Arumi berhenti di tangga, matanya berkaca-kaca melihat Danu sang papanya duduk di sofa sedang membaca koran. Ia pikir sudah tidak akan bertemu lagi dengan papanya.
“Papa,” panggil Arumi, langkah kakinya bergetar saat menuju ke tempat papanya duduk.
“Sayang, kamu sudah siap?” tanya Danu.
Arumi memeprcepat langkahnya lalu memeluk erat Danu, air matanya tumpah. Ia tak kuasa menahan kerinduan yang sangat luar biasa.
“Pa, Arumi kangen sama papa,” ucapnya dengan mengeratkan pelukannya.
“Papa juga kangen, tapi kenapa kamu sampai menangis seperti ini. Papa kan hanya pergi satu minggu seperti biasanya,” Danu menarik tubuh Arumi dari pelukannya.
Danu melepas kaca mata Arumi lalu mengusap air matanya, setelah itu mengusap lembut rambut putrinya.
“Biasa Pa, kalau sudah manja seperti itu pasti ada kemauannya,” nyinyir Elisa yang tidak senang dengan kedekatan Arumi dengan papanya.
Arumi mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya, ia memakai kacamatanya.
“Sorry, itu bukan sifat gue. Mungkin itu sifat lo yang sok pura-pura baik tapi kenyataannya buruk,” cerca Arumi.
“Apa?” Elisa tertawa mendengar ucapan Arumi, yang kenyataannya memang benar namun dia menyangkalnya.
“Arumi, gue tahu lo kesal karena cowok incaran lo lebih suka sama gue. Tapi jangan terus jelekin gue didepan papa.”
“Siapa juga yang menjelekkan lo, lagian nggak ada hubungannya gue sama lelaki play boy itu.”
“Sudah, kalian berdua jangan bertengkat terus, ayo sarapan dulu mama sudah minta Bik Tini masak kesukaan kalian berdua,” ucap Sofi.
Arumi tersenyum melihat perubahan ibu tirinya seratus delapan puluh derajat dari semalam. Dia sangat manis ketika ada papanya.
“Ayo kita sarapan,” Danu merangkul Arumi dan juga Elisa mengajakknya ke meja makan.
Arumi menggunakan kesempatan ini untuk mengerjai ibu tirinya, dengan meminta dia melayani dirinya.
“Ma, Arumi mau nasi dong,” Arumi menyodorkan piringnya agar di ambilkan nasi.
“Baiklah,” ucapnya dengan senyum masam.
“Ma, ini kebanyakan. Mama mau buat aku gendut?” Arumi komplain saat Sofi mengambilkan nasi tiga centong besar ke piring Arumi.
“Sofi, ini kan masih pagi kenapa kamu beri Arumi nasi sebanyak itu. Bagaimana kalau dia ngantuk di sekolahan nanti,” tukas Danu.
Sofi menahan amarahnya dengan beberapa kali menghela napas pendek. Ia mengurangi porsi nasi menjadi seperempat dari awal.
“Ma, ini terlalu sedikit. Mana kenyang Arumi,” Arumi masih saja komplen.
“Arumi, lo tuh banyak tingkah banget sih. Pa, seperti ini Arumi setiap harinya memperlakukan mama. Tak hanya sama mama, sama Elisa pun seperti itu,” Elisa membalikan fakta.
“Elisa, mama nggak apa-apa. Memang seperti ini kan tugas seorang ibu,” ujarnya dengan senyuman lembut. Seakan hatinya lembut seperti seorang ibu kandung.
“Sudah-sudah jangan ribut terus, sekarang kalian cepat sarapan supaya tidak terlambat masuk sekolahnya,” kata Danu.
Danu tidak menghiraukan aduan dari Elisa dan juga Sofi yang membuat Elisa kesal karena tidak bisa membuat Arumi di marahi oleh ayahnya.
...*****l...
Elisa memikirkan cara untuk menurunkan dari mobil, dia tidak mau satu mobil sampai ke sekolah. Selain itu dia juga ingin mengerjai Arumi, hari ini pelajaran matematika. Bu Yani sangat membenci anak yang terlambat.
“Aduh, perut gue sakit Arumi. Bisa nggak lo tolong belikan obat,” Elisa akting pura-pura sakit dengan memegangi perutnya.
Arumi melirik, ia tak percaya begitu saja mendengar ucapan Elisa. Dia adalah pembohong handal jadi Arumi tidak akan tertipu.
“Pak, tolong kalau ada mini market atau apotik berhenti ya,” ucap Arumi.
“Ya Non.”
Elisa menarik ujung kiri bibirnya, upayanya telah berhasil untuk mengerjai Arumi.
Pak Harno memarkirkan mobilnya tepat di depan mini market, dia langsung melepas seatbeltnya.
“Pak Harno mau kemana?” tanya Elisa.
“Mau beli obat kan Non,” jawab Pak Harno.
“Biar Arumi saja Pak,” katanya dengan lemah seolah benar-benar sakit.
“Kenapa harus gue?” Arumi menyandarkan tubuhnya.
“Arumi, Pak Harno kan mengemudi jadi kasihan kan kalau harus pergi-pergi,” ujarnya.
“Nggak apa-apa kok Non, saya bisa,” kata Pak Harno.
“Biar Arumi saja Pak,” kata Arumi.
Arumi bukan mengalah, ia cuma mau lihat apa yang di rencanakan oleh Elisa sebenarnya. Seperti dugaannya, Elisa meninggalkan Arumi sendirian di mini market.
Arumi yang hanya masuk sebentar tanpa membeli barang langsung mencari ojek untuk membawanya ke ssekolah. Ia melihat jam di tangan yang menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh. Ia hanya memiliki waktu sepuluh menit untuk sampai ke sekolah sebelum bel berbunyi.
“Bang, ke sekolah Bina Bangsa ya,” kata Arumi sembari memakai helm yang di berikan oleh tukang ojek.
“Siap.”
“Bang ngebut ya, waktu gue sekarang tinggal tujuh menit,” ujar Arumi.
“Laksanakan,” ucap tukang ojek sembari gas motornya.
Motor yang di tumpangi Arumi melaju dengan cepat, tukang ojeknya sangat ahli. Di kemacatan pagi hari ini, dia bisa melewati dengan tenang dan sampai di sekolah tepat waktu.
“Sampai,” kata tukang ojek.
“Nih Bang uangnya, karena abang sudah menyelamatkan gue. Ini nggak usah pakai kembalian,” jelas Arumi dengan memberikan uang satu lembar seratus ribuan.
“Makasih Neng, besok-besok lagi,” jawabnya sembari mencium uang pemberian Arumi.
Arumi bergegas masuk ke kelas sebelum guru killer yang suka cari masalah itu datang. Arumi melangkahkan kakinya, ia melihat sekeliling kelas mencari keberadaan Elisa.
Arumi tersenyum, ia ternyata datang lebih dahulu di bandingkan Elisa yang meninggalkannya.
“Sepertinya, ini akan menjadi senjata makan tuan,” ucapnya sambil duduk.
“Lo ngomong apa?” tanya Bunga teman sebangku Arumi.
Hanya Bungalah yang mau duduk dengan Arumi, mereka hanya mengobrol seperlunya tidak banyak layaknya seperti teman yang akrab karena takut dengan Elisa dan juga Maura. Dia sering diancam kalau sampai menemani Arumi.
“Nggak apa-apa,” jawab Arumi.
Bunga menoleh ke belakang sebentar, “Lo sudah mengerjakan tugas matematika?” tanyanya hati-hati.
“Tugas?” Arumi mengerutkan keningnya.
“Ini, buruan kerjakan sebelum Bu Yani datang,” Bunga memberikan buku tugasnya agar disalin Arumi.
Sebenarnya tidak tega melihat teman sebangkunya sering dimarahi oleh Bu Yani karena sering tidak mengerjakan tugas matematika. Selain itu Arumi tergolong anak yang nilainya kurang dari rata-rata.
“Lo yakin memberikan ini sama gue?” Arumi mencurigai semua teman-temannya. Ia belum bisa mempercayai satupun orang di kehidupan barunya ini.
Bunga menoleh ke kanan dan ke kiri, mereka semua sedang sibuk sendiri-sendiri.
“Buruan, sebelum Bu Yani datang,” ujar Bunga lagi.
Arumi lekas menyalin tugas milik Bunga, entah dia baik beneran atau tidak Arumi belum mengetahuinya. Namun setidaknya dia bisa mengerjakan tugas yang di berikan oleh Bu Yani.
Keberuntungan sedang berpihak kepada dirinya, bel sudah berbunyi lima menit yang lalu namun Bu Yani masih belum masuk ke kelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Putri Minwa
mantap thor
2023-01-31
0