Kematian Bu Yani

Napas Bu Yani tersengal-sengal, dia masih terus berlari menuruni tangga untuk segara sampai di lantai satu. Menemui satpam atau siapaun di bawah yang bisa membantunya.

Derap langkah kaki terdengar nyaring di malam yang sepi, ketakutan semakin menyeruak dalam dirinya. Kaki semakin berat untuk melangkah.

“Tolong!” teriaknya sekuat tenaga. Hanya pantulan suaranya yang kembali terpantul. Tidak ada sahutan dari siapa pun sehingga dia merasa berada di tempat yang kosong.

Bu Yani sudah tidak kuat berlari lagi, orang yang mengejarnya semakin dekat.

“Siapa kamu!” teriaknya dengan tangan gemetar.

“Siapa aku tidak penting, yang terpenting sekarang hidupmu di ujung kematian!” cemoohnya.

Tawanya menggelegar, dia mencekik leher Bu Yani sampai susah bernapas.

“Jangan bunuh aku! Ampun aku!” ucapnya dengan susah payah.

“Jangan bunuh?” katanya meledek.

“Iya, akan aku lakukan apapun asal kau melepaskan aku,” Bu Yani mencoba menawar dengan orang berbaju hitam, dengan tudung dan topeng malaikat maut.

“Apa yang kau tawarkan, perempuan tua!” gumamnya.

“Apa pun. Aku akan melakukan apa pun,” katanya gagap.

“Baiklah, ikut aku ke rooftop,” ajaknya.

“Ro-rooftop?” ucapnya gemetar.

“Iya, aku tidak akan membunuhmu,” suaranya melemah. Seakan menyatakan kalau dia setuju dengan tawaran Bu Yani asal dia mengikuti perintahnya.

“Ok.”

Bu Yani berjalan lebih dahulu, sesekali dia menoleh ke belakang. Dan orang itu masih mengikutinya dengan sebuah pisau yang sangat tajam.

Dia ingin lari tapi takut kalau mendadak pisau itu dihunuskan di tubunnya. Dia akan mati sia-sia setelah deal dengan tawar menawarnya.

Bu Yani dan orang bertudung hitam itu berada di rooftop, mereka berjalan di sampai tepi.

“Bagaimana temapat ini?” tanya orang bertudung hitam.

“Ba-bagus,” ucapnya bergemetar.

Orang bertudung hitam itu menari Bu Yani naik di tepi sehingga bisa melihat halaman hotel.

“Sekarang bagaimana?” tanyanya lagi.

“Kau berjanji akan melepaskanku, kenapa membawaku naik?” Bu Yani menatap bawah sekilas lalu ke depan lagi. Kakinya sudah terasa lemas, dia takut tejatuh.

“Aku akan melepaskanmu, tapi mereka bagaimana?” ujar orang bertudung.

Dia memperlihatkan video anak-anak yang berlari ke rooftop, lalu menjatuhkan diri. Semua itu karena ulah Bu Yani yang memaki dan membully karena nilainya jelek. Orang itu juga menunjukkan beberapa murid yang gila karenanya.

“Mereka bilang, tidak mau mengampunimu. Nyawa harus bayar nyawa. Mereka sudah menunggumu bu guru,” orang itu terus berjalan mendekati Bu Yani.

Dengan kaki gemetar Bu Yani mundur, pisau yang mengkilap itu tidak boleh menggores dirinya.

“Ibu bukan salahku, tapi mereka yang bodoh!” seru Bu Yani. Di ujung kematianya pun dia tidak mau mengakui kesalahanya.

Orang itu mencekek leher Bu yani, mengangkatnya dengan sangat kuat seperti dia mengangkat ayam potong.

“Ajalmu sudah tiba, guru biad*ap!” Ujarnya di bubuhi tawa.

Bu Yani meronta, saat terlepas dia sudah melayang di udara. Dalam sedetik dia sudah bisa melihat darah yang memenuhi halaman hotel. Napsnya tersendat, tak lama semua yang dilihatnya gelap.

*****

Elisa mulai panik saat panggilanya tak kunjung dijawab oleh Bu Yani. Setelah lebih dari 10 panggilan yang dilakukannya.

“Bagaimana?” tanya Fadli.

Elisa menggelengkan kepala, hatinya mulai was-was ada apa-apa dengan Bu Yani.

“Coba sekali lagi, mungkin sudah tidur?” suruh Fadli.

Elisa mengangguk lalu menghubungi nomor Bu Yani lagi.

“Halo, Buk. Bu Yani tidak apa-apa kan?” cerocos Elisa saat panggilanya tersambung.

Sekian menit panggilan berjalan tetapi tidak ada suara. Elisa terus memanggil-manggil nama Bu Yani semakin panik.

“Kamu selanjutnya,” katanya lirih tapi terdengar mengerikan. Elisa melepar ponselnya ke sembarang tempat.

Jantungnya berdegup kencang mendengar ancaman yang dari ponsel Bu Yani.

“Elisa ada apa?” Maura mengambil ponsel Elisa.

“El, katakan ada apa?” Fadli memeluk Elisa yang ketakutan.

“Itu ...,” Elisa menunjuk ponselnya.

Maura melihat layar ponsel Elisa, panggilan sudah terputus.

“Bu Yani sudah mematikan teleponnya,” ujarnya seraya memperlihatkan ponselnya.

“Itu bukan Bu Yani, orang itu yang meneror Bu Yani. Dia bilang akulah selanjutnya,” kata Elisa ketakutan.

Fadli mengambil ponselnya lalu menghubungi nomor Bu Yani, akan tetapi tidak mendapatkan jawaban. Nomornya sudah tidak aktv.

“Sial!” makinya.

Fadli merasa tertantang oleh orang yang mulai menerornya. Kejadian ini bukan main-main lagi.

“Kita harus bagaimana sekarang?” tanya Elisa.

“Kita temui Bu Yani sekarang, gue takut kalau Bu Yani ada masalah.” Fadli mengambil kunci mobilnya.

Dalam waktu 45 menit mereka bertiga sudah sampai di hotel, mereka kaget melihat hotel yang begitu ramai. Garis polisi sudah di pasang sehingga mereka bertiga sudah tidak bisa masuk.

“Pak, ada apa ini?” tanya Fadli.

“Ada orang lompat dari rooftop.” Satpam menunjuk ke atas.

“Siapa Pak?” tanya Maura.

“Seorang perempuan, tapi belum diketahui identitasnya,” tukasnya.

Elisa mencoba menghubungi ponsel Bu Yani lagi. Memastikan kalau Bu Yani dalam keadaan baik-baik saja.

“Halo Buk ...”

Belum selesai bicara Elisa sudah di potong yang menjawab teleponnya.

“Maaf, ini siapa? Kamu dari pihak kepolisian.”

Elisa lemas tangannya langsung terjatuh, jantungnya berdebar cepat. Pikiranya sudah melalang buana saat tahu yang mengkat panggilnya adalah polisi.

“Ada apa El?” tanya Maura.

Elisa terdiam, kaku tak bisa berkata. Jika benar yang jatuh dari rooftop itu Bu Yani. Berarti ancaman dari telpon itu tidak main-main.

Fadli mengambil teleponnya, lalu menepelkan di telinganya.

“Halo,”

“Kalian ada hubungan apa dengan yang memiliki ponsel ini?”

“Kami muridnya, Pak. Hari ini kami mau ada bimbingan belajar, apakah guru saya sedang bersama bapak?”

“Kita bisa ketemu dan bicara?” tanya polisi.

“Iya Pak, saya sedang ada di depan hotel.”

Dua polisi mendatangi Fadli, Elisa dan Maura. Mereka menjauh dari keramaian yang ada.

“Apakah yang melompat dari rooftop adalah guru kami?” tanya Maura ragu-ragu.

“Benar, apakah kalian mengetahui sesuatu tentang guru kalian. Mungkin masalah pribadi atau sesuatu yang membuatnya frustasi dan melompat?” tanya polisi.

Elisa memandang Fadli yang langsung mendapat anggukan kepala.

“Sebelum ini guru saya mendapatkan sebuah teror, kami ada buktinya.” Elisa menunjukkan bukti foto-foto yang dia ambil di rumah Bu Yani.

“Selain itu?”

“Sebelum ke sini saya mendapatkan telepon ancaman dari orang yang menggunakan ponsel Bu Yani,” jelas Elisa.

“Baiklah, terima kasih atas informasinya. Anda akan kami jadikan sebagai saksi. Dik, kamu harus waspada laporkan kepada polisi kalau merasa ada yang tidak beres atau orang yang mencurigakan,” jelas Polisi.

“Baik Pak.”

“Terima kasih waktunya.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!