Perubahan

Pagi ini Arumi berangkat diantar oleh Pak Harno, Elisa yang sudah resmi menjadi pacar Fadli kini sering diantar jemput. Jadi dengan leluasa Arumi memakai fasilitas dari papanya.

Arumi yang sedang santai mendengarkan musik yang diputar oleh Pak Harno mendadak merasakan mobilnya oleng.

“Ada apa Pak?” tanya Arumi sembari melihat ke samping.

Belum sempat terjawab, mobil mulai hilang kendali. Arumi melihat mobil berwarna hitam terus memepet mobil yang di kendarai Pak Harno.

Pak Harno banting stir sehingga mengenai pembatas jalan, benturan keras seakan menarik tubuhnya sehingga membentur kursi di depan. Bunyi tabrakan keras yang memekakkan telinganya. Suara pecahan kaca seakan saling bersautan.

Mata Arumi melihat kepingan-kepingan kaca yang hancur, mulai menyerang tubuhnya. Tubuhnya terasa kaku, tenggorokkanya rasanya tersekat sampai tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

Apa ini akhir kehidupan gue lagi?

Dalam kedipan mata suara kegaduhan dari orang-orang yang datang menolong berdenging di telinga. Semua kekacauan mulai kabur dari pandangannya. Lalu, gelap dan seluruh kesadaranya menghilang.

...ΩΩΩΩ...

Semua keluarga sudah berkumpul di rumah sakit harapan, tak hanya keluarga Arumi Bunga dan Cio pun turut serta. Mereka ikut cemas dengan keadaan sahabat barunya.

Tangisan buaya dari Sofi mulai dijalankan untuk mendapatkan empati orang-orang. Terlebih sang suami, agar dia terlihat seperti ibu sambung yang baik hati.

Danu mendekat dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD. Wajah Danu tegang, saking tegangnya jantungnya seakan ingin meledak.

“Bapak serta keluarga yang lain tidak perlu khawatir, masa kritis anak bapak sudah lewat. Hanya cedera di kakinya. Selebihnya, hanya luka-luka ringan.”

“Terima kasih, Dok. Sudah menyelamatkan anak saya.”

“Terima kasihlah sama Tuhan, Pak. Karena semua ini berkat campur tangan-Nya.

Elisa mendengar Arumi masih terselamatkan merasa tidak senang, dia lebih bahagia kalau saja kakak tirinya itu meninggal dunia.

“Kenapa nggak mati sekalian sih,” ujarnya.

“Punya nyawa berapa anak cupu ini, kenapa bisa memiliki banyak keberuntungan.”

Bunga menoleh mendengar lontaran Fadli dan Elisa. “Apa lo lihat-lihat!” bentak Elisa.

Perlahan Arumi membuka matanya, tangannya langsung memegang dadanya. Dia merasakan detak jantungnya normal. Bibirnya tersenyum lemah.

Terima kasih Tuhan, aku masih diberikan hidup

“Sayang,” Danu memeluk Arumi erat.

“Arumi, lo baik-baik saja kan?” Elisa berganti memeluk Arumi. “Gue takut kalau lo sampai kenapa-napa.”

Bunga menyeringai saat mendengar ucapan Elisa, matanya terbuka lebih lebar. Tentang Elisa yang bermuka dua dan berhati busuk.

...ΩΩΩΩ...

Setelah lima hari Arumi di rumah sakit akhirnya Arumi diperbolehkan pulang.

“Arumi, gimana keadaan kamu?” tanya Bian.

“Baik, Dok,” jawabnya Arumi.

“Lo masih ingat gue kan?” Bian memastikan kalau Arumi mengingat dirinya. Karena saat ditanya jawabanya sangat formal seperti orang-orang pada umumnya yang tidak mengenal dekat dirinya.

“Dokter Bian, omnya Safira kan.”

“Ah, syukurlah kalau lo ingat.”

“Kamu kenal sama dokter Bian, nak?” tanya Danu yang lumayan dibuat kaget.

“Iya Pak Danu. Saya kenal Arumi karena dia telah menjaga keponakan saya waktu hilang di taman.”

Setelah bicara panjang lebar, mereka jauh lebih dekat. Bahkan Arumi diberikan kartu vip oleh Bian. Jadi bisa kapan pun datang menemuinya.

“Arumi,” pangil Bian.

“Iya ada Kak?”

“Lo mau saran dari gue nggak?” tanya Bian.

“Saran?”

“Iya, lo lebih cantik kalau nggak pakai kaca mata. Mau nggak ganti pakai softlens. Itu saran dari gue, lo jangan tersinggung ya.”

“Nggak lah Kak, makasih ya sarannya. Sepertinya papa sudah selesai mengurusi semuanya. Arumi pulang dulu.”

“Ok, hati-hati.”

...ΩΩΩΩΩ...

Baru juga setengah hari di rumah Arumi sudah keluyuran. Setelah mendengar saran dari Bian, Arumi merasa dia harus merombak penampilannya. Bukan dari kacamatanya saja melainkan seluruh penampilannya.

Arumi pergi ke salon selesai membali softlens, dia ingin mengubah potongan rambutnya. Agar terlihat fresh dan tidak cupu lagi. Niatan dia kali ini adalah merebut ketenaran Elisa. Arumi memilih potong rambut pendek sebahu tanpa poni.

Arumi juga berniatan merayu Fadli, penghinaan di lapangan basket,penyekapan hari itu. Akan di perhitungkan oleh Arumi.

Pagi ini sengaja Arumi tidak ikut sarapan, dia ingin pergi ke sekolah diam-diam dengan penampilan barunya. Dia ingin memberikan kejutan kepada Elisa.

Arumi melenggak-lenggokan tubuhnya seperti cewek lembut. Bibir manisnya terus tersenyum. Dia sengaja menebar pesona kepada semua teman-teman di sekolahnya.

Bisik-bisik pujian terlontar dari murid-murid yang melihatnya. Arumi sangat puas dengan perubahannya.

“Arumi? Lo beneran Arumi?” Cio memutarkan tubuh Arumi dua kali.

“Iya ini gue, kenapa sih?”

“Sumpah, lo cantik banget Rum,” Bunga melihat dari atas ke bawah. Mulut Bunga melongo melihat perubahan Arumi.

Arumi mengangkat dagu Bunga pelan, sehingga mulutnya tertutup.

“Biasa saja ngelihatinya. Nggak usah lebay.”

“Tapi lo beneran cantik Rum,” kata Cio.

“Makasih.”

"Bunga, Cio, nanti lo ikut gue ya sepulang selolah."

"Mau ke mana?" tanya Bunga.

"Kalian berdua sepertinya juga harus merubah penampilan."

"gue juga?' Cio menunjuk dirinya. Arumi menganggukan kepala.

Kedua mata Elisa seakan copot melihat perubahan drastis dari Arumi. Dia berpikir mungkinkah kejadian tabrakan itu menyadarkan otaknya kalau dia itu cupu. Sehingga mengubah penampilannya.

“Rum, lo dapat ilham ya sampai-sampai lo mengubah penampilan lo setelah kecelakaan?” cerca Ferdi.

“Cantik banget,” puji Rio.

“Heleh, cantik kalau busuk juga buat apa? Lagian mau lo permak wajah lo seribu kalipun, nggak akan bisa menandingi wajah cantik alami Elisa,” sahut Maura.

“Lo jangan seperti itu Maura, kasihan kan Arumi yang sedang ingin memperbaiki diri. Gue takut down, nanti gue lagi yang disalahin,” kata Elisa sok sedih.

“Nggak usah pura-pura sedih begitu. Enek lihatnya.’ Arumi menjulurkan lidahnya, rasanya mau muntah mendengar suara Elisa yang dibuat-buat sok manis.

“Lihat, mulutnya itu jelek. Nggak akan bisa lo tandigin Elisa.”

“Gue nggak mau menandingi. Tapi kalau merasa tersaingin ya bodo amat sih gue.” Arumi berjalan ke kursinya, Bunga tersenyum lebar mendengar sang pembully kalah bicara.

Dada Elisa terasa panas, melihat teman-teman sekelasnya mengerubungi Arumi. Mereka berebut mau menjadi teman Arumi.

"Ini nggak bisa dibiarkan," ujarnya.

"Lo mau kita bantu apa?" kata Maura.

Elisa diam, dia sedang memikirkan cara untuk menjatuhkan Arumi kembali.

"Biarkan dia senang dulu, gue akan pikirkan caranya." kata Elisa.

"Ok, kita siap menunggu perintah."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!