Arumi menatap parkiran mobil Fadli yang sudah terparkir di halaman rumahnya.
“Lo sama Elisa beneran kaka k adik?” Cio menoleh ke arah Arumi.
“Ya, Elisa adik tiri gue,” jawab Arumi masih memandangi mobil Fadli. Otaknya masih berputar memikirkan apa yang ingin di perbuat oleh Fadli kepadanya.
“Tapi kenapa Elisa selalu memperlakukan buruk sama lo, apa di dalam rumah seperti kisah cinderella?” tanya Bunga.
Arumi terkekeh mendengar pertanyaan Bunga. “Bisa dibilang seperti itu. Tapi dulu, sekarang cinderella sudah pandai,” ucapnya sambil menatap Bunga dan Cio bergantian.
“Rum, lo bisa kok telepon gue sewaktu-waktu butuh bantuan. Gue ready dua puluh empat jam.”
“Iya Rum, lo jangan sungkan kalau mau cerita sama gue. Kita lebih tepatnya, kan sudah sahabatan,” ujar Bunga.
“Iya, makasih ya. Gue masuk dulu ya. Hati-hati kalian, Cio lo anteri Bunga sampai rumah lho. Jangan turunin di jalan,” goda Arumi.
“Iya Rum, iya, meskipun tampang gue berandalan pantang menurunkan cewek tengah jalan.”
“Good boy.” Arumi mengangkat kedua jempolnya.
Arumi masuk ke rumah setelah mobil Cio menghilang dari pandangannya. Sejak dari halaman pandangan Arumi sudah tertuju pada Fadli.
Fadli mendadak belingsatan, meskipun dia yakin Arumi tidak melihatnya namun dia mendadak tidak enak melihat tatapannya yang tajam.
“Ngapain lo lihatin Fadli?” sewot Elisa yang baru saja membawa keluar minuman untuk Fadli.
“Siapa juga yang ngelihatin Fadli, bikin sakit mata saja,” kilah Arumi.
“Ngaku saja lo itu iri kan sama gue, karena Fadli memilih gue. Ah, dan pastinya memang harus pilih gue, ya kali pilih lo yang culun ini,” ejak Elisa.
“Gue juga nggak minat sama cowok brengsek ini, beraninya main belakang,” ucap Arumi dengan melirik Fadli.
“Maksud lo apa mengatakan Fadli brengsek!” bentak Elisa sambil mengguyur es sirup ke tubuh Arumi.
Arumi masih saja tersenyum. “Fadli, lo yakin mau sama Elisa. Dia itu bukan malaikan seperti yang lo lihat. Eh, gue lupa lo kan sama kayak Elisa, jadi cocok deh kalau kalian bersama.” Arumi tersenyum lebar, lalu masuk.
“Arumi!” teriak Elisa. Dia ingin sekali menjambak rambut Arumi.
“Sayang sudah sayang, jangan diladenin lagi. Kita pikirkan cara lain untuk menyingkirkan dia,” ujar Fadli.
“Kenapa tadi bisa gagal sih?” tanya Elisa kesal.
“Tadi Maura sama Dina tiba-tiba datang.”
Arumi melipat kedua tangannya di dada. “Jadi ini benar-benar ulah kalian berdua. Baiklah permainan akan segera di mulai,” kata Arumi pelan.
“Arumi ngapaiin kamu di sini?” tanya Danu. “Baju kamu kenapa?”
“Itu Pa tadi Elisa --,”
“Pa, papa makannya sudah siap. Yuk kita makan dulu, biar aku ajak Elisa sama temannya,” kata Sofi mengalihkan perhatian Danu.
“Arumi, kamu buruan ganti baju ya. Kita tunggu di meja makan,” ujar Sofi lagi sembari membawa sang suami ke meja makan.
“Mak lampir panik amat,” gumam Arumi sambil tersenyum.
*****
Elisa sudah mulai kesal karena Arumu tidak kunjung datang.
“Pa, Ma, Arumi ke mana sih. Lama banget, nggak tahu apa di tungguin dari tadi.” Elisa menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi sembari melipat kedua tangan di dadanya.
“Bik, Bik Tini tolong panggilkan Arumi,” pinta Sofi.
“Baik nyonya.” Bik Tini bergegas pergi ke kamarnya Arumi.
Arumi membuka pintu saat Bik Tini hendak mengetuk. “Non, sudah di tungguin Tuan sama yang lain.”
“Iya Bik, makasih ya.”
Arumi menuruni tangga dengan santainya, dia menahan senyuman saat melihat wajah kesal Elisa.
“Lo ngapain sih lama banget, kasihan kan Fadli tunggu terlalu lama,” celotehnya.
“Ya kan ini salah lo sendiri, kalau lo nggak siram gue pakai air sirup. Gue juga nggak akan mandi.”
“Elisa!” sentak Danu.
“Nggak Pa, itu tadi salahnya Arumi. Arumi terus mengincar Fadli, padahal jelas-jelas dia sudah menolaknya,” kata Elisa.
Danu menoleh ke arah Arumi, meminta penjelasan dari Arumi.
“Siapa juga yang suka, orang surat itu juga bukan gue yang buat,” Arumi mengambil nasi.
“Nggak mungkin, jelas-jelas itu tertulis nama lo!”
“Sudah sayang, sudah. Jangan di ungkit lagi," kata Fadli tidak enak menjadi bahan rebutan di depan kedua orang tua Elisa dan Arumi.
Elisa menarik napas dalam-dalam, sedangkan Arumi santai. Dia sudah mulai makan terlebih dahulu.
Gue akan buat lo nggak nyaman mulai sekarang dengan keberadaan gue.
Fadli menundukan kepalanya, dia menjadi panik. Makan pun tidak enak.
"Kalian ini teman atau pacaran?" tanya Danu.
"Pacaran Pa," jawab Elisa cepat.
"Nama kamu siapa?" tanya Danu.
"Fadli Hermawan, Om."
"Pa, papanya Fadli itu pemilik perusahaan Adi Cipta," Elisa memperkenalkan Fadli di depan ayahnya.
"Pa, weekend ini Arumi mau pergi liburan ya," kata Arumi sebelum papanya menjawab pertanyaan Elisa.
"Mau ke mana?"
"Karimun jawa, atau luar negeri."
Elisa meremas gagang sendok yang dipegangnya, dia sedang mempromosikan Fadli supaya direstui hubunganya malah diganggu.
“Pa, harusnya papa itu hukum Arumi bukan malah diajakin liburan.” Elisa menaruh sendok kasar.
“Kenapa juga gue harus dihukum. Bukanya lo yang harusnya dihukum karena ikut serta pengurungan gue,” Arumi menatap Elisa lalu Fadli bergantian. Bibirnya tersenyum penuh arti.
“Penyekapan apa?” wajah Danu berubah serius.
“Elisa juga nggak tahu Pa. Semakin lama Arumi semakin aneh,” katanya gugup.
Fadli belingsatan, dia pikir Arumi tidak tahu siapa yang melakukanya karena sebelum Maura dan Dina masuk dia sudah pingsan.
“Arumi, jelaskan sama papa,” Danu meminta kejelasan.
“He-he, cuma main-main kok pa. Masih terbawa saja Arumi. Tadi di sekolah ada permainan penjahat sama polisi. Dan Arumi yang jadi tahananya,” ujar Arumi.
Hati Fadli lumayan lega, Arumi tidak jadi mengatakan hal yang sebenarnya. Meskipun begitu keringatnya tak bisa berhenti keluar. Dia tidak bisa menebak Arumi yang sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments