Kabar pernikahan Zaya dan Afriz sudah beredar luas sejak sepuluh hari yang lalu. Tak ada yang menyangka kalau Zaya akan mendapatkan seorang lelaki bujangan, mapan, rupawan, dan tentu saja masuk ke kategori sebagai calon suami dan bagi ibu-ibu adalah menantu idaman.
Kebanyakan orang, utamanya ibu-ibu, menebak-nebak berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi. Terlebih, tanggal pernikahan sudah sangat dekat. Terhitung buru-buru dan menimbulkan kecurigaan, walau tak ada hal yang aneh sekalipun.
"Palingan hamil duluan, Bu, seperti yang anak pertama. Kita lihat saja, beberapa bulan lagi Zaya pasti melahirkan anak kedua."
"Bisa saja, ibu-ibu. Tapi yang saya heran, kok laki-lakinya mau ya, menikah dengan wanita yang sudah berputra? Padahal kita semua tahu sendiri, anaknya itu ndhak jelas siapa bapaknya."
"Atau jangan-jangan, laki-laki itu bapaknya Faiz? Makanya sekarang mau bertanggung jawab, dan nikahnya buru-buru."
"Ih, berarti perempuan dan laki-lakinya memang sama-sama ndhak bener, ya, Bu?"
"Ya begitulah, ibu-ibu semua. Seperti yang sudah sering saya katakan. Zaman sekarang ini jangan terlalu gampang percaya dengan penampilan orang. Kita kan tahu sendiri, sejak masih SMP, Zaya itu pakaiannya selalu tertutup dan sudah pakai kerudung rapat. Berangkat sekolahnya rajin, sorenya ngaji. Tapi, lihat? Ternyata aslinya seperti itu, kan?
"Saya ndhak mau mengumbar aib, ya. Tapi kalian sudah tahu sendiri, kan? Pulang-pulang dari kos kok bawa pulang bayi, ndhak jelas pula siapa bapaknya. Terus, apa gunanya sekolah tinggi-tinggi dan pintar ngaji, kalau kelakuannya ndhak bermoral begitu? Kalau saya sih sudah ndhak gumun dengan orang yang sok suci seperti itu, karena bukti nyatanya sudah ada di depan mata."
Begitulah selentingan-selentingan yang menghiasi kabar pernikahan keduanya sejak sepuluh hari yang lalu. Makin luas dan kian memperkeruh keadaan.
Padahal tak ada yang salah dengan masa lalu seseorang, termasuk masa lalu Zaya. Tak ada seorang pun yang menginginkan jalan hidup seperti itu. Tak ada. Dan Afriz tak memiliki hak untuk menghakimi wanita muda yang kini berstatus sebagai istrinya itu.
Waktu sepuluh hari untuk melakukan persiapan pernikahan, tentu terhitung begitu singkat, bahkan terburu-buru. Hal ini membuat Afriz tak mau membuang-buang waktu dengan menampung keluhan-keluhan Zaya tentang mulut para tetangga, yang menurutnya sama sekali tak penting untuk terlalu didengarkan apalagi dipikirkan.
Baginya, selama nanti mereka menjalani pernikahan ini sebagaimana mestinya, mulut-mulut usil itu akan bungkam dengan sendirinya.
"Kita yang menjalani, bukan mereka."
Begitu kata Afriz, sepuluh hari yang lalu. Meyakinkan Zaya sekaligus dirinya sendiri bahwa orang-orang itu tak memiliki urusan dengan keluarga kecil mereka nanti.
Ya, memang tak ada lagi waktu bagi dirinya dan Zaya untuk cengeng-cengengan, apalagi bersikap sok jual mahal. Lebih baik dia mempersiapkan mental untuk menghadapi kenyataan yang sebenarnya, belajar lebih mendalam lagi tentang agama, dan belajar lagi untuk memahami sesama.
Afriz memejamkan matanya. Berbagai kemungkinan baik hinggap di kepala, memberikan keyakinan kepadanya, bahwa keputusannya ini sudah sangat tepat.
...***...
Zaya mengecek benda-benda apa saja yang akan ia bawa ke rumah suaminya. Beberapa jenis barang milik Faiz, sudah dipastikan lengkap. Sementara barang yang akan ia bawa, tentu tak usah terlalu banyak. Bisa dibawa secara berkala. Sedangkan barang-barang suaminya, hitungannya tak seberapa, hanya tiga potong baju dan kaus, serta dua celana pendek.
Perempuan itu menoleh di tengah kegiatan beberesnya. Menatap pria yang sedang sibuk menuruti Faiz untuk berjalan, melompat, dan menangkap laron yang keluar dari persembunyian.
Afriz, laki-laki yang begitu pengertian kepadanya, serta menyayangi Faiz dengan amat tulus. Dibuktikan dengan peristiwa yang terjadi tadi malam, saat dirinya mengira kalau suaminya itu akan menuntut haknya sebagai suami setelah menahan gerakan Zaya untuk menemui Faiz.
"Biar saya saja yang bawa Faiz ke sini," kata laki-laki itu sebelum beranjak untuk mencari keberadaan Faiz. Perkataan yang mau tak mau membuat Zaya merasa sedikit lega.
Tak sampai sepuluh menit, pemuda itu membuka pintu kamar, dengan Faiz yang sudah berada di gendongan. Telunjuknya ditempelkan ke bibir, dengan maksud meminta Zaya untuk tak mengganggu tidur Faiz yang lelap di malam yang sudah semakin larut ini. Dan malam ini, Faiz tidur nyenyak di antara ibu dan ayah barunya.
"Tak harus malam ini, Ya. Belum waktunya. Faiz masih terlalu kecil kalau harus punya adik."
Zaya tersenyum sendiri mengingat itu. Hingga tanpa sadar, kini pandangannya mengikuti Afriz dan Faiz yang sedang asyik menangkap laron.
Wanita muda itu pun jadi teringat kenangan masa kecilnya, saat hujan turun deras setelah berlangsung kemarau panjang. Di mana ia suka sekali menangkap laron-laron yang muncul pada pagi harinya, untuk diberikan kepada lele yang dipelihara oleh ayahnya.
Zaya juga kerap membuat kerucut dari daun pisang sebagai corong, kemudian menancapkannya di sebelah lubang tempat keluarnya laron untuk mengumpulkan hewan terbang itu. Kerucut pisang tadi berfungsi sebagai lorong jebakan bagi laron.
Biasanya, kegiatan itu dibantu kincir yang terbuat dari laron yang ditusuk bagian perutnya. Kemudian membiarkan sayapnya terkepak-kepak untuk memancing laron-laron lainnya agar mau keluar dari persembunyian lalu masuk ke baskom yang sudah diisi dengan air.
Masih menyangkut laron. Dari desas-desus yang beredar, dulu ketika Zaya masih balita dan ia belum mengerti apa-apa, perempuan yang baru kemarin melangsungkan ijab kabul itu sering memakan hidup-hidup hewan berwarna cokelat itu, setelah memereteli sayapnya.
Melihat Zaya melakukan hal aneh tersebut, orang-orang dewasa dengan jailnya bertanya, "Rasanya laron mentah bagaimana, Ya?"
Kemudian Zaya menjawab, "Manis."
Kini wanita itu akan meninggalkan kenangan masa kecilnya dengan laron-laron. Pun harus meninggalkan rumah yang halamannya ditumbuhi bunga Desember yang sudah mekar sejak masih bulan November, untuk menuju ke tempat tinggal barunya.
Zaya akan memulai kehidupan baru di kediaman Afriz, rumah yang pernah ia datangi sekitar satu setengah bulan yang lalu, saat statusnya masih menjadi bawahan laki-laki itu.
Dan itu semua tentu akan terasa ... aneh.
Terlebih, ini baru permulaan. Zaya mengerti itu. Sikap manis Afriz kepadanya dan juga Faiz, tentu tak akan selamanya terjadi. Ia tak tahu apakah Afriz bisa tetap bersikap seperti itu atau berubah seiring berjalannya waktu?
Melihat Zaya yang seperti memikirkan sesuatu meski sudah siap untuk pergi, Afriz menyentuh bahu istrinya tersebut lalu mengulurkan tangan. "Ayo."
Zaya tak lantas membalas uluran tangan yang sudah jelas-jelas bertujuan untuk menuntunnya. Ia hanya menatap telapak tangan itu. Ada keraguan untuk menerima uluran tersebut.
Mengerti keadaan, Afriz kini beralih mengulurkan tangan kepada Faiz yang beberapa waktu yang lalu sudah dia serahkan kepada sang istri. Balita itu menoleh kepada Zaya sebentar, kemudian menerima ajakan itu secara sukarela.
Setelah Faiz berada dalam gendongannya, Afriz kembali mengulurkan tangannya kepada Zaya. Kali ini dia tak mau menunggu lama. Lelaki itu langsung meraih tangan istrinya tanpa menunggu persetujuan.
Memang harus seperti itu. Zaya harus sedikit 'dipaksa' untuk menerima ini semua. Sebab, Afriz mulai paham bahwa reaksi Zaya terhadapnya akan selalu sama: sangat lambat, dan tentunya menguji kesabarannya.
Kontras dengan reaksinya yang sangat lambat, mata Zaya kini berkedip cepat. Tak pernah menyangka ada sebuah tangan yang menariknya lembut, hingga membuatnya tak kuasa untuk berkutik.
Ia pun mengikuti langkah laki-laki di sampingnya, sambil sesekali memandang tautan tangan mereka. Sekaligus berharap agar suaminya ini tak mendengar detak jantungnya. Ia menelan ludah dengan susah payah.
Tak bisa dimungkiri, sebagai perempuan tanggung sepertinya, Zaya mudah luluh ketika mendapatkan perhatian-perhatian kecil dari mantan bosnya itu.
Terlebih dengan wajah yang sedap dipandang, membuat sosok itu mudah dikagumi. Tak ada alasan yang tepat bagi seorang Ihzaya Nurina untuk menolak pesona sesosok Afrizal Cipta Prasaja.
Kalau saja ....
Kalau saja tangan mereka tak saling bertaut ....
Kalau saja tangan mereka tak saling bertaut, sudah pasti Zaya akan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Atau ....
Kabur!
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yunisa
Astaghfirullah ibu2 ghibah Mulu kerjaannya
2022-11-14
0