Serangan Balik

Suara benda jatuh membuat di depan rumah membuat Bu Yani kaget, dia langsung berlari keluar. Amplop coklat ukuran tanggung tergeletak di depan pintu.

Kedua mata Bu Yani melotot melihat isi dalam amplop. Ini bukan seperti yang dia harapkan.

“Apa maksudnya ini!” Bu Yani membanting amplop di depan Elisa dan Fadli.

Elisa melongo. ”Kenapa ini jadi foto kita.”

Elisa melihat keseluruhan isi foto yang ada di dalam amplop. Fadli pun ikut melihat hasil foto yang dikirim. Yang mereka dapatkan bukan foto Arumi dengan Desta dan Anton melainkan foto mereka berdua.

“Kalian berdua bekerja tidak becus!” bentak Bu Yani.

“Buk, kami berdua kemarin sudah melakukan sesuai rencana. Bahkan kami sudah membawa masuk Arumi ke kamar.” Elisa mencoba menjelaskan dia tidak mau di salahkan.

“Tapi hasilnya?” Bu Yani menatap kedua anak didiknya dengan kesal.

“Ini ada yang aneh, pasti Arumi tidak sendirian,” ujar Fadli, dia mulai memahami situasinya.

“Benar Buk, saya jelas-jelas mengantar Arumi sampai di kamar.”

Bu Yani duduk di kursi gabung bersama mereka berdua, dia mengangguk-angguk.

“Ibu pikir seperti itu, kemarin setelah kalian pulang ibu mendapat teror,” Bu Yani menceritakan kejadian sore itu.

“Kita harus lebih hati-hati saat bertindak,” kata Fadli.

“Elisa, kamu satu rumah dengan Arumi. Sebisa mungkin kamu cari informasi,” kata Bu Yani.

“Baik Buk.”

*****

Elisa bersama Fadli mencoba untuk berteman dengan Arumi. Dia datang dengan senyuman malaikat palsunya sesuai perintah dari Bu Yani.

“Rum, bisa kita berdua gabung?” tanya Elisa, pandanganya menjurus kearah Arumi yang sedang makan.

“El, yang benar saja lo mau bergabung sama mereka. Nggak level tahu,” Maura yang mendengarnya tidak suka.

“Maura mending lo cabut,” usir Fadli.

“Kenapa kalian mau gabung, hidup kalian sudah tidak tenang kah?” Cio menatap Elisa dan Fadli bergantian.

“Maksud lo apa Cio?” Fadli menatap Cio tajam, sedangkan Cio membalasnya dengan senyuman.

“Udahlah, balik saja. Niat baik kita ternyata tidak disambut oleh mereka.” Fadli menarik tangan Elisa untuk mencari tempat lain.

“El, Elisa, kalian boleh kok duduk sini. Kalian jangan seperti itu dong sama adik gue.” Arumi menarik tangan Elisa untuk duduk bersama.

Fadli menggelengkan kepalanya agar Elisa tidak ikut duduk gabung sama mereka.

“Sepertiya kita nggak jadi gabung dulu. Teman-teman kalian nggak welcome sama kita.”

Elisa pergi bersama Fadli untuk gabung sama Maura dan Dina. Arumi berjalan mendekati Elisa.

“El, gue mau ucapin makasih sudah ajakin gue nongkrong. Lo itu emag adik gue yang paling baik.” kata Arumi membuat Maura hampir menyemburkan makananya yang sedang di kunyah.

“Kalian nongkrong bareng?” Maura menunjuk Arumi dan Elisa bergantian. Dia tidak percaya Elisa mengajak Arumi yang cupu.

“Nggak salah lo El?” Dina menatap Elisa.

“Kenapa sih memang kalau Elisa ajakin gue?”

“Nggak sadar diri lo, El hati-hati yang ada dia mau ambil Fadli dari lo lagi,” tuduh Dina.

“Gue nggak suka sama Fadli, lagian dia bukan tipe gue.” ucap Arumi sembari menatap Fadli.

Fadli menetap lekat gadis cupu dihadapannya, dadanya bergemuruh. Dia tahu kalau Arumi merencanakan sesuatu, ingin sekali dia langsung menghabisinya.

“Sorry deh, sepertinya gue mengganggu makan siang kalian. Gue permisi dulu.” Arumi meninggalkan meja mereka.

Fadli menggenggam tangan lalu memukulkan tangannya di meja.

“Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya.

“Memangnya ada apa?” Maura bingung.

“Mereka sedang mempermainkan kita,” ujar Fadli seraya menoleh ke samping, kedua matanya pun berpandangan dengan Cio. Cio mengangkat jari tengah dan telunjuknya, seperti gerakan hormat.

“Gue rasa Arumi berani karena Cio berpihak padanya,” Dina ikut melihat ke arah meja Arumi.

“Maura, Cio kan suka sama lo. Bisa nggak lo gaet dia dan bawa di ke pertemanan kita,”pinta Elisa.

Elisa akan membuat Arumi kehilangan teman-temannya lagi, akan mengembalikan keadaan seperti dulu. Semua berpihak kepadanya lagi.

“Tapi gue nggak suka sama Cio,” Maura malas, dia sudah capek menghadapi Cio yang terus mengejarnya.

“Maura, gue tidak meminta lo suka sama dia. Ajaklah dulu, lo bisa hempaskan dia setelah Arumi pergi dari sekolah ini,” bujuk Elisa.

“Lo nggak suka kan Arumi ada di sekolah kita. Berkorbanlah sedikit,” tambah Fadli.

“Baiklah, akan gue coba.”

*****

Maura menarik napas dalam-dalam, dia mengesampingan ilfilnya agar bisa dekat dengan Cio.

“Cio,” panggil Maura  yang hanya mendapat lirikan Cio.

“Cio, lo kok diam saja sih gue panggil.” Maura menggoyangkan lengan Cio.

“Lo mau apa?” Cio menghempas pelan tangan Maura.

“Kok lo gitu sih, lo masih marah ya karena gue tolak.” Maura memasang wajah melas yang justru membuat Cio jijik bukan kasihan.

“Memangnya kenapa gue marah, dulu itu gue masih bego. Mencintai orang yang tidak pantas buat gue,” kata Cio yang mampu menyulut emosi Maura.

Maura menahan diri untuk tidak marah, dia harus bisa membawa Cio. Dan membuat dia membenci Arumi lagi.

“Soal itu gue minta maaf karena menyia-nyiakan perasaan lo. Bagaimana kalau kita mulai dari awal lagi,” ucap Maura dengan mata yang berbinar.

“Gak salah dengar gue?”

“Nggak Cio, gue beneran menyesal.” Maura semakin menggebu-gebu untuk meyakinkan Cio.

“Lo masih percaya itu Cio?” Bunga berdiri di samping Cio yang sejak tadi berdiri bersandar di motornya.

“Nggak usah ikut campur lo!” bentak Maura. Emosinya akhirnya bisa tersalurkan setelah dia tahan sekian menit.

“Santai aja nggak usah teriak-teriak Maura,” sahut Arumi yang sedang berjalan ke arah mereka dengan santai.

“Cio, nomor gue masih sama. Kita lanjut saja via wa,” Maura pergi, dia menabrak bahu Arumi.

“Gue nggak melarang lo dekat sama siapa saja Cio, hanya saja gue tidak suka lo menyukai Maura,” tukas Arumi.

Arumi tidak menyukai Maura bukan karena dia yang memusuhi dirinya. Melainkan untuk Cio sendiri, dia tidak mau kalau sahabatnya itu dimanfaatkan terus oleh Maura.

“Tentu saja tidak, sudah cukup penderitaan gue,” jawab Cio.

“Bagus deh, gue pikir lo bakalan balik lagi sama manusia jahat itu,” Bunga lega mendengar jawaban Cio.

“Oiya Rum, foto mereka mau diapakan?” tanya Cio.

“Lo sudah cetak?” tanya Arumi.

“Sudah.” Cio memberikan amplop ukuran tanggung seukuran foto.

Arumi tersenyum melihat hasil kerja anak buat Elisa yang berkhianat padanya.

“Kalau saja gue kasih tahu papa, pasti dia akan dikeluarkan dari rumah,” Arumi melihat satu persatu hasilnya.

“Kasih saja Rum, hidup lo pasti akan jauh lebih tenang," saran Bunga.

"Buat dia miskin, dan tidak bisa bergaya seperti ini."

“Belum waktunya papa gue tahu, mereka harus merasakan menjadi bawang putih dulu,” ujar Arumi seraya memasukan foto ke tasnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!