atau masalah hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Gabriela Agustina
Thor, ko upnya sdikit. Biasanya kalo novel baru upnya bisa 3-4 kali sehari. Setelah beberapa hari, barulah up cm 2× sehari. Biar menarik minat reader thor. Kalo sdikit2, pst reader milih nungguin dah bny upnya baru baca marathon skaligus.
2022-06-11
1