Setelah Jumatan

Seorang lelaki sepuh sedang membaca khotbah dari kitab yang mungkin usianya lebih tua dari umur pembacanya. Suaranya menyejukkan, walau terucap datar dan penyampainya yang berkacamata itu sering terbatuk-batuk. 

Di telinga Afriz, isi khotbah kali ini bukanlah hal yang baru ditemuinya. Walau begitu, ia tetap menikmati sekaligus memetik manfaat khotbah itu sebagai nasihat yang belum terkontaminasi oleh riuhnya kehidupan duniawi.

Betapa pun juga, banyak hal yang tak bisa dianggap sepele dari petuah laki-laki sepuh yang sedang berdiri di mimbar masjid itu.

Seusai salat Jumat dan sejenak bertegur sapa dengan sesama jemaah masjid, Afriz bergegas pulang.

Sebab, pada Jumat-Jumat sebelumnya, sehabis dari masjid, ada seseorang yang pasti sudah menunggu kepulangannya untuk menyantap makanan yang disiapkan siang ini secara bersama-sama. Mengingat itu, perutnya jadi lapar.

Tak salah lagi. Sejak lelaki itu memarkirkan motor bebeknya di bawah pohon jambu di halaman rumah, bau harum masakan sudah memenuhi indra penciumannya. Ia menuju ke sumber bau itu.

"Assalamu'alaikum," sapanya.

"Wa'alaikumsalam. Mas udah pulang?" tanya Zaya yang masih sibuk mengangkat panci.

Afriz nyengir, sambil menggeser kursi. "Iya. Sudah lapar juga."

"Sebentar, ya, Mas. Sabar dulu, ini sayurnya baru sempet aku angkat."

Afriz mengangguk mengerti. Dia yang baru saja mendaratkan pantatnya di kursi meja makan, kemudian bangkit untuk mengambil piring di rak, bermaksud membantu istrinya.

Tidak lupa, pemuda itu juga memilih sendok yang akan digunakan. Sementara istrinya sedang menuangkan masakan berkuah ke mangkuk berukuran sedang.

"Dari baunya kayaknya enak, Ya."

"Insyaallah, nggak hancur kayak masakan yang dulu," kekeh Zaya, yang mau tak mau membuat Afriz mengingat kejadian tempo hari saat pertama kali Zaya memasakkan untuknya.

Ya, memang pengalaman pertama akan selalu berkesan, entah baik entah buruk. Sayangnya, kesan yang ditimbulkan dari masakan pertama Zaya untuknya tak bisa dikatakan baik, walau tak buruk-buruk amat. Beruntung, istrinya itu tak kapok memasak makanan untuknya, dan dengan telaten belajar dari pengalaman. Makin ke sini, rasa masakan Zaya kian membaik.

Sayur asem, sambal, tempe goreng, dan kerupuk ikan sudah tersedia di meja. Walau hanya melihat menu sesederhana itu, perut Afriz justru makin berdemo.

Zaya pun sudah mengambilkan dua centong nasi panas untuk suaminya. "Mas mau makan sama apa?"

"Semuanya, lah."

Zaya terkikik sebentar, sebelum tangannya mengambilkan nasi untuk sang suami.

Tak lama setelahnya, ketika Zaya mengangkat sendok sayur untuk mengambil sayur asem, terdengar suara tangisan Faiz.

"Biar Mas ambil sayurnya sendiri saja, Ya. Kasihan Faiz kalau harus nunggu."

"Nggak apa-apa, Mas, kalau aku tinggal?"

"Sana, buruan ke tempatnya Faiz. Ajak dia ke sini sekalian." Tanpa menjawab pertanyaan Zaya, Afriz menitahkan agar istrinya itu tak banyak tanya.

Dapat Afriz lihat bahwa wanita muda berhijab itu mengangguk dan bergegas menuju sumber tangisan. Dipandangnya punggung perempuan itu, dan ia menghela napas. "Rasanya masih tak percaya, lihat perempuan semuda kamu sudah harus serepot ini, Ya."

Dia tak bisa membayangkan ada berapa perempuan dengan nasib serupa yang harus menghidupi anak sendirian. Belum lagi kehidupan sosial yang tentunya tak bersahabat. Belum lagi harus menahan keinginan pribadi demi anak yang sebetulnya tak diharapkan kehadirannya.

Walau dia sadar betul bahwa itu semua adalah akibat dari pribadi mereka sendiri. Tetapi tetap saja, dia merasa tak tega.

Afriz cepat-cepat menghabiskan makan siangnya. Lalu mengambil piring bersih, berniat mengambilkan nasi beserta pendampingnya untuk seseorang yang seharusnya melahap makanan ini bersamanya.

Tak lama setelahnya, Zaya keluar dari kamar.

"Ya, kamu belum makan, kan? Ini, makan dulu, sudah Mas ambilkan, kamu tinggal ambil sambalnya," tawarnya.

"Taruh di situ aja, Mas. Nanti aku makan."

Mau tak mau, akhirnya Afriz mendekat pada sosok itu. "Faiz biar sama Mas. Kamu makan dulu. Ini sudah terlalu siang. Tidak usah nanti-nanti menunggu malam makannya."

Sudah bukan hal baru lagi bagi Afriz untuk bergantian dengan Zaya mengurus Faiz. Ketika makan, salat, mandi, mereka bergantian menjaga balita itu. Walau kadang dia dibuat kesal juga oleh balita gemuk itu, tatkala tak mau mengerti keadaan ibunya yang sudah kewalahan.

Faiz mengerjap-ngerjap lucu saat menatap Afriz, sebelum akhirnya dia benar-benar berpindah tangan. 

"Kamu itu makin ke sini makin kurusan, Ya. Sudah kurus ya makin kurus, kalau setiap waktunya makan kamu selalu bilang nanti-nanti. Padahal makin hari si Faiz makin gede saja badannya. Kamu saja udah susah tiap gendong dia," ucap Afriz sambil menduduki kursi di sebelah tempat duduk Zaya. Setelahnya, dia berusaha mengajak ngobrol anak yang ada di pangkuannya ini.

"Iya, Mas."

Lalu tidak ada percakapan setelahnya, karena kedua manusia itu sibuk dengan urusan masing-masing.

"Soal surat pindah buat mengurus KK baru kita, kalau mau mengambil dalam waktu dekat ini, Mas belum bisa. Masih ada banyak kerjaan yang belum beres. Jadi kita cari waktu yang pas saja, tapi jangan dalam waktu dekat ini," mulai Afriz sesudah Zaya selesai makan.

"Ya udah, biar aku ambil sendiri aja ke rumah bapak."

"Memangnya berani?" tanya Afriz kurang yakin.

"Berani, lah. Kan naik angkutan umum. Aman, Mas. Nggak bakalan nyasar juga.

Afriz mencari kesungguhan dari mata lawan bicaranya. "Yakin?"

Zaya mengangguk mantap. "Yakin banget. Tapi aku mau nginep, biar bisa sekalian ngelepas kangen ke bapak dan ibu. Boleh, kan, Mas?"

Afriz berpikir sejenak, menimbang keputusan terbaik. "Tapi di sananya jangan lama-lama. Semalam saja."

"Ya nggak ilang dong, kangennya. Seminggu, deh. Boleh?"

Afriz menggeleng.

"Lima hari?"

Lagi-lagi Afriz menggeleng.

"Empat hari?"

Untuk ketiga kalinya Afriz menggeleng.

"Tiga hari?"

"Misalnya kamu berangkat besok sore, lusa pagi harus sudah pulang."

"Yaaah." Zaya mendesah kecewa. "Nggak ilang kangennya, Mas."

"Ya terus?"

"Tiga hari, ya?"

"Begini. Mas mengerti, kamu sudah nabung kangen ke keluarga kamu di Karang Kidul, dan kamu butuh waktu lebih lama di sana biar hilang kangen. Tapi, kan ...." Afriz tak sampai hati untuk melanjutkan kalimatnya. "Ya sudah, lah. Kamu boleh tiga hari di sana, tapi berangkatnya tiga atau empat hari lagi, sewaktu Mas ke luar kota. Jadi, kamu tidak kesepian di rumah."

Mata Zaya yang sedari beberapa waktu lalu terfokus pada Afriz, seketika berbinar. "Beneran?"

"Iya. Kamu berangkatnya hari Senin atau Selasa. Jadi, Jumat sudah balik. Gitu, ya?"

Zaya mengangguk antusias. Nikmat mana lagi yang harus ia dustakan?

Saking bahagianya, Zaya sekarang mengambil secentong nasi. "Aku jadi laper lagi, Mas."

Afriz menggeleng-geleng. "Makan yang banyak, biar badan agak berisi."

"Badanku emang segini-segini aja, Mas. Berisi juga biar apa?"

"Ya kalau kita mau kangen-kangenan setelah pisah beberapa hari kan meluknya jadi enak."

Eh, ngomong apa sih, Friz? Afriz mendadak kikuk saat menyadari perkataannya barusan.

"Bilang apa, Mas?"

Bersambung ❤️❤️❤️

Terpopuler

Comments

Yunisa

Yunisa

Semoga Mas Afriz bener2 sayang dan cinta dgn Zaya dan juga Faiz

2022-11-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!