Pernikahan Dini

"Tadi pas ikut Bapak, Mas agak kaget waktu papasan sama anak SMP yang berangkat sekolah sudah bawa motor sendiri. Nggak cowok nggak cewek jalannya pada ngebut. Mas saja kalah cepet, Yang." Afriz memecah hening yang begitu menjenuhkan di mobil ini sejak pernyataan terakhir Zaya tadi.

Zaya menoleh, sedikit terkejut karena Afriz membahas. "Kayak gitu udah lama sih, Mas. Sejak aku masih SMP apa bahkan SD, aku udah sering lihat kakak-kakak tingkat aku bawa motor sendiri."

"Kamu juga sudah bawa motor sendiri, pas masih sekolah?"

Zaya menggeleng. "Aku sampai sekarang malah nggak bisa ngendarain motor, Mas. Hehehe."

Afriz menoleh sebentar. "Oh. Pantesan motor yang di rumah nggak pernah terpakai," katanya sambil tersenyum. "Terus, orang tua bocah-bocah itu bagaimana, begitu tahu anaknya sering bawa motor sendiri ke sekolah?"

"Ya mereka malah bangga. Aku nggak ngerti pola pikir mereka, Mas. Mereka bilang, itu kan anak mereka, yang disetir pun kendaraan mereka, belinya pakai uang mereka sendiri, nggak ada sangkut pautnya sama orang lain. Cuma, kan ya gimana, ya?" Zaya tak tahu akan mengatakan apa lagi.

Afriz menggeleng, tak habis pikir. Meski begitu, ada senyum geli yang menghiasi bibirnya. "Ada ya, yang mikir gitu? Nggak khawatir kalau ada apa-apa dengan anaknya yang masih di bawah umur. Kalau apesnya anak mereka kecelakaan, yang sakit sudah pasti anak mereka. Tapi kan kalau sudah di tempat umum, urusannya nggak cuma dengan diri sendiri, tapi juga orang lain, kan, Yang?"

Zaya mengangguk. "Iya, sih. Tapi aku nggak mau gimana-gimana. Udah biasa juga sih itu." Kemudian kepalanya menoleh ke belakang, memeriksa keberadaan Faiz yang masih tidur nyenyak.

"Si Gembul masih tidur?" tanya Afriz seraya melirik Zaya yang sedang membetulkan benteng bantal di samping Faiz.

Mendengar julukan baru bagi Faiz dari suaminya, Zaya terkikik. "Iya, pules banget."

"Eh, Yang," panggil Afriz.

Zaya tetap harus membiasakan diri dari panggilan sayang Afriz yang sering semena-mena itu. "Kenapa, Mas?" Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh suaminya itu.

"Aku tadi lihat ada banyak ibu muda di dusun. Pas nanya ke Bapak, Bapak cuma jawab kalau banyak di antara mereka yang memang nikah di usia-usia sekolah. Memangnya bener gitu, ya, Yang?"

Walau harus menahan rasa tak enak hati, Zaya tetap mengiyakan. "Emang di sana masih banyak kasus nikah dini, Mas. Kalau nggak salah, dua apa tiga minggu sebelum kita nikah aja, ada yang nikah sewaktu usianya belum genap 16 tahun."

Meski menghadap ke depan, Afriz tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut yang begitu kentara. "Enam belas tahun?" tanyanya tak menyangka. "Baru kelas satu-dua SMA, dong?"

"He-em."

Tetapi Afriz belum puas dengan jawaban istrinya. "Terus, dia rela putus sekolah demi nikah?"

"Dia emang nggak lanjut SMA, Mas. Selulus SMP, dia langsung kerja di kota. Kerja belum genap setahun, terus nikah."

"Suaminya?"

"Suaminya itu pacar dia sewaktu SMP. Kan mereka sama-sama nggak lanjut sekolah karena kerja di tempat yang sama. Karena nggak mau terpisah juga, akhirnya mereka nikah. Sebelum cewek atau cowoknya direbut orang lain."

Afriz mendesah lelah. Entah dia harus bersedih atau justru tertawa saat menemukan ironi ini. Dia saja menikahi Zaya yang sudah berusia dua puluh menuju dua puluh satu tahun, sering merasa kalau Zaya masih terlalu muda. Ini ternyata ada yang jauh lebih muda dari istrinya yang sudah bersuami pula.

"Pernikahan kayak gitu, biasanya bertahan lama, nggak?" tanya Afriz yang masih amat penasaran.

"Ya tergantung masing-masing. Beberapa sih enggak bertahan, karena mungkin tadinya mereka ngira pernikahan itu kayak pacaran, ternyata beda jauh sama bayangan. Apalagi orang tuanya terlalu ikut campur dan nggak mau kalah. Jadi, kalau nggak cocok ya ujung-ujungnya cerai. Jadinya ada beberapa perempuan yang menjanda di usia enam belasan. Kadang ada yang di usia belasan tahun udah jadi janda dua apa tiga kali gitu, malah."

Mendengar cerita dari istrinya, wajah Afriz seketika pucat pasi.

Begitu mendapati Afriz yang tampak shock, Zaya tersenyum geli. "Mas nggak usah kaget. Di kampungku, nikah di usia belasan tahun itu lumrah, lagi. Keponakanku yang usianya baru 17 tahun aja udah punya anak umur dua tahun. Jadi, gini-gini aku udah punya cucu."

Ekspresi shock Afriz justru bertambah. "Maksudnya kamu sudah punya cucu itu apa, Yang?"

"Jadi, Bapak punya saudara beda nenek. Nah, saudara Bapak yang beda nenek ini kan punya anak yang seusia kakak aku, karena nikahnya terlalu muda. Terus, dia punya anak. Jadilah keponakan aku. Terus, keponakan aku ini udah punya anak. Ya jadinya anak dari keponakanku itu manggil aku nenek."

"Oooh." Afriz mengangguk-angguk, masih tak menyangka ada kisah semacam itu. "Memangnya keponakan kamu sama tetangga-tetangga kamu itu nggak sekolah?"

"Mereka sama kayak kebanyakan anak muda di dusun, sekolah sampai lulus SMP. Kadang malah nggak sampai lulus. Terus kerja, sehabis itu kebanyakan sih langsung nikah."

"Jadi, itu wajar?"

"Di dusunku wajar banget, Mas. Malah pernah ada cewek kelas tiga SMP yang putus sekolah gara-gara dipacarin cowok, terus dia udah nggak pengin sekolah lagi. Sayang banget, padahal ujian tinggal beberapa bulan lagi."

"Karena nikah?"

"Enggak. Nikahnya malah baru dua tahun kemudian, tapi udah telanjur putus sekolah."

"Eh, kenapa bisa gitu, sih? Itu pertimbangannya apa, sampai-sampai dia rela nggak ikut ujian cuma karena pacar?"

"Ya aku nggak tahu. Aku pulang aja dia udah nikah beberapa bulan gitu."

Afriz masih tak habis pikir, kenapa bisa begitu. Kalau mereka putus sekolah disebabkan masalah biaya, sepertinya tak mungkin. Karena dia telah melihat sendiri bagaimana kehidupan kebanyakan warga Dusun Matamu, biarpun sekilas. Dari yang tampak, hidup mereka tak bisa dikatakan miskin. Bisa dibilang jauh dari kata melarat. "Tapi sebenarnya orang tua mereka mampu, kan, Yang?"

"Jelas mampu, lah. Kalau soal uang, mereka sebenernya jauh lebih mampu ketimbang Bapak."

Afriz memelankan laju kendaraannya, ketika sebuah bus di depannya berhenti karena lampu merah, sebelum akhirnya berhenti. "Tadi Bapak juga bilang, masih banyak yang berpikiran bahwa sekolah bukan sesuatu yang penting. Apalagi perempuan, sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya paling cuma mengurus dapur, kasur, dan sumur," timpalnya menambahi cerita Zaya.

Pandangan Zaya menerawang, mencoba tersenyum, tetapi berusaha untuk tak menertawakan keadaan lingkungan yang telah membesarkannya. "Aku nggak ngerti, Mas. Kadang, orang tua dan anaknya kompak. Orang tuanya ngerasa sayang banget kalau mau nyekolahin anaknya, karena cuma buang-buang duit. Sementara anaknya udah nyaman dengan pola asuh selama ini. Dia minta apa aja pasti dikasih, dengan syarat bawa pasangan ke rumah." Ia tersenyum lagi. Kali ini ia lebih hati-hati untuk tak menertawakan apa yang ia bicarakan ini. "Gimana, ya? Udah dari dulu, sih."

Berusaha mengerti, Afriz mengangguk mengiyakan. Rasa-rasanya, dia memang tak perlu membantah.

"Eh, maaf, Mas, kita jadi ngomongin orang."

Afriz tertawa kecil, memaklumi. Karena dia sendiri yang memulai, disebabkan rasa penasarannya. Lalu dia menoleh, menatap Zaya. "Kayak gini terus, ya, Yang," ucapnya, yang seketika membuat lawan bicaranya menoleh kepadanya.

"Apanya yang kayak gini terus?" tanya Zaya, tak mengerti maksud suaminya.

"Terbuka soal diri kamu. Biar kita nggak kayak dua orang asing yang terpaksa tinggal di satu rumah."

Tin! Tin!

Bunyi klakson kendaraan di belakang, membuyarkan semuanya. Afriz segera melajukan kendaraannya lagi sebelum suara itu semakin ganas. "Kita ke tempat Nida dulu, ya, jemput papa."

Mata Zaya berbinar. Senyuman pun terbit di bibirnya. "Iya, Mas."

Afriz menggeleng kecil mendapati antusiasme Zaya setiap kali akan bertemu dengan adik kandungnya itu. Begitu pula Nida, yang seperti bertemu kawan lama jika bertemu kakak iparnya. Mungkin karena usia mereka yang hanya berjarak beberapa tahun, keduanya gampang nyambung.

...***...

Terpopuler

Comments

Indah_usi

Indah_usi

lanjut trus kak thor semangat ngetiknya dtunggu kelanjutan nya, next secepatnya

2022-05-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!