Anak Pertama

"Boleh Mas tanya sesuatu, Yang?"

Afriz memberanikan diri. Dia harus tahu tentang semua kebenaran yang selama ini dia pertanyakan. Yang mungkin saja tak pernah Zaya sembunyikan, namun tetap mengejutkan.

Terlebih, dia berani begitu karena sejak keduanya selesai melaksanakan salat Asar, Zaya sudah tak setegang tadi. Hatinya lebih lunak, walau tampak malu jika bertatapan dengan suaminya sendiri.

Tak apa. Dia tak perlu memaksakan Zaya agar mau menatapnya. Mengingat perbedaan umur mereka yang lumayan jauh, dia mesti sadar bahwa perempuan yang berhadapan dengannya ini belum terlalu matang secara emosi maupun mental. Terlebih setelah apa yang terjadi di antara keduanya belum lama ini.

Zaya yang semula tengah menikmati secangkir air teh hangat, kini memberanikan diri untuk menoleh. Ia lalu meletakkan cangkirnya di meja, sambil menormalkan debaran jantungnya yang tak terkira. "Tanya apa, Mas?"

"Kalau Faiz nggak pernah lahir dari rahim kamu, siapa ibu kandung dia?"

Tanpa memberi jawaban atas pertanyaan suaminya, Zaya menuju ke laci tempat ia menyimpan dokumen-dokumen penting yang diambilnya hampir satu minggu yang lalu. Kemudian kembali ke hadapan Afriz dengan membawa selembar kertas yang sudah dilaminating. "Mas bisa cari di sini, biar semuanya jelas."

Afriz menerima benda yang disodorkan kepadanya. Akta kelahiran Faiz itu dia baca secara teliti.

"Telah lahir Faiz Harfian, anak kesatu laki-laki dari ibu bernama ... Una Deswita?"

Una Deswita tentu bukanlah nama lengkap Zaya. Afriz tahu itu. Lalu, kalau Faiz bukan anak kandung Zaya, mengapa perempuan itu mau merawat balita tersebut?

"Ceritanya panjang, Mas," terang Zaya tanpa menjelaskan apa pun. Meski begitu, ia membiarkan mulutnya memberikan kesaksian atas semua kejadian yang ia tahu.

Pada awalnya adalah dua tahun yang lalu. Ia berkuliah dan indekos di tempat yang sama dengan salah satu temannya yang bernama Una.

Sebenarnya Bu Darmi, ibu kandung Zaya, sudah melarang karena khawatir pergaulan putrinya akan seperti Una yang sudah kondang suka bergonta-ganti pacar dan sering kelayapan tanpa pulang.

Tetapi Zaya nekat. Ia berprinsip bahwa selama ia bisa menjaga diri, apa yang dicemaskan oleh ibunya tak akan pernah terjadi.

Hingga suatu malam, temannya itu belum juga kembali ke tempat tinggal mereka selama ini. Walau ini bukan pertama kalinya Una pergi hingga larut malam, tetapi sampai pagi sahabatnya itu tak kunjung kembali.

Tak ada keanehan yang Zaya tangkap, saat Una mengangkat panggilannya. Semua terasa begitu normal.

Sampai akhirnya sebuah kabar mengejutkan Zaya beberapa minggu kemudian. Bahwa Una tengah berbadan dua. Yang lebih mengejutkan lagi adalah nama sosok laki-laki yang dimintai pertanggungjawaban: Anggada Pambuko.

"Terus, sekarang ibunya Faiz di mana?" tanya Afriz, yang semula tak mau menyela pembicaraan. Pertanyaan yang membuat Zaya kembali ke masa sekarang.

"Aku nggak tahu. Setelah umur Faiz udah enam bulan lebih, dia pergi dan cuma ninggalin surat yang isinya minta aku buat nitipin Faiz ke kakek-neneknya."

Kening Afriz berkerut. Merasa janggal dengan cerita yang dia dengar. "Kenapa Faiz kamu rawat sendiri, dan bukannya ikut nenek-kakeknya?"

"Yah," Zaya menghela napas. "Sebagaimana orang tua lain, nggak ada yang percaya kalau anak mereka kayak gitu. Termasuk orang tua temenku. Apalagi mereka nggak pernah lihat anak mereka hamil, karena terakhir Kak Una pulang perutnya masih kecil. Jadi, nggak mungkin tiba-tiba mereka punya cucu. Makanya, begitu aku ngomong yang sebenernya, malah aku yang dituduh nggak bertanggung jawab karena nggak mau ngurus anak aku sendiri. Ditambah lagi aku masih memfitnah anak mereka. Gitu, katanya."

Entah bagian mana yang lucu, tetapi Afriz tertawa pelan. "Akta kelahiran kan ada, Yang. Kenapa nggak ditunjukkan?"

"Aku nggak kepikiran sampai sana, Mas. Setelah dibilangin yang enggak-enggak sama orang tua Kak Una, aku nggak ngerti harus ngapain. Mana lagi pas aku pulang, Ibu langsung pingsan lihat aku bawa bayi. Karena Ibu tahunya aku kuliah. Makanya tiap kali ingat Ibu, aku jadi ngerasa bersalah terus-terusan karena sebelum-sebelumnya aku nggak pernah dengerin apa yang Ibu bilang. Aku nyesel pernah kayak gitu ke Ibu. Karena tetangga-tetangga kami yang nggak suka kami, sekarang jadi punya bahan buat gunjingin keluarga kami yang sebenernya nggak ngerti apa-apa. Harusnya aku dengerin apa kata Ibu. Harusnya ...."

Tangan Afriz tergerak untuk mengangkat dagu istrinya. "Boleh Maa ngomong?" tanyanya, menatap tepat pada kedua mata Zaya yang sedari tadi tak mau terang-terangan memandang matanya.

Zaya mengangguk. Pandangannya terkunci pada tatapan teduh laki-laki di depannya.

"Kamu tahu, apa yang bikin prinsip hidup kamu untuk nggak dengar omongan orang lain dan penyesalan kamu bisa bergesekan, sampai-sampai kamu selalu merasa bersalah?"

Untuk sejenak Zaya mencerna maksud suaminya. Kemudian menggeleng. Ia tak mengerti.

Bukannya segera menjawab, Afriz justru mengecup pipi kanan dan kiri perempuan di depannya secara bergantian. Kemudian baru berkata, "Menurut prinsip hidupmu, kamu nggak perlu mendengar apa kata orang lain tentang kamu dan hidup kamu. Dan kamu bilang sendiri, kalau waktu itu kamu nggak dengar apa kata ibu. Karena kamu merasa bahwa ini adalah hidup kamu, dan cuma kamu yang berhak mengatur hidup kamu sendiri, bukan orang lain, termasuk ibu kamu. Iya?"

Zaya yang masih terkejut dengan apa yang dilakukan oleh sosok di hadapannya, hanya mampu mengangguk lemah. Ia hendak menunduk, kalau tangan Afriz tak segera menahan dagunya dan memaksa ia menelan bulat-bulat rasa malunya.

"Menurut apa yang Mas tangkap dari ucapan-ucapan kamu tadi, secara nggak langsung, waktu itu kamu menganggap kalau ibu kamu adalah orang lain, bukan bagian dari diri kamu."

Mendengar satu kalimat panjang tersebut, Zaya tersentak. Suaminya ini seperti cenayang. Tahu saja apa yang ia rasa dan pikirkan.

"Sekarang, kamu baru sadar bahwa ibumu adalah bagian dari diri kamu, setelah kamu mendapatkan semua akibatnya. Jadinya kamu merasa bersalah."

"Aku terlambat sadar, Mas."

"Mas ngerti." Untuk beberapa saat, Afriz hanya tersenyum, berusaha memikat Zaya dengan pesonanya. Kemudian mengecup singkat bibir istrinya itu. "Tapi yang harus kita tahu, nggak selamanya apatis terhadap omongan orang lain itu pasti berbuah kemajuan untuk diri kita. Nggak selamanya juga, perkataan orang lain jadi penghalang kemajuan diri kita, selama kita bisa menyaring. Semua ada porsinya, ada tempat dan waktunya. Asalkan nggak kebolak-balik saja penerapannya."

Kali ini Zaya mencebik. "Ngomong doang sih gampang, Mas. Buktinya, sekarang banyak yang kebolak-balik. Aku sendiri deh, contohnya."

"Eh?" Entah apa lagi yang lucu dari ucapan Zaya, tetapi cukup bagi Afriz untuk menertawakan istrinya. Tak lama setelah itu ekspresinya menjadi serius. "Mas tanya satu hal lagi, boleh?"

"Apa?"

"Anggada Pambuko itu ... siapanya kamu?"

Pertanyaan dari suaminya itu membuat Zaya tergagap sendiri. "Tapi kalau aku kasih tahu, Mas jangan marah, ya."

Begitu mendapati anggukan lawan bicaranya, Zaya memberanikan diri untuk memberitahu.

"Dia ... dia itu anak mantan lurah Karang Kidul. Dulu ... du-dulu aku pernah suka sama dia." Lalu saat melihat raut wajah Afriz yang tiba-tiba saja berubah aneh, ia cepat-cepat melanjutkan, "Tapi itu udah lama, pas aku masih sekolah sampai awal-awal aku masuk kuliah kok, Mas."

Zaya berkata jujur, sungguh. Meski Pam adalah cinta pertamanya, Zaya rasa, perasaan sayang yang pernah diperuntukkan bagi pemuda itu sudah berkurang banyak semenjak ia mengetahui hubungan laki-laki itu dengan Una. Apalagi saat ia mengerti bahwa keduanya memang dijodohkan. Ia memilih mundur teratur daripada patah hati seorang diri.

Kini perasaan sayangnya sedang ia tata untuk diberikan sepenuhnya bagi laki-laki di depannya. Laki-laki yang tengah ia tatap secara diam-diam. Laki-laki berkumis tipis yang beruntungnya ia miliki saat ini. Laki-laki yang telah mendapatkan dirinya secara utuh. Laki-laki pemilik senyum manis yang membuatnya luluh. Laki-laki yang setia mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi.

"Oh, jadi sekarang semuanya jelas. Kamu sekarang cintanya cuma sama Mas, kan?" vonis Afriz tanpa pikir panjang.

"Hiiih. Mas nyebelin!" Zaya refleks melempar bantal yang sedari tadi ada di pangkuannya.

"Nyebelin dari sisi mananya?" Afriz tertawa. "Eh, Yang, Mas punya cerita, nih," lanjutnya.

Atensi Zaya seketika teralih. "Cerita apa?"

"Jadi, gini. Ceritanya, tadi malam kan ada perempuan yang nelepon Mas, nangis di telepon, terus akhirnya bilang kalau dia kangen suaminya. Siapa ya yang bilang?"

Zaya memalingkan muka, menyembunyikan wajahnya yang merah dari pandangan lawan bicaranya. Karena ia merasa bahwa perempuan yang dimaksud oleh Afriz adalah dirinya. "Perasaan Mas doang, kali. Aku nggak pernah bilang gitu. Aku nggak kangen siapa-siapa."

Afriz menahan tawanya mendengar elakan Zaya yang tak berguna sama sekali. "Mas kan nggak nuduh kamu," ucapnya. Dia menunggu tanda-tanda Zaya akan merespons, tetapi tak ada. "Jadi, enggak kangen, nih?"

Bukannya menjawab, Zaya justru memukul lengan lawan bicaranya yang usil menggoda dan mempermainkan rasa rindunya.

Afriz justru tertawa lepas. "Kenapa malah mukul? Kan bisa bilang, 'Iya, aku emang kangen,' gitu. Lagian, suami kamu yang ganteng ini juga kangen banget, kok."

Satu tabokan Zaya meluncur ke lengan Afriz lagi. "Mas Afriz jelek!"

Kemudian keduanya terdiam, seperti kehabisan topik yang enak dibahas. Afriz tak menanggapi ledekan Zaya yang mengatakannya jelek.

Tidak ada bahan obrolan, akhirnya Zaya mengambil ponselnya yang sedari tadi diletakkan di nakas. Lalu ia menemukan sesuatu yang penting untuk dilaporkan kepada suaminya.

Mengabaikan rasa canggung, Zaya mendekati suaminya yang kini duduk di bangku teras rumah mereka. Ia kemudian ikut duduk, mempersempit jarak keduanya.

"Euuum, Kak Nida udah lahiran, Mas. Alhamdulillah normal, ibu dan anaknya juga sehat. Coba, Mas lihat," ujarnya semringah, seraya menatap layar ponsel bersama suaminya.

"Cowok apa cewek?"

"Cewek. Lucu dan cantik banget, deh, Mas. Gemesin, ih." Perempuan muda itu masih melihat layar ponsel pintarnya yang terisi beberapa foto keponakan pertamanya.

Afriz justru menatap istrinya secara intens setelah tadi melihat gambar keponakannya sekilas. Laki-laki itu hanya mengiya-iyakan ucapan Zaya sambil menahan senyum. "Kalau kamu maunya anak pertama kita cowok apa cewek?"

Zaya seketika menoleh. "Eh?" Ia tak menyangka kalau topik pembicaraan yang tadi ia pilih itu ternyata akan sesensitif ini.

"Ihzaya Nurina," panggil Afriz lengkap sekaligus manis. "Kok nggak jawab? Mau anak cowok atau cewek?"

Zaya hanya menggigit bibir bawahnya, gelisah mencari jawaban yang sekiranya melegakan. Kemudian cengengesan tak jelas. "Sedikasihnya aja, deh."

Mendengar jawaban barusan, Afriz tak sanggup lagi menahan senyumnya. Refleks, dia mengelus kepala Zaya, lalu merangkul perempuan itu.

Perasaan yang tak bisa mereka jelaskan itu diiringi bunyi uir-uir di pepohonan sana, yang menjadi musik latar bagi suasana senja kali ini.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!