Arumi pergi ke gudang yang ada di ujung belakang sekolahnya. Elisa mengirim pesan agar dia menemuinya di sana. Awalnya Arumi tidak menanggapi, tetapi dia mengancam akan mengadukan kepada papanya.
Arumi melangkah perlahan tapi pasti, dia melihat sekeliling gudang. Menganalisis keadaan sekitar sembari menunggu kedatangan Elisa. Arumi mengirimkan pesan agar Bunga menunggunya.
Arumi mencoba menghubungi Elisa karena tak kunjung datang, baru saja dia menempelkan ponsel di telingannya seseorang menarik dirinya dengan membungkamnya.
Arumi berusaha berontak, namun sayang dia lebih kuat. Di tambah lagi, obat bius yang ada di sapu tangan itu membuat tenaganya melemah. Semakin lama matanya tak kuat terbuka, dan melemah.
Fadli menarik masuk Arumi ke gudang, dia sudah mempersiapkan semuanya. Namun saat dia membuka pintu gudang ketahuan oleh Maura dan Dina.
“Fadli, lo ngapain?” tanya Maura.
“I-ini, tadi dia mengajak gue ketemu. Eh, tiba-tiba pingsan.” Fadli mengantongo sapu tangannya.
“Ya sudah tinggalin saja di situ, ngaapain di gendong-gendong kesenangan dia tahu,” Maura menarik tangan Arumi agar dilepaskan oleh Fadli.
“Fadli, lo nggak bunuh Arumi kan?” tanya Dina mendadak. Dia takut kalau ternyata Fadli membunuh Arumi karena membencinya.
“Nggak, lo bisa cek deh nadinya,” Fadli gugup.
“Lo sembarangan saja deh kalau ngomong, memangnya Fadli orang jahat apa pakai membunuh. Lagian apa untungnya membunuh manusia tidak berguna ini,” Maura memarahi Dina yang ngomong sembarangan.
“Ya siapa tahu, gue pokoknya nggak mau ikutan loh.” Dina angkat tangan. Sejahat-jahatnya Dina, dia tidak mau terlibat kasus pembunuhan.
Fadli dengan cepat menaruh Arumi di lantai, dia tidak mau mendapatkan masalah.
“Gue cabut deh.” Fadli meninggalkan Maura dan Dina yang masih berdebat.
“Pergi yuk Ra, gue nggak mau lho terkena imbasnya kalau Arumi kenapa-kenapa,” ujar Dina.
“Eh, tunggu dulu deh,” Maura masih belum mau pergi.
“Tunggu apa lagi Ra? Nanti keburu ada yang datang.”
“Gue punya ide.” Maura menatap Dina dengan mulut yang tersenyum lebar, serta mengangkat kedua alisnya.
“Ide apa?”
“Kita foto dia bugil, lalu kita ancam buat kita sebarkan kalau dia nggak mau menuruti kita.”
“Ra, itu sudah keterlaluan nggak sih?” Dina ragu dengan ide Maura.
“Udah deh, lo nggak usah banyak omong. Sekarang lo lucuti seragam dia,” ketus Maura karena Dina tidak sepenuhnya mendukung idenya.
Dina mulai membuka satu persatu kancing seragam Arumi. “Buruan Din, lama amat sih lo,” kata Maura.
“Sabar kali Ra.”
“Kalian apain Arumi!” seru Bunga yang sudah di belakang Maura.
“Yaelah, si cupu satu ini mengganggu saja,” Maura menarik tangan Bunga lalu mendorong hingga jatuh di samping Arumi.
“Wah, seru ini dapat dua mangsa sekalo gus,” kata Dina setelah selesai membuka kancing baju Arumi.
“Kalian memang nggak punya hati, apa salah Arumi sama kalian?” tanya Bunga.
Dina memegang dagu Bunga kasar. “Buka juga seragam lo!”
“Nggak!” seru Bunga dengan memegangi dadanya.
“Lo buka, atau gue buat lo seperti Arumi!” Maura menarik rambut Bunga.
“Ra, sakit!” pekik Bunga.
“Buruan buka atau --,”
“Atau apa?” tanya Cio.
Cio yang sedang merokok di belakang sekolah merasa terganggu dengan suara yang berisik. Rasa penasarannya membuat dia melangkahkan kakinya dengan cepat ke area sumber suara.
“C-cio,” Maura berdiri lalu menyimpan ponselnya di belakang punggungnya. “lo ngaapain di sini?” tanyanya dengan gugup.
“I-iya, kok lo bisa ada di sini?” Dina ikut berdiri. Mereka berdua berusaha menutupi Arumi dan Bunga.
“Gue yang tanya sedang apa kalian di sini?” tanya Cio dengan tatapan yang mengerikan.
“Ki-ta, sedang main-main saja. Iya kan Din,” Maura menoleh kearah Dina.
“I-ya, kita main-main saja kok.” Dina tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Cio, dia merekam Arumi tanpa baju,” Bunga memberaikan diri utuk membuka suara. Meskipun dia tahu Cio belum tentu berpihak kepadanya.
“Diam lo Bunga!” seru Maura.
“Jangan asal menuduh,” tambah Dina.
“Apa yang lo sembunyiin di tangan lo?” Cio melihat kearah tangan Maura yang masih di belakang punggungnya.
“Ini hp gue,” ujarnya sambil mengangkat ponselnya.
Cio mengambil dari tangan Maura, dia melihat ke galeri.
“Cio, kembalikan ponsel gue.” Maura berusaha merebutnya, tetapi Cio mengangkatnya tinggi-tinggi dan menghapus semua foto dan video Arumi sampai ke akar-akarnya sehingga dia tidak bisa memulihkannya.
“Cio, apa-apaan sih lo!” Bentak Maura.
“Lo yang apa-apaan, memangnya pantas lo melakukan ini kepada teman lo sendiri?”
“Sejak kapan si cupu ini menjadi teman gue, sebenarnya apa yang merasuki otak lo. Sampai mau membela cewek culun ini, lo suka sama dia?” cerca Maura.
“Cio, lo bilang suka sama Maura. Tapi kenapa lo memilih membela dia. Cinta lo palsu!” dengus Dina.
“Sorry, nggak lagi. Sekarang lo pergi atau gue buat kalian berdua telanjang!” usir Cio.
Maura dan Dina langsung kabur, Cio sudah tidak dalam kendali Maura lagi. Dia pasti akan nekat seperti saat dia meminta menghajar Arumi.
“Apa Arumi sudah memakai bajunya?” tanya Cio sembari membalik badanya ke belakang.
“Sudah,” ujar Bunga saat selesai memakaikan kancing seragam Arumi.
Cio jongkok lalu menggendong Arumi. “Lo tahu rumah Arumi nggak?” tanya Cio.
“Tahu,” jawabnya cepat.
“Oke, sekarang kita antar pulang Arumi.”
“Iya.”
*****
Arumi mengerjab-ngerjabkan kedua matanya saat dia tersadar. Arumi langsung terduduk saat tahu berada di dalam mobil.
“Siapa lo?”
“Rum, tenang ini gue Bunga sama Cio,” Bunga menoleh ke belakang.
Arumi menghela napas panjang, dia sudah panik takut di culik. Rasa trauma masih tersisa di hati, mengingat sangat lama dia di kurung di tempat yang lembab. Meskipun sudah beda dunia, namun rasanya masih terasa nyeri.
“Rum, lo tadi chat gue mau ketemu Elisa kan. Kok bisa ada Maura sana Dina di sana?” tanya Bunga.
“Maura sama Dina?” tanya Arumi balik. Seingat dia, hanya ada fadli. Dia yang membuat dirinya tak sadarkan diri.
“Iya, untung saja tadi ada Cio. Kalau nggak lo sama gue sudah di telanjangin. Dan akan di sebaar luaskan.”
“Thanks ya Cio,” kata Arumi.
“Sama-sama, Rum, sebagai balasan hari ini, boleh nggak gue minta jadi anak buah lo.” Cio melihat dari spion depan.
“Ana buah?” Arumi tertawa.
“Lo kenapa tertawa?” Cio bingung.
“Cio, gue ini bukan siapa-siapa. Lagian kenapa lo mendadak mau menjadi anak buah gue. Lo nggak sedang merencanakan sesuatu kan?” Arumi menatap Cio.
“Nggak Rum, gue beneran mau berteman sama lo.”
“Baiklah, kita berteman saja. Gue lebih suka berteman daripada menjadi bos lo,” kata Arumi.
“Beneran lo?”
“Apa gue terlihat seperti orang bohong?”
“Nggak kok,” Cio merenges. Dia senang bisa berteman dengan Arumi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments