Cio minta ampun

Semua wali murid telah berkumpul di ruang serba guna dengan beredarnya surat undangan. Pak irwan beserta guru-guru yang lain mengadakan rapat dengan masalah Bu Yani.

Dengan rapat itu menghasilkan keputusan kalau sebagian besar wali murid meminta Bu Yani mengganti metode pembelajaran. Dan meminta maaf kepada seluruh murid yang sudah dibuat hancur mentalnya.

“Pak, ini tidak adil buat saya,” kata Bu Yani yang tidak terima dengan keputusan rapat.

“Tidak adil bagaimana?” tanya Pak Irwan.

“Ini semua bukan salah saya, tapi Arumi. Dia yang mengkamuflase semuanya. Memutar balikan fakta yang ada, saya tidak salah.” Bu Yani masih membela diri, kalau yang dikatakan anak-anak tidak benar. Semua itu hanya hasutan dari Arumi.

“Jelas-jelas semua bukti ada, ibu juga sudah lihat bukan tadi di ruang serba guna,” sahut Arumi.

“Bukti itu juga bisa kamu rekayasa,” kilah Bu Yani. “Kalau begini terus saya mau mengundurkan diri saja,” ancam Bu Yani.

“Baik, segera ajukan surat resignnya. Saya akan tanda tangan secepatnya,” kata Pak Irwan yang membuat Bu Yani terbelalak.

Bu Yani tidak menyangka kalau Pak Irwan akan menjawab secepat itu. Padahal dia tidak serius, hanya gertakan biasa agar berpihak kepadanya dan balik mengeluarkan Arumi.

“Pak, maksud saya --,”

“Maksud anda sudah nggak betah kan di sekolah ini. Silahkan Bu Yani ajukan dan daftarkan di sekolah lain yang bisa mengajar dengan seenak Bu Yani” Pak Irwan memotong ucapan Bu Yani.

“Arumi kamu bisa masuk kelas dulu,” pinta Pak Irwan.

“Baik Pak, terima kasih.”

Arumi berjalan, dia tersenyum sinis saat bertatapan dengan Bu Yani. Kali ini Bu Yani kena batunya, dia salah mencari lawan.

“Pak, bapak lebih memilih mempertahankan anak kurang ajar itu daripada saya!” seru Bu Yani yang menghentikan langkah Arumi.

"Saya lebih baik kehilangan satu guru, daripada harus kehilangan sebagian murid saya," kata Pak Irwan.

"Pak, maaf kan saya. Bukan maksud saya seperti ini." Bu Yani mendekati Pak Irwan. Dia meminta agar tidak memasukan hati ucapan yang baru saja dikatakan.

"Satu masalah terselesaikan," ucapnya sambil keluar ruang kepala sekolah.

...ΩΩΩΩΩΩΩ...

Arumi melenggangkan kaki dengan santai, sedangkan Elisa, Maura dan Dina menunggu dengan wajah muram.

"Puas lo Arumi, membuat Bu Yani kehilangan pekerjaan," kata Maura saat Arumi melewati meja mereka.

"Bukan gue, tapi Bu Yani sendiri," kata Arumi sembari duduk di samping Bunga.

"Memang nggak punya hati lo, bisa-bisanya tetap menyalahkan Bu Yani. Yang jelas-jelas lo yang salah."

"El, lo betah banget punya kakak macam dia," tunjuk Maura.

"Ya kalau nggak betah tinggal pergi, toh nggak ada yang melarang," jawab Arumi dengan santai.

"Heh, lo anak tiri nggak tahu diri ya lo! Udah numpang masih berlagak tuan rumah. Lo yang harusnya pergi bukan Elisa!' Maura menggebrak meja.

Arumi melihat kearah Elisa. "Oiya."

"Udah, udah jangan ganggu kak gue lagi," Elisa meminta Maura dan Dina berhenti. Dan meminta mereka berdua kembali ke kursinya.

"Lihat lah, adik lo ini sangat baik hati. Udah jelek wajahnya, jelek pula hatinya," kata Dina sembari kembali ke tempat duduknya.

"Dasar ular," desis Bunga.

"Hati-hati lo nanti kepatok, kalau gue kan pawangnya," ujar Arumi sambil tertawa.

Suara pintu terbuka keras, semua murid langsung memandang kearah pintu. Cio dengan kedua mata elangnya mencari keberadaan Arumi.

"Di mana Arumi!" Serunya. Semua langsung reflek mengarah ke tempat duduk Arumi.

"Rum, dia datang lagi. Pasti mau balas dendam sama lo," bisik Bunga.

"Tenang saja," ucap Arumi.

Cio mengayunkan kakinya dengan cepat, dia berdiri dihadapan Arumi dengan wajah sangarnya.

"Cio, jangan membuat keributan di sini," kata Rio.

Setelah beberapa kajadian, Arumi mulai disegani dan mendapatkan pembelaan dari teman-temannya.

"Lo mau apa? Kalau mau ribut nanti pulang sekolah. Jangan mengganggu anak-anak yang mau belajar," kata Arumi dengan membenarkan kaca matanya.

Cio menunduk lalu menumpukan lututnya di lantai. Semua bingung melihat tingkah Cio.

"Arumi, maafkan gue."

"Cio, bangun lo. Apa-apaan lo sampai bersimpuh sama Arumi," Maura menarik tangan Cio.

Dengan cepat Cio menghempas tangan Maura.

"Rum, angkat gue jadi anak buah lo," kata Cio yang membuat orang semakin terbelalak.

Bagaimana bisa seoarang Cio yang garang mendadak bersimpuh meminta menjadi anak buah Arumi yang cupu.

"Cio, lo mabuk ya?" Maura bingung.

"Gue bukan siapa-siapa, lo jadi anak buah yang lain saja," Arumi menolak.

"Cio, bangun. Lo nggak punya harga diri ya," Maura masih berusaha membuat Cio berdiri.

"Diam! Pergi lo dari hadapan gue!" bentak Cio.

Maura kembali dengan kesal, dia melipat kedua tanganya di dada dengan tatapan yang masih tajam kepada Cio.

Elisa merasa ada yang aneh dengan Cio. Dan keadaan saat ini. Kenapa mendadak semua orang berpusat pada Arumi.

"Gue nggak mau." Arumi menolak permintaan Cio. "lo berguru sama yang lain aja."

"Gue nggak mau yang lain, maunya lo titik. Mulai saat ini gue anak buah lo. Terima kasih," ucapnya lalu pergi keluar.

Cio kembali ke kelas yang ada di sebelah kelas Arum.

"Heh, cupu! Jangan awas ya lo ambil Cio dari gue. Emang kurang lo gaet Fadli," celoteh Maura.

"Bukanya lo yang mengaet Fadli, dan lo menghianati Elisa," tukas Bunga.

"Maksud lo apa?"

"Sudahlah lo itu nggak usah berpura-pura lagi. Semua orang juga tahu lo suka Fadli. Elisa saja yang buta."

"Cupu, jangan sok tahu. Dan ikut campur, ingat ya Cio itu milik gue!" bentak maura, dia panik takut ketahuan Elisa.

"Kenapa takut?" ejek Arumi. "El, hati-hati loh, musuh dalam selimut." Arumi menoleh kearah Elisa.

Pandangan Elisa langsung terarah ke Maura, dia langsung belingsatan.

"Nggak El, mereka berdua ngarang. Mana berani gue menggaet Fadli." Arumi mengibas-kibaskan tangannya.

"Awas lo sampai beneran menggaet Fadli," ancam Elisa.

Mendengar perdebatan Elisa dan Maura membuat Arumi tersenyum. Kelemahan Elisa itu pada Fadli, tidak berubah.

"Gimana kalau gue menggaet Fadli," lirih Arumi.

"Jangan macam-macam lo. Apa nggak ingat kemarin lo di permalukan seperti itu sama Fadli karena surat cinta," Bunga menatap Arumi.

"Surat cinta itu bukan milik gue," ujar Arumi.

"Bukan punya lo?" Bunga mengerutkan keningnya.

"Tentu saja, mana sudi gue sama play boy macam dia. Gue hanya mai menuntut balas," Arumi menggenggam tangannya.

"Balas dendam? Rum, itu nggak baik lo," Bunga mengingatkan.

"Gue tahu, tapi setidaknya mereka merasakan apa yang gue rasakan." ucapnya.

Bunga tidak bisa berkata-kata lagi, memang sakit untuk menjadi Arumi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!