Keliru: Nyasar Di Hati Yang Benar
Zaya mengikuti langkah ibunya, dengan kebaya putih dan jarit yang sudah melekat di tubuh, serta riasan yang sedikit berbeda dari biasanya. Membuatnya sedikit manglingi hanya karena lipstik merah muda dan bedak tipis yang telah menempel sempurna di bibir dan wajahnya.
Kepala perempuan itu tertutup hijab putih bersanggul. Bagian hidung pun sudah dimanipulasi sedemikian rupa supaya nampak lebih mancung. Kini ia melangkah pelan, mengingat betapa susah kakinya berjalan dengan high heels.
Wanita muda itu masih sempat tersenyum kepada orang-orang yang sudah menunggu kedatangannya, sebelum akhirnya ia duduk bersimpuh di sebelah laki-laki berjas hitam dan peci berwarna senada dengan aksen perak yang sudah lebih dahulu melakukan hal serupa.
Zaya tak berani membalas senyum tipis sosok di sampingnya itu, ketika tanpa sengaja tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat.
Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa laki-laki diciptakan bukan untuk saling beradu siapa yang lebih maju. Tetapi untuk saling membantu dalam doa penghulu.
Zaya merapalkan doa di dalam hati, bahwa semoga keputusan mereka untuk menerima ikatan dengan cara seperti ini adalah yang terbaik, walau tak bisa dikatakan waras-waras amat. Walau keraguan dalam dirinya pun masih mendominasi. Keraguan yang sedang diusahakan untuk enyah oleh sosok di sebelahnya, dengan cara mengucap kalimat sakral itu dengan satu tarikan napas.
"Sah!"
Tanpa sadar buliran bening itu meluncur dari mata Zaya, begitu kata tersebut menggema di selebar ruangan ini. Untuk beberapa saat matanya pun terpejam, seolah tak percaya bahwa statusnya kini sudah menjadi istri, yang ditegaskan oleh doa yang sedang dibacakan oleh penghulu.
Tak sampai tiga menit kemudian, ia beringsut menghadap ke arah sosok yang sudah sah menjadi suaminya, dengan debaran dada tanpa kira-kira. Ia terpaku karena terlalu gugup, saat lelaki di sampingnya itu meraih telapak tangan kanannya.
Getaran pada seluruh anggota tubuhnya pun kini semakin menggila saat sebuah cincin telah melingkar di jari manis. Telapak tangannya mendingin, kontras dengan tubuhnya yang kegerahan.
Dengan kekikukan yang luar biasa, wanita muda itu menyambut uluran tangan suaminya, dan mencium punggung tangan itu secara takzim. Lalu ia memaksakan bibirnya untuk membalas senyum dari sosok yang kini memiliki tanggung jawab penuh terhadapnya tersebut.
Momentum demi momentum itu tak luput dari jepretan kamera ponsel para saksi yang merangkap sebagai juru tangkap gambar. Bahkan, layaknya mempelai pria lain, Afriz diminta untuk mencium kening Zaya yang sedari tadi pipinya sudah merona menahan rasa kikuk.
Walau begitu, sang wanita tetap patuh. Zaya memejamkan matanya saat bibir tebal dan lembab itu mendarat di keningnya secara lembut.
Dan, pada waktu yang sama, gerimis di luar menyambut keluarga kecil mereka ini. Menjadi butiran-butiran air pertama yang juga menjatuhi pohon kopi, kayu albasia, mahoni, serta bebungaan selama kemarau yang lebih panjang dari biasanya. Tak lupa, jemuran warga yang belum kering pun ikut terbasahi.
Beberapa ibu berteriak, "Gombalanku!" sambil mulai berhamburan keluar dari rumah Pak Kuswin, tempat berlangsungnya ijab kabul pada pagi menjelang siang ini.
...***...
Walau diselenggarakan amat sederhana dan hanya diperuntukkan bagi keluarga masing-masing pihak dan tetangga terdekat, yang namanya acara pernikahan tetaplah melelahkan.
Hal itu tak dimungkiri oleh Zaya yang kini sedang duduk santai di tepi tempat tidurnya yang kini beralih fungsi menjadi ranjang pengantinnya.
Bunga-bunga yang menghias kasur nyatanya tak serta merta mengurangi rasa lelah yang ia rasakan karena acara hari ini, meski ia sudah mandi dan memijat-mijat badannya sendiri pula.
Bayang-bayang saat selesainya ijab kabul hingga acara foto bersama para anggota keluarga, tiba-tiba melipir ke benaknya. Terutama ketika Afriz mendaratkan kecupan singkat di keningnya tadi pagi, setelah tersenyum kepadanya dengan teramat manis dan nampak tulus. Membuat wajahnya lagi-lagi memerah untuk kesekian kalinya pada hari ini.
"Kenapa ingatnya yang itu sih, Ya? Kacau, nih." Ia menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir desiran aneh yang mendadak menjalar dan menguasai separuh fungsi otaknya.
Terdengar pintu kamar berderit. Zaya menoleh untuk mengetahui siapa yang datang ke area pribadinya ini, dan buru-buru memakai kerudung blong yang sering ia kenakan saat di rumah. Kalau ia tak ingat status sosok itu baginya sekarang, ia pasti sudah berteriak-teriak kencang.
Namun, yang ia lakukan saat ini adalah langsung beringsut untuk menghindari orang yang muncul tersebut. Sebab, untuk hitungan yang sudah entah keberapa, reaksi jantungnya yang mendadak aneh, sama sekali tak bisa diajak kompromi.
"Boleh masuk?"
Zaya hanya mengangguk sebagai tanda mempersilakan, kemudian memalingkan muka. Ia tak berani terang-terangan menatap suami sahnya, orang yang saat ini tengah berjalan ke arahnya itu. Ia hanya sanggup sesekali mencuri pandang, dengan harapan orang tersebut tak mencurigai apa yang dilakukannya kini.
Sikap Zaya makin waspada ketika pintu kamar terdengar sedang dikunci. Ia menelan ludah, saat Afriz mendekat. Pikirannya sudah mulai bercabang.
"Nanti tidur di sini, Pak?" tanya Zaya takut-takut, sambil merapikan lagi kerudung yang belum lama ini selesai ia kenakan.
Afriz yang baru saja membaringkan tubuh lelahnya, menoleh sambil menjawab, "Iya. Memangnya kenapa? Nggak boleh?"
Zaya menggeleng, dengan tatapan sembunyi-sembunyi yang masih tertuju pada lelaki yang tengah berbaring santai di sebelahnya tersebut. Ia menggigit bibir bawahnya, melampiaskan rasa gelisah karena tak mengerti akan menjawab apa. Lalu ia membiarkan hening menguasai kamar berpenerang 40 watt ini dengan rintik hujan yang menimpa genteng sebagai musik latar.
Ranjang bergerak, saat Afriz bangkit dari tidurannya. Dia menatap lekat istrinya. Kemudian laki-laki itu tersenyum. Setidaknya, dia merasa beruntung.
Untuk kesekian lamanya Afriz menatap Zaya, walau perempuan itu belum mau menatap ke arahnya, masih pula terkesan menghindar.
Melihat itu, Afriz seperti mendapati Zaya benar-benar tampak sebagai 'gadis' berusia 20 tahun yang masih lugu dan malu-malu seperti ini. Dia jadi gemas sendiri.
"Sini, deketan."
Mendengar perintah barusan, Zaya kini menggeser posisi duduknya. Walau masih terhitung jauh dengan keberadaan suaminya. "M-mau ngapain?"
"Cuma mau bilang sesuatu," jawab Afriz enteng. "Dengan kamu yang bersikap begini, berarti setan benar-benar berhasil bikin kamu menolak berdekatan dengan suami."
Zaya menelan ludah. "M-maksud Bapak?"
"Masih mau manggil 'Bapak'? Padahal kita sudah resmi jadi suami-istri, loh. Panggil 'Mas', kek. Atau 'Yang', gitu. Biar kedengarannya tuh agak manis, terus aku rasanya nggak kaya nikah sama dedek gemesh."
Tatapan Zaya yang semula khawatir, mendadak horor. Antara ngeri atau heran mendapati sebuah fakta. Bahwa ternyata sifat asli suaminya yang terpaut usia 8 tahun di atasnya itu seperti ini? Alay?
Afriz justru semakin gemas. "Masih malu-malu saja. Sini, deketan lagi."
Untuk kedua kalinya Zaya menggeser duduknya. Ini pun masih tak berarti apa-apa. Karena jarak keduanya masih menjadi penghalang. Terpaksa Afriz yang mengalah dan menggeser tubuhnya hingga benar-benar tak ada ruang bagi Zaya untuk menghindar lagi.
"Seharian ini saya belum gendong Faiz, Pak, eh, Mas. Boleh, nggak, saya nemuin dia sebentar?" Sangat jelas bahwa Zaya sangat gugup menghadapi situasi malam pertama ini.
Tetapi sebelum Zaya mengubah posisinya sekarang untuk mencari Faiz, Afriz sudah menahan terlebih dulu. Membuat wanita di depan matanya itu harus menelan ludah dengan susah payah.
Afriz menggeleng, melarang Zaya bergerak. Jangan bilang, dia tak membolehkan Zaya menemui Faiz?
Guyuran hujan di luar, serta hawa dingin hasil perpaduan antara suhu tiap tetes air langit dan udara perbukitan, seolah merestui apa yang akan Afriz lakukan sekarang.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yunisa
haha, ngakak. Gombalan alias baju nya kehujanan gara2 asyik kondangan🤣🤣
2022-11-14
0