Terdengar suara motor bebek berhenti. Zaya sudah hafal dengan bunyi itu. Ia pun sudah hafal motor itu pasti diparkirkan di bawah pohon jambu di halaman rumah. Kebiasaan suaminya yang tak berubah selama hampir dua bulan mereka tinggal bersama.
Wanita muda itu melihat jam dinding, kemudian bangkit dari posisinya. Beruntung, tidur Faiz tak terusik gerakan kasur.
Pukul sepuluh lebih empat puluh enam menit, pada hari Jumat. Sudah tentu suaminya itu pulang lebih awal untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim di masjid sebagai agenda satu minggu sekali.
Afriz mengucap salam lalu dibalas oleh Zaya.
"Faiz mana?" tanya Afriz, begitu Zaya sampai di depannya untuk mencium tangannya.
"Baru aja tidur. Tadi badannya panas makanya rewel," jawab Zaya selepas mencium punggung tangan suaminya.
Laki-laki berkaus abu-abu itu tersentak kaget. "Tapi sekarang sudah tidak apa-apa, kan?"
"Udah nggak apa-apa, kok. Udah nggak panas juga."
"Syukurlah."
Kemudian, hening sebentar.
"Mas, tadi Pak RT pesen, nanti kita mesti minta stempel surat pengantar dari ketua RW," lapor Zaya.
"Siap."
"Terus, kalau udah, surat pengantar sama berkas-berkas persyaratannya dibawa ke kelurahan, sekalian ngisi formulir permohonan KK baru."
"Oke."
"Cuma, masalahnya ...."
"Apa?"
"Tadi aku telepon Bapak. Bapak bilang, surat keterangan pindah masih di rumah Bapak, karena baru jadi. Bapak kan baru sempet ngurusin, Mas. Belum lagi kan yang namanya di desa, ngurus dokumen-dokumen penting emang lebih lama daripada di kota."
Afriz mengangguk. Dia mengerti, untuk membuat satu surat pindah saja, ada banyak prosedur yang harus diikuti. Belum lagi laporan-laporan kepada pihak terkait. Masih pula harus mendatangi kantor disdukcapil setempat untuk meminta penerbitan surat pindah, yang mana tempatnya jauh, mencapai belasan bahkan puluhan kilometer.
Belum lagi, pernikahan mereka yang serba mendadak dan sebelumnya tanpa persiapan ke arah situ pun jelas memiliki andil. Jadi, tak mengherankan bila urusan pindah alamat ini agak rumit.
Itu pun belum selesai. Setelah ini, dia juga harus menguruskan surat pindah Zaya ke alamat baru sekaligus mengurus KK baru, yang tentunya memakan waktu tak sedikit.
Afriz terdiam sebentar, mencari solusi. "Tapi buku nikah kita ada, kan?"
Entah mengapa setiap kali teringat hal-hal yang berbau ia dan Afriz sudah menikah, pasti menimbulkan desiran aneh pada diri Zaya selama dua menuju tiga bulan belakangan ini. Konyol, memang. Akan tetapi, ia tak lupa untuk mengangguk.
"Ada kok, Mas. Aku nyimpen yang warna hijau tua. Mas juga nyimpen satu, kan, yang warna merah marun?"
"Iya, ya?" Afriz justru tak ingat. Mungkin karena saking banyaknya urusan, sampai-sampai dia agak lupa. "Nanti kita bicarakan lagi bagaimana kelanjutannya. Mas mau mandi dulu. Apa kamu mau sekalian ikut mandi, biar bisa lanjut ngobrol?" Godaan Afriz ini hanya dibalas decakan kesal nan malu-malu dari istrinya. "Mandi dulu, ya," pamitnya.
Tak sampai empat langkah kakinya menuju ke kamar mandi, Afriz kembali ke tempat Zaya berada. "Beneran, nggak mau ikutan mandi? Seger loh, kalau siang-siang gini mandi," godanya lagi.
"Sana, ah, Mas. Nanti ketinggalan Jumatannya," usir Zaya, sebelum godaan terhadapnya makin menjadi.
Setelah bayangan Afriz sudah tak nampak lagi, Zaya menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Dua bulan menjadi istri pemuda itu ternyata tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Lebih baik ia menyiapkan baju koko, sarung, kopiah, serta sajadah sebelum suaminya itu selesai membersihkan badan.
Karena selain ini adalah tugasnya sebagai istri, walau sudah berusia menjelang 29 tahun, suaminya itu terlalu payah untuk menyiapkan barang-barangnya sendiri. Ternyata hanya fisiknya saja yang sudah dewasa, tetapi sikapnya justru kadang-kadang tak lebih dari seorang balita!
Selesai mandi, Afriz menuju ke kamarnya yang hanya berjarak lima meter dari kamar mandi. Berlilitkan handuk di pinggang, dia masih mendapati Zaya di kamarnya.
Lelaki itu berjalan pelan sambil tersenyum dengan wajah cerah, disertai tetesan air yang mengalir dari rambutnya yang basah. Sementara wanita muda yang sedang memunggunginya itu belum menyadari kedatangannya.
Hahaha. Afriz tertawa di dalam hati. Untuk pertama kalinya setelah beberapa Jumat berlalu berada di bawah atap yang sama, akhirnya dia memperoleh kesempatan agar bisa memperlihatkan tubuh berotot nan seksinya ini kepada Zaya.
Kini wanita muda itu menoleh ke arahnya, disusul pandangan terkejut dan pekikan kaget. Kemudian berbalik arah memunggunginya lagi.
Bukannya enyah, Afriz justru semakin memangkas jarak keduanya. "Sekalian dipakaikan, ya, Ya," pintanya, tepat di telinga Zaya.
Zaya tak kunjung berani menoleh. Ia justru menegang di tempat, begitu mendengar suara lelaki yang begitu dekat. Ia merasa terjebak berada dalam satu ruangan hanya berdua saja dengan sosok di belakangnya ini.
Kemudian Zaya berniat menggeser posisinya untuk lebih menjaga jarak. Namun, ia kalah cepat.
"Kenapa mau kabur, sih? Orang sudah sah, juga." Afriz menumpukan dagunya di bahu sang istri, lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang wanita di depannya itu. "Pakaikan, ya," pintanya sok manja.
Suara itu semakin dekat. Membuat bulu kuduk Zaya meremang seketika. "P-punya tangan, kan?"
"Punya. Terus?"
"Berarti bisa pakai sendiri."
"Ya sesekali kamu pakaikan juga tidak apa-apa padahal."
Zaya mengeluh di dalam hati. Berlama-lama di ruangan yang sama dengan Afriz, selalu saja membuatnya salah tingkah. Ia pun tak yakin bisa mempertahankan diri lebih lama, jika sudah seperti ini.
Apalagi kepala Afriz pun sudah tenggelam di leher Zaya yang tertutup kerudung. Hidung lelaki itu mulai mengendus, menggoda sang istri yang tak berani bergerak lantaran sudah salah tingkah sedari tadi.
Thung-thung. Blung-blung-blung.
Mendengar itu, Zaya menghela napas lega. Ia jadi punya alasan untuk lepas dari jerat pesona Afriz. "Udah bedug, Mas. Buruan pakai baju. Nanti telat, Jumatannya."
"Masih bedug pertama itu."
"Mas, ih."
"Kenapa?"
"Buruan pakai baju."
"Iya, Sayang," sahut Afriz, walau sebelumnya sempat menghela napas kecewa. Namun, tak lama setelahnya dia pun tersenyum. "Dilanjut nanti, ya?" sambungnya seraya melepaskan pelukannya terhadap Zaya.
"Nggak ada."
"Tadi katanya mau lanjut ngobrol soal surat pindah dan pembuatan KK baru. Lupa apa gimana, sih?"
Mendengar ledekan suaminya, Zaya berdecak sebal. Tentu saja malu karena ia sempat berpikir yang tidak-tidak. Mengira bahwa maksud Afriz, nanti suaminya itu akan melanjutkan kegiatan barusan, padahal bukan.
"Iiiiih. Tau, ah!" Lalu Zaya berlari ke luar kamar, meninggalkan laki-laki yang sedari tadi tak bosan-bosannya menguji dan menggodanya ini.
Afriz justru tertawa melihat ekspresi Zaya sebelum keluar dari kamar ini. "Duh, manis banget sih istriku."
Ya, sama-sama menerima pernikahan ini ternyata menyenangkan juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yunisa
Zaya nya malu2 kucing Mas Afriz
2022-11-14
1