Bu Yani memandangi kotak dengan bungkus warna coklat yang diambil lima menit di teras rumahnya. Dia tidak memesan paket apapun, bahkan tidak ada nama pengirimnya. Hanya kata selamat menikmati saja.
“Siapa yang mengirim ini?” Bu Yani mendadak was was, setelah teror ancaman yang diberikan kemarin Bu Yani. Pikirannya menjadi tidak menentu.
Bu Yani memutar kotak, awalnya dia ingin langsung membuangnya. Namun dia penasaran juga dengan isinya.
Namun saat kotak terbuka sempurna Bu Yani langsung merasa mual. Dia menutup mulutnya yang hampir menumpahkan semua isi perutnya. Boneka kotor dan berlumur darah dengan aroma busuk langsung memenuhi ruang tamu.
Bu Yani mendorong kardus itu sampai terjatuh di lantai, boneka yang biasanya manis kini berubah menyeramkan. Kedua matanya seakan sedang melihatnya dengan sadis. Bibirnya tersenyum seakan menertawakan dirinya.
Bu Yani mengambil kertas yang terbang dari dalam kardus. Dia mmebua dengan tangan bergetar, ketakutan kini mulai menghantui dirinya.
Tulisan tinta merah tua itu hanya satu kata tapi bisa membuat Bu Yani ketakutan hebat. Dia mengambil ponsel, dengan cepat menekan tombol hijau di kontak nama Fadli.
“Halo, Fadli. Bisa kamu ke rumah ibu?” ucapnya dengan napas memburu.
“Ada apa Bu?”
“Kamu cepat ke sini ajak Elisa sekalian.”
“Baik Buk.”
Tak selang lama Fadli dan Elisa sudah berada di rumah Bu Yani. Fadli membuang boneka busuk yang langsung menyergapnya saat masuk.
“Buk, kotak ini dari mana?” tanya Elisa, dia memberikan gurunya itu minum agar tenang.
“Ibu tidak tahu, tadi seperti ada kurir datang. Saat ibu keluar kurir itu sudah tidak ada hanya menyisakan kotak itu.” Bu Yani memberikan kertas yang bertuliskan kata mati dengan tangan gemetar.
“Ada yang tidak beres ini, sepertinya ada yang mulai main-main sama kita.” Fadli menarik kursi lalu duduk di sebelah Elisa.
“Mungkin kah ini ulah Cio?” Elisa menatap Bu Fadli.
“Cio anak bandel itu?” Bu Yani mulai tenang.
“Sepertinya, dia seakan tahu masalah yang kita ajak Arumi ke bar. Dan foto-foto itu pasti rekayasa dia,” ujar Elisa sangat yakin.
“Gue rasa juga begitu, tatapannya tadi di sekolah seakan penuh ancaman,” Fadli merasa meskipun Cio cengengesan tapi itu membuatnya curiga.
“Bukankah dia sangat membenci Arumi, bagaimana bisa bersekutu.” Bu Yani mengerutkan keningnya.
“Kita juga tidak tahu, bahkan Anton sama Desta sekarang tidak bisa dihubungi. Itu pasti ulah Cio.” Fadli menyugar rambutnya ke belakang.
“Kita harus lebih hati-hati saat bertindak, amati Cio. Kita harus menyusun rencana lebih rapi lagi,” ujar Bu Yani.
Malam sepeninggalan Fadli dan Elisa, Bu Yani merasa semakin tidak tenang, ingin memejamkan mata saja takut setelah adanya teror boneka busuk itu. Rumah yang dulunya nyaman kini berubah meyeramkan.
Bu Yani mencoba tenang saat suara ketukan pintu mulai terdengar. Derap-derap langkah di samping rumahnya terdengar nyaring karena malam sudah hening.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang,” katanya dengan tubuh menggigil.
Setelah derap langkah itu menghilang, mendadak suara pecahan kaca terdengar keras memenuhi satu rumah. Dengan langkah berat, Bu Yani menyeret kakinya untuk melihat apa yang terjadi.
“Aaaa!” Bu yani teriak sekencang mungkin melihat boneka besar bersimpuh darah tergeletak di lantai bersama dengan puingan-puingan kaca.
Bu Yani lari masuk ke kamarnya, dia mengunci rapat. Dan masuk ke dalam selimut. Tubuhnya menggigil hebat, dia guru yang sangat galak dan sering membuly. Namun kejadian ini membuat nyalinya menciut.
*****
Fadli dan Elisa terus mengamati gerak-gerik Cio di sekolah. Di ingin segera menangkap Cio, agar teror kepada Bu Yani itu segera pergi.
“Maura gimanaa, Cio mau gabung sama kita?” tanya Elisa saat Maura sampai di dekatnya.
Maura menggeleng, “Sepertinya otaknya sudah dicuci oleh Arumi dan Bunga,” jelasnya.
“Dia menolak?” Elisa memandang Maura. Rasanya tidak yakin Cio yang terus mengikuti ke mana saja Maura pergi menolak begitu saja tawaran dari Maura.
“Tidak hanya menolak, bahkan mengatakan kalau mencintai gue itu adalah sebuah kebodohan,” ucapnya kesal kalau mengingat ucapan kemarin.
Fadli mengetuk-ketukan jari telunjuk di meja, dia memutar otak untuk menangkap Cio dan menghajarnya. Jika perlu dia akan membunuhnya karena telah menghalangi rencananya.
“Sepertinya kita sudah tidak bisa menggunakan cara halus,” ujar Fadli memecah keheningan setelah hening beberapa menit.
“Sebenarnya kenapa kalian ingin sekali mengajak dia gabung?” Maura menatap Fadli. Maura merasa ini bukan hanya masalah untuk membuat Arumi di jauhi oleh teman-temannya lagi.
“Lo mau gabung sama kita?” bisik Elisa sembari melihat kanan-kiri.
“Gabung apa?” Maura semakin tidak mengerti.
“Sekepas sekolah ini, kita akan ajak lo ke seuatu tempat. Kita akan ceritakan semuanya,” kata Elisa.
*****
Hari pertama pengintaian Elisa dan Fadli tidak mendapatkan informasi apa-apa. Cio menjalani hidupnya secara normal.
“Kita di mana?” tanya Maura sembari melihat reruntuhan kaca yang berserakan di lantai.
Fadli dan Elisa tidak menjawabnya, dia langsung berlari masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Menginjak serpihan kaca, mereka takut terjadi sesuatu sama Bu Yani.
“Bu! Bu Yani!” teriak Fadli.
“Bu, ini Elisa,” panggil Elisa.
Bu Yani turun dari ranjang lalu membuka pintu. “Fadli, dia datang lagi,” ucapnya dengan menggigil.
Maura melihat Bu Yani bengong, guru yang killer itu sekarang terasa tidak ada apa-apanya. Terlihat kusut seperti ibu-ibu rumah tangga yang tak sempat merawat diri.
“Bu, apa yang terjadi?” tanya Elisa.
“Dia datang ke rumah, mengitari rumah ini. Dia juga mengirim boneka besar itu.” Bu Yani menunjuk boneka besar dengan darah yang sudah mengering.
“Cio, kurang ajar lo!” geram Fadli.
“Cio, semua yang melakukan ini Cio?” tanya Maura.
“Maura? Kalian membawa dia ke sini untuk apa?” Bu Yani yang tadinya ketakutan langsung berdiri tegak. Dia tidak suka dengan kedatangan Maura.
“Buk, Maura akan turut membantu kita,” ujar Elisa.
Bu Yani menatap lekat Maura, dia tidak bisa mempercayai Maura. Maura menundukkan kepala, dia takut menatap Bu Yani yang kembali seperti guru killer. Meskipun sejak dulu berpihak kepadanya, tapi semua itu dia lakukan agar mendapat perlindungannya bukan karena suka.
“Kita akan menangkap Cio dengan bantuan Maura,” ujar Fadli, sehingga memutus pandangan Bu Yani kepada Maura.
“Menangkap untuk apa?” Maura semakin di buat bingung dengan tujuan menarik Cio.
“Kita duduk dulu, akan gue jelaskan secera rinci,” pinta Elisa.
Maura mengangguk-aagguk setelah mendapatkan cerita lengkapnya dari Elisa.
“Gimana Maura?” tanya Elisa.
“Ok, gue akan gabung sama kalian,” Elisa menyetujuhi ajakan mereka untuk menghancurkan Arumi beserta dengan teman-temannya.
“Ingat Maura, kalau kamu sampai mengkhianati kita. Nyawa taruhanya, bukan hanya satu nyawa. Tapi seluruh orang-orang yang lo sayang,” ancam Bu Yani.
“Iya Buk, Maura janji.” Maura mengangkat tangan kanannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments