"Pemandangan di sini benar-benar bagus, ya, Pak," ucap Afriz tanpa mengurangi konsentrasinya pada motor yang sedang dikendarainya.
"Oh, ya jelas. Kampungnya Bapak, kok," tanggap Pak Kuswin setengah bercanda. "Makanya kamu sering-sering ke sini, biar Bapak bisa mengajak kamu jalan-jalan keliling kampung," lanjutnya.
Afriz tentu saja mengiyakan perkataan ayah mertuanya itu. Lalu dia berkonsentrasi penuh untuk mengendalikan laju motor yang kini melintasi kubangan air sisa hujan tadi malam. Selain becek dan licin, jalannya pun naik-turun.
"Wuuu!" teriaknya saat berhasil melewati kubangan lumpur.
Dia benar-benar seperti kembali ke mana muda, ketika masih sering trek-trekan bersama teman-temannya. Beruntung, motor yang dipakai kali ini sudah terbilang butut, walau tenaganya masih prima. Jadi dia tak khawatir akan merusak motor milik bapak mertuanya ini.
Sedangkan Pak Kuswin hanya tertawa melihat tingkah menantunya yang seolah mendapatkan mainan baru. "Kamu suka trek-trekan, ya, Le?" tanyanya.
"Wah iya, Pak. Dulu, tapi."
"Pantesan terasa gesit, walaupun jalannya jelek dan motor Bapak sudah butut seperti ini."
Afriz hanya tertawa menanggapi pernyataan Pak Kuswin. "Malah asyik lho, Pak."
"Nanti berhenti di ujung turunan, ya, Le."
Bagi Afriz, tidak ada salahnya menjadi penurut terhadap mertua yang seru seperti Pak Kuswin. "Siap, Pak."
Motor berhenti di tempat yang dimaksud oleh Pak Kuswin. Afriz dan pemboncengnya pun turun, kemudian mengangkat seikat besar rumput segar untuk dinaikkan ke motor.
Pak Kuswin dengan telaten mengikatkan rumput dan motor menggunakan tali dari ban dalam bekas.
"Bisa bawanya, Le?" tanya Pak Kuswin memastikan, mengingat ukuran sekumpulan rumput yang diikat itu mencapai dua setengah kali tubuh Afriz.
"Bisa, Pak. Aman," sahut Afriz mantap. Perasaannya membuncah karena nanti dirinya akan trek-trekan lagi. Dia benar-benar mendapat mainan baru.
"Ya sudah. Nanti kalau kesulitan ngangkatnya, kamu taruh di halaman rumah saja. Kita taruh di kandang sama-sama kalau Bapak sudah pulang, ya, Le."
"Ya, Pak." Afriz mengatur gigi motor. "Jalan dulu, ya, Pak. Assalamu'alaikum."
Afriz melajukan motor secara hati-hati. Ini agak lebih sulit daripada saat berangkat tadi, karena sekarang dirinya membawa beban rumput.
Perjalanan yang sulit ini, mau tidak mau membuat Afriz takjub atas ketangguhan mertua laki-lakinya, yang belum dia miliki seujung kuku pun. Jika sebelumnya dia mengagumi pengendara motor mahal yang sengaja melintasi jalur sulit karena hobi, kini pandangannya sudah jauh berubah.
Orang Dusun Matamu, khususnya sang mertua, justru naik motor seadanya sambil membawa beban yang berkali-kali lipat lebih besar daripada berat tubuhnya sendiri. Jalur yang dilewati adalah jalan yang biasanya dilalui oleh motor trail yang terkenal mahal. Bukan atas nama hobi yang mempersulit diri sendiri, tetapi memang inilah cara warga lokal memanfaatkan teknologi untuk meringankan pekerjaan.
Jarak berkilo-kilometer ditempuh oleh Afriz selama 20 menit. Lelaki itu berhenti di halaman rumah Pak Kuswin dengan wajah cerah, sampai-sampai Zaya yang sedang menjemur pakaian dibuat heran olehnya.
Afriz tak berbicara. Dia hanya bersiul-siul riang saat turun dari motor, kemudian melepaskan tali yang mengikat rumput dengan motor. Lalu lelaki itu mengangkat rumput tersebut untuk diletakkan di halaman rumah. Setelahnya, dia naik motor lagi, kemudian tanpa sepatah kata, melesat ke tempat Pak Kuswin sedang menunggunya.
Seikat besar rumput sudah menanti untuk diangkut lagi. Sebelum mengangkat dan memosisikan rumput di motor, Pak Kuswin menanyakan perjalanan Afriz barusan, khawatir kalau menantunya itu kapok membantu.
"Mana mungkin kapok. Malah asyik, kok. Jauh lebih menantang ketimbang hobi saya dulu."
"Kalau begitu, ini diangkut lagi, ya."
Setelah semuanya siap, Afriz melaju lagi.
Pak Kuswin menatap kepergian menantunya dengan pandangan takjub. Merasa beruntung karena anaknya mendapatkan suami yang begitu pengertian sekaligus konyol seperti itu. Benar-benar menantu jempolan!
Tak ada alasan baginya untuk tidak memercayakan masa depan putrinya kepada sosok yang kian jauh itu.
...***...
Sebuah map kertas berisi beberapa dokumen yang tadi diserahkan oleh Pak Kuswin sudah ada di tangan Zaya. Selembar surat pindah domisili, satu lembar akta kelahiran milik Faiz yang semula tertinggal, dan beberapa lembar dokumen penting pribadi Zaya lain yang sekiranya akan dibutuhkan.
"Sudah lengkap, kan, Yang?"
Saat Afriz mengatakan panggilan sayang untuk Zaya dengan begitu santainya, reaksi Zaya justru sebaliknya. "U-udah kok, Mas."
"Tadi kenapa sampai kelupaan?"
Zaya meringis. "Aku ingetnya ini udah dimasukin ke tas."
"Oh, gitu?" Afriz mengangguk-angguk paham, dengan mata yang masih fokus pada jalan. "Terus, tadi kenapa kurang semangat pas diajak pulang? Kenapa?"
Wajah Zaya seketika memerah, seperti ketahuan sesuatu. "Nggak, nggak apa-apa. Aku cuma masih kangen sama Bapak dan Ibu."
Afriz tak menanggapi. Entah. Mendengar istrinya masih merindukan orang tuanya setelah menginap selama tiga hari dua malam, menjadi sesuatu yang mengusik nurani. Seharusnya dia memaklumi hal tersebut. Tetapi nyatanya dia cukup terganggu.
Pernyataan Zaya barusan membuatnya merasa menjadi pemimpin yang gagal memunculkan rasa nyaman di rumah mereka sendiri. Sampai-sampai istrinya malah lebih nyaman di tempat orang tuanya.
"Sebelum kita pulang, kita ngobrol-ngobrol dulu. Ada yang mau Bapak bicarakan terkait masa depan pernikahan kamu dengan Zaya."
Kedua mata Afriz melebar karena terkejut. "Maksud Bapak?"
"Sebelumnya Bapak berterima kasih karena kamu sudah bersedia menerima anak Bapak apa adanya. Bapak juga minta maaf kalau mungkin anak Bapak belum bisa memberikan yang terbaik untuk kamu, Le. Hanya saja, Bapak rasa hubungan kalian tidak bisa begini terus-terusan."
"Tapi hubungan kami baik-baik saja, kok, Pak."
"Ya, Bapak tahu itu. Hanya saja, Bapak dengar selentingan kalau kalian belum melakukan hubungan suami istri."
Mendengar pernyataan Pak Kuswin, Afriz seketika gelagapan. "Bapak ... tahu dari mana?"
"Istri kamu sendiri yang bilang ke biyung kalian."
Afriz mendesah. Istrinya itu. Kenapa tak bisa menjaga rahasia mereka, sih? Kalau sudah begini, runyam sudah semuanya. Bisa-bisa dia disangka laki-laki tak normal, pemimpin yang gagal, pengantin baru tak masuk akal, dan entah apa lagi.
"Bapak memang tak punya wewenang untuk mengurusi urusan ranjang kalian. Tapi Bapak sudah menyerahkan Zaya kepada kamu sejak hampir 3 bulan ini. Itu artinya Zaya sudah menjadi hak kamu, Le. Walau harus Bapak akui kalau anak Bapak mungkin kurang menarik hati kamu."
"Bukan begitu, Pak. Sejak awal, kami memang sudah sepakat untuk tidak punya anak dulu. Mungkin nanti, menunggu Faiz agak besar. Saya juga merasa kalau kami ini memang masih perlu waktu untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain."
Tanpa sadar Afriz mendesah. Dia tak yakin dengan omongannya sendiri kepada mertuanya itu, mengingat bagaimana interaksinya dengan Zaya yang sampai sekarang masih seperti orang asing yang terpaksa tinggal di bawah atap yang sama
Walau akhir-akhir ini lebih mending daripada saat awal mereka hidup bersama, tetap saja dia merasa belum berhasil mendobrak jarak di antara keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yunisa
Mas Afriz itu kerjanya apa Thor?
2022-11-14
0
Indah_usi
next next next secepatnya semangat ngetiknya dtunggu kelanjutan nya
2022-05-22
0