Setelah urusan tawar menawar harga tanah beserta kios usaha yang akan dia kembangkan telah usai, Afriz baru punya waktu untuk bersantai-santai. Karena beberapa hari sebelumnya terjadi perdebatan yang sangat alot akan harga yang baginya terlalu tinggi. Tetapi hal tersebut akhirnya bisa teratasi dengan baik, walau ada beberapa lokasi yang akhirnya batal dia kehendaki.
Afriz masih sibuk mengobrak-abrik isi tas punggungnya, mencari ponsel yang rasa-rasanya sudah dia simpan di dalam benda yang dipegangnya ini. Akhirnya dia keluarkan semua isi ransel berwarna hitam miliknya itu. Tetapi benda pipih yang saat ini dia butuhkan tak ada di antaranya.
Padahal pemuda itu ingin melihat apakah ada pemberitahuan maupun panggilan masuk dari istrinya atau tidak. Selain itu, dia pun hendak memberitahukan kepada istrinya bahwa besok dia akan pulang, lebih cepat dari perkiraan.
Pria itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar untuk menghampiri siapa saja yang bisa dimintai bantuan. Yang terpenting, ponselnya bisa dia temukan.
"Ada yang bisa kami bantu?"
Untuk sesaat Afriz hanya memandang resepsionis hotel yang menawarkan bantuan kepadanya dengan sangat ramah. "Ini, ponsel saya tidak ada di kamar. Saya mau pinjam telepon sebentar, untuk menghubungi nomor saya. Itu juga kalau boleh."
Resepsionis cantik yang memang sudah sering bersikap terlalu ramah sejak awal Afriz menginap di tempat ini, langsung saja memperbolehkan. Tanpa pikir panjang, wanita itu menyerahkan ponsel pribadinya kepada Afriz.
"Terima kasih. Saya pinjam dulu, ya," ucap Afriz sopan, lalu menjauh untuk mencari tempat yang nyaman.
Laki-laki itu mengetikkan nomor, lalu memanggilnya. Tak sampai tiga menit, ada yang mengangkat panggilannya. Tidak salah lagi, ternyata ponselnya memang ada di tangan orang lain.
"Ya, halo," sapa orang di seberang.
"Halo, selamat malam," balas Afriz. Dia kemudian memperkenalkan diri, memberitahu bahwa dirinya adalah pemilik nomor ponsel yang saat ini dihubungi.
"Oh, Mas Afriz yang tadi itu, ya?" ujar lawan bicaranya sambil terkekeh senang. "Kebetulan sekali, Mas Ganteng nelepon. Handphone Mas Ganteng ada di tempat saya. Ambil saja ke rumah saya."
Afriz menimbang-nimbang. Ini sudah larut malam, dan dia butuh beristirahat. Tetapi dia juga perlu segera mengambil ponselnya. "Di mana?"
"Mas Ganteng mau ke sini?"
"Hm."
Walau sudah dibalas tanpa minat olehnya, wanita di seberang tetap bersemangat menyebutkan alamat lengkap tempat tinggalnya.
"Aku tunggu, Mas."
Kepala Afriz menggeleng, tak habis pikir. Tadi lawan bicaranya itu menggunakan 'saya' lalu barusan mendadak berubah menjadi 'aku' tanpa alasan yang jelas. Tetapi karena tak ingin membuang lebih banyak waktu dengan memikirkan hal tak penting tersebut, Afriz mengembalikan ponsel yang dia pinjam kini.
"Ada lagi yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis di depan Afriz.
Afriz menggeleng. "Tidak ada."
Seusai pamit, Afriz kembali ke kamarnya untuk mengambil jaket dan dompet berisi uang yang tak seberapa banyak. Lalu keluar kamar lagi, kemudian pergi.
...***...
Kalau saja bukan karena salah satu benda berharga tersebut, Afriz mana mau bertemu dengan wanita muda bernama Hani itu. Tadi sore saat mereka bertemu saja Afriz sudah digoda habis-habisan, sampai-sampai dia ketakutan dan tanpa sadar meninggalkan ponselnya. Lalu sekarang dia terpaksa bertemu wanita itu lagi.
"Masuk dulu, Mas Ganteng," ucap wanita di depan Afriz.
"Tidak udah, di sini saja," tolak Afriz dingin. "Lagi pula, saya hanya mau mengambil ponsel," lanjutnya tak mau berbasa-basi.
"Ini." Wanita itu menyerahkan ponsel Afriz yang sejak tadi ia bawa. "Jangan-jangan kita memang berjodoh, Mas," kata wanita yang Afriz ketahui bernama Hani itu, sambil menyerahkan benda yang dipegangnya.
Saat Afriz mengambil ponsel dari tangannya, dia kini lancang memegang tangan besar laki-laki itu. Lalu menggelitiki telapak tangan tersebut, hingga menimbulkan gerakan tak nyaman dari pemiliknya.
Tatapannya mengerling, menggoda Afriz yang sejak tadi sore sama sekali tak tergoda oleh pesonanya. Padahal ia sudah berdandan maksimal, sudah mengenakan pakaian seksi pula. Tetapi tetap saja, laki-laki di depannya ini tak terpengaruh rayuan dan godaannya yang sudah sangat menjurus. "Mas Ganteng, masuk dulu, yuk. Kita ngopi-ngopi, walau sebentar."
Afriz meringis manakala melepaskan genggaman manja pada tangannya. Pada saat-saat genting seperti ini, ada saja yang masih sempat menggodanya. Istrinya saja tak pernah. "Maaf, tapi saya tidak suka kopi. Saya lebih menyukai istri saya. Lagi pula istri saya sedang menunggu di rumah. Jadi, saya harus segera pulang."
Lawan bicaranya terkikik geli. "Ah, Mas Ganteng ini kaku sekali. Laki-laki kan tidak cukup hanya dengan satu perempuan. Begini-begini saya ini sudah pernah menikah. Jadi, saya tahu kalau lelaki muda seperti Mas Afriz ini sedang gila-gilanya mengerjai istri karena stamina masih prima. Jadi, kalau sampai beberapa waktu tidak bertemu istri, ya mana betah."
Ingat Zaya di rumah, ingat Zaya di rumah. Dia lebih seksi, dia lebih menggoda, dia jauh lebih bikin penasaran, dia jauh lebih muda, dia lebih cantik, lebih manis, dan tentunya jauh lebih halal.
Afriz merapalkan mantra tersebut di dalam hati, supaya tak terpengaruh godaan-godaan janda di hadapannya. Lagi pula, pakaian kurang bahan yang dikenakan oleh wanita di depannya ini sama sekali tak menimbulkan rasa penasaran sebagaimana tubuh Zaya yang selama ini tak pernah terekspos secara sembarangan.
"Memangnya Mas Afriz tahan tidak menyentuh istri selama berhari-hari? Kalau Mas mau nyari yang anget-anget, aku bersedia loh, Mas, untuk ...."
"Maaf, tadi saya sudah makan mi godok dan wedang ronde, jadi badan saya sudah hangat," potong Afriz cepat.
Hani justru terkikik manja. "Ah, Mas Ganteng ini kok sok-sok tidak paham, sih? Maksudku bukan hangat yang itu, tapi kehangatan yang lain."
Afriz bergidik ngeri. "Saya ke sini cuma ingin mengambil ponsel saya, Mbak, bukan yang lain," potongnya lagi, agar pembicaraan tidak semakin melantur ke mana-mana.
Wanita di depan Afriz tertawa renyah. "Di mana-mana, laki-laki itu sama saja. Malu-malu mau. Tadinya menolak, tapi kalau dikasih ya nggak nolak. Malah bisa sampai merem melek, bahkan ketagihan."
Apa lagi itu?
Sebelum dia semakin tak waras, Afriz memilih segera enyah. Dia pamit. Masa bodoh dengan si nyonya rumah yang belum mengizinkannya untuk kembali ke tempat penginapan.
"Daripada kembali ke tempat tinggal yang jauh, mending menginap di sini saja, Mas. Gratis, loh."
Afriz sudah ogah mendengar rengekan-rengekan Hani yang kian manja. Lebih baik dia kabur. Karena dirinya masih ingin selamat dari makhluk itu dan beristirahat tanpa mau diganggu. Kalaupun memiliki opsi, dia lebih memilih mendengarkan rengekan manja Zaya, andai wanita muda itu bersikap serupa.
Laki-laki muda itu menghela napas lega selepas berhasil kabur dan masuk taksi yang tadi mengantarkannya.
"Jalan, Pak," pinta Afriz seusai dia menutup pintu kendaraan yang sedari tadi menunggu di depan pagar rumah Hani. Lalu tangannya sibuk menggeser-geser aplikasi di layar ponsel.
"Diangkat, dong, Ya, jangan bikin Mas khawatir," gumamnya gelisah, saat beberapa panggilan sebelumnya tak kunjung diterima.
Dia tak lupa mengirimkan beberapa pesan kepada istrinya, meminta agar wanita itu mengangkat panggilannya. Tetapi hasilnya sama. Pesan pun tak dibaca. Dia masih terus mengulangi panggilan untuk Zaya.
"Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa?" tanyanya, saat mendengar suara Zaya yang seperti baru selesai menangis.
"Nggak apa-apa."
"Kamu pasti habis nangis?"
"Enggak. Aku cuma ngantuk."
Walau Zaya sudah membantah, tetap saja Afriz tak percaya karena ia bisa mendengar isakan yang keluar dari bibir istrinya. "Kenapa nangis?"
Afriz masih sabar menunggu istrinya menjawab pertanyaannya. Terlebih, isakan yang semula pelan kini terdengar makin keras.
"Aku minta maaf," ucap Zaya hampir tak bisa Afriz dengar.
Kening Afriz berkerut bingung mengapa tiba-tiba Zaya meminta maaf kepadanya. "Maaf untuk apa?"
"Yang waktu itu sebelum Mas berangkat. Aku nggak ada maksud kayak gitu."
Diam-diam Afriz tersenyum, walau merasa bersalah karena membiarkan Zaya terus-terusan memikirkan hal yang sudah dia lupakan. "Kita bahas ini kalau Mas sudah pulang, ya."
"Mas masih marah?"
Afriz menggeleng, tak sadar kalau istrinya tak dapat melihat gerakannya. "Enggak. Mas nggak pernah marah sama kamu karena hal itu, Ya."
Lawan bicaranya hanya terdiam, menghela napas lega. "Kapan pulang, Mas?"
"Besok Mas pulang."
"Oooh. Jam berapa?"
"Dari sini jam setengah sebelas. Mungkin sampai rumah agak sore. Kamu mau dibawakan oleh-oleh apa?"
"Aku nggak mau oleh-oleh. Maunya Mas pulang dengan selamat."
Mendengar suara Zaya yang merajuk begitu, Afriz tertawa. "Iya. Sekarang kamu istirahat, ya, Sayang."
"Iya. Mas istirahat juga, ya."
"Iya."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Eh, Mas," panggil Zaya sebelum Afriz benar-benar memutus sambungan telepon.
"Kenapa?"
"Cepat pulang, ya. Aku ... a-aku ...."
Afriz tak menyela, masih menunggu apa yang akan Zaya katakan selanjutnya.
"A-aku kangen."
Tut ... tut ....
Belum sempat Afriz mengonfirmasi ucapan lirih Zaya barusan, sambungan telepon sudah terputus secara sepihak. Dia kini sibuk mencerna kalimat yang didengarnya beberapa detik yang lalu.
Begitu mengerti, Afriz langsung tersenyum. Kini jemarinya dengan cepat mengetikkan sebuah pesan.
[Jd pengen buru buru pulang biar bisa meluk]
Kirim.
Satu centang.
Dua centang.
Dua centang biru.
Lalu, tak ada balasan.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yunisa
Haha, cepetsan pulang Mas Afriz.. Zaya mu udah kangen tuh
2022-11-17
0
Indah_usi
next next next secepatnya semangat ngetiknya dtunggu kelanjutan nya
2022-05-25
0