"Adiknya kan sudah hamil lumayan besar. Kakaknya kapan?" tanya ibu mertua Nida dengan jail.
"Eh, saya? Saya nggak mungkin hamil, Tante. Saya kan laki-laki." Afriz hanya nyengir saja saat menjawab. Asal-asalan memang. Tetapi harapannya, pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang menjurus itu akan berhenti tertuju padanya dan juga Zaya.
"Kamu ini lucu. Ya bukan kamu, lah. Maksud saya, istri kamu."
"Nanti-nanti, Tan. Soal momongan, kami sih santai. Lagian, saya dan istri masih perlu banyak waktu untuk pacaran." Afriz menatap istrinya. "Iya, kan, Sayang?"
Zaya menoleh ke samping, begitu mendengar perkataan suaminya. Ia mendapati tatapan Afriz yang tertuju padanya. Wajahnya seketika memerah. Lalu tersenyum malu. "Iya," jawabnya.
"Abang sih emang maunya pacaran mulu." Anida menimbrung pembicaraan ketiganya, yang mau tak mau menimbulkan tawa orang-orang di sekitarnya.
"Papa sudah siap?" tanya Afriz saat Pak Hidup sudah ada di sekitarnya.
Afriz memang mengajak ayahnya untuk tinggal bersama, supaya bisa lebih intens memantau kesehatan sang ayah yang selama ini tinggal sendirian di rumahnya.
Ya, sebuah usaha untuk mendekatkan diri dengan sang ayah, mengingat hubungan mereka beberapa tahun ini sedang kurang dekat. Harapannya pula, Zaya bisa menjembatani jurang kecanggungan yang ada.
Afriz, Zaya, dan Pak Hidup minta diri. Segera meluncur ke tempat yang menjadi tujuan: rumah pribadi Afriz.
Pak Hidup mencium pipi Faiz yang semakin tembam. "Kamu kangen Kakek, kan? Nanti kamu tidur dengan Kakek, ya?" tawarnya, seolah-olah Faiz mengerti dengan perkataannya.
"Eh, Faiz biasa tidur dengan saya." Zaya menoleh ke jok belakang. "Dia biasanya agak rewel kalau mau tidur," tambahnya, memperkuat alasan.
"Tidak apa-apa. Faiz tidur dengan Papa saja. Faiz sepertinya kangen dengan Papa. Tadi kan Afriz juga bilang sendiri kalau masih perlu pacaran. Ini Papa kasih waktu untuk berduaan."
Aduh! Zaya menjerit di dalam hati.
"Gimana, Mas?" bisik Zaya.
"Kalau Mas di rumah kan memang sesekali kita tidur sekamar. Tadi malam juga sekamar. Jadi ya nggak masalah kalau kita tidur sekamar."
Masalahnya, jika biasanya tidak ada kontak fisik yang berarti selama tidur berdua, tadi malam ada rabaan-rabaan di luar dugaan Zaya.
Namun, Afriz tetap cuek. Dia terus fokus pada jalan yang sedang mereka lalui. Sebab, kalau dia punya keinginan untuk melanjutkan kegiatan mereka tadi malam, tidak masalah juga.
...***...
Ayo ke sini, Sayang."
Faiz menatap Pak Hidup, kemudian tertawa. Sereal yang dipegangnya dia makan, kemudian balita itu berdiri. Setelah itu, berjalan pelan menuju ke arah Pak Hidup. Beberapa kali ia terjatuh karena keseimbangannya belum terlalu stabil, tetapi malah tertawa. Sampai akhirnya ia tiba di depan laki-laki yang sedari tadi mengajaknya bermain.
"Cucu Kakek sudah pandai jalan, ya?"
Faiz hanya memamerkan gigi-giginya. Kemudian fokus kepada mainan berbentuk lingkaran yang ada di hadapannya.
Melihat pemandangan yang ada, Zaya yakin bahwa Pak Hidup masih percaya bahwa Faiz adalah anak kandung Afriz, sebagaimana apa kata pria itu saat pertama kali mereka berjumpa.
"Biarkan Afriz bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan terhadap kamu sebelum Faiz datang ke dunia."
Serentetan kalimat yang terucap dari mulut Pak Hidup justru membuat Zaya semakin tak mengerti. "Bapak bicara apa, sih?"
"Faiz itu anak kalian, kan? Anak kandung Afriz juga, kan?"
Sudah lima belas detik berlalu, tetapi Zaya masih sibuk mencerna maksud dari pria di hadapannya. Mengapa bisa, ayah Afriz sampai berpikir kalau mereka, ia dan Afriz, ada hubungan yang lebih dari sekadar atasan dengan pegawai?
"Ya, saya pernah menolak beberapa calon istri yang Afriz bawa. Bisa jadi, selama ini kalian menikah siri di belakang saya karena Afriz khawatir saya tidak merestui hubungan kalian, makanya kamu muncul sekarang sebagai pegawai Afriz. Itu karena ingin memberitahu saya pelan-pelan, supaya penyakit jantung saya tidak kumat."
Apa lagi ini?
Zaya tak menyangka bahwa waktu istirahatnya pada Rabu siang ini akan diisi dengan kekonyolan tanpa sebab semacam ini. Kekonyolan yang justru menimbulkan tanda tanya besar serta membuat tubuhnya mulai berkeringat dingin.
Dirinya dan Afriz sudah menikah secara siri?
Kapan?
Lalu Faiz adalah hasil hubungannya dengan Afriz?
Hanya karena nama mereka sedikit mirip?
Afriz? Faiz?
Hipotesis macam apa itu?
"Eh, jangan dimakan. Ini bukan makanan."
Suara itu berhasil mengingatkan Zaya bahwa sekarang ada satu anak berpipi tembam yang harus ia bujuk untuk tidur.
Faiz menirukan Pak Hidup yang menggeleng. Kemudian dia berdiri dan berjalan lagi. Akhir-akhir ini, balita itu memang sedang suka berjalan walau amat pelan. Kalau merasa capek, dia akan duduk sembarangan disertai tangan yang sibuk memegang sesuatu.
"Faiz mainnya udahan, ya? Udah malem, kamu tidur dulu. Ya?" Zaya berusaha menggendong balita 12 bulan itu.
Tetapi lawan bicaranya tersebut malah berdiri dan berjalan. Berpindah tempat, tanpa mengindahkan ajakan untuk tidur, walau ini sudah pukul setengah sepuluh malam.
"Faiz." Zaya tetap memanggil dan mengajak anak tambun itu agar mau segera tidur. "Itu Kakek udah capek. Kamu juga capek, kan?"
Anak itu menggeleng sambil tersenyum. Berjalan menghampiri Pak Hidup sambil memekik senang, lalu menunjukkan sebuah mainan yang kini ia pegang. Setelah itu dia duduk di pangkuan Pak Hidup.
"Biar begini dulu, Ya. Kamu kalau mau ke kamar, ke kamar saja dulu. Biar Papa yang nanti menidurkan Faiz. Ini dia sudah mulai ngantuk. Sudah mulai merem-merem begini."
Mendengar itu, Zaya yang sudah mengenakan setelan baju tidur tak segera beranjak. Ia merasa belum tenang kalau Faiz belum tidur, karena balita itu sering rewel saat menjelang waktu tidur. Pun tak ingin merepotkan mertuanya. Terlebih, dengan memastikan sampai Faiz terlelap, ia bisa sekalian menunggu suaminya tidur terlebih dulu.
"Papa ke kamar dulu, ya," pamit Pak Hidup, dengan Faiz yang sudah digendongnya di bahu. Balita itu benar-benar sudah tertidur.
"Nggak apa-apa, Faiz tidur dengan Papa?" tanya Zaya tak begitu yakin.
"Tidak apa-apa," bisik Pak Hidup nyaris tanpa suara. "Sana, kamu ke kamar."
Menelan ludah sebentar, Zaya mengangguk. Begitu mertuanya sudah menutup pintu kamar, ia berbalik ke arah kamar yang kini ditiduri oleh Afriz. Ia melangkah dengan ragu, menimbang-nimbang sekaligus berdoa kalau suaminya itu sudah tidur pulas.
"Eh, Mas belum tidur?" tanyanya, begitu ia masuk kamar dan melihat Afriz masih terjaga.
"Belum," jawab Afriz singkat. "Pintunya dikunci sekalian," lanjutnya.
Pintunya dikunci sekalian. Zaya mengulang perintah Afriz di dalam hati. Ragu, ia melakukan apa yang dikatakan oleh suaminya itu.
"Sini, duduk." Afriz menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya.
Menundukkan kepala, Zaya mulai mendekat kepada suaminya. Lalu duduk di pinggir ranjang, dengan jarak yang cukup dekat dengan Afriz.
"Aku pegel-pegel, nih. Pijetin, ya, Yang?" pinta Afriz, seraya membalik posisi memunggungi Zaya.
Walau sempat dilanda kegugupan, kini Zaya sudah memosisikan diri senyaman mungkin untuk memijat suaminya. Lalu menekan-nekan punggung Afriz menggunakan jempolnya yang mungil.
"Ini kamu lagi mijit apa gelitikin, sih?"
"Mijit, lah."
"Mijit apaan? Dari tadi aku malah geli. Aduh," erang Afriz, begitu Zaya menambah kekuatannya. Istrinya itu jadi mengamuk setelah ia ledek.
"Rasain. Dikiranya aku nggak bisa mijit keras-keras, apa?"
"Aduh, jangan keras-keras, Yang. Ini sih bukan mijit, tapi ngamuk."
"Terus maunya Mas gimana?" Zaya memelototi punggung Afriz secara gemas. "Tadi katanya gelitikin, sekarang katanya ngamuk?"
"Ya yang kerasa, tapi jangan kenceng-kenceng."
"Mas sih enak protes mulu." Walau terus-terusan menggerutu karena protes-protes suaminya, Zaya sama sekali tak menghentikan pijatannya.
"Nah, gini udah enak, Yang."
Mereka tetap berada di posisi yang sama, tanpa ada protes. Zaya masih mempertahankan kekuatan pijatannya. "Besok jadi pergi?"
Afriz yang sedang meresapi pijatan dari istrinya itu menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Iya."
Zaya memang harus makin terbiasa dengan Afriz yang kerap bepergian. "Berapa hari?"
"Empat sampai lima hari. Tapi kalau cepat beres, ya pulangnya bisa lebih cepat."
"Oooh." Mulut Zaya tampak bergerak-gerak gelisah, seolah hendak mengatakan sesuatu. "Eh, Mas," panggilnya.
"Iya?"
Zaya nyengir dari balik punggung Afriz. "Nggak jadi."
Kemudian, hening. Detak jam dinding dan deru napas keduanya terdengar lebih keras.
"Lama-lama pegelnya Mas pindah ke aku, nih," keluh Zaya, memberi kode agar Afriz memintanya berhent, sekaligus memecah keheningan yang sama sekali tak mengenakkan.
Suaminya seketika membalikkan tubuh, menghadap Zaya. "Mana yang pegel? Aku siap mijitin," cengirnya.
"Itu sih maunya Mas!" Zaya refleks mendorong bahu suaminya seraya menggerutu, lalu tertawa.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan kontak fisik tersebut. Yang menjadi masalah adalah kelima jemari Afriz yang kini menggenggam tangan yang digunakan oleh Zaya untuk mendorongnya barusan. Entah. Sepertinya Afriz refleks melakukan pertahanan diri dari serangan istrinya itu. Namun, genggaman tersebut tak kunjung ia lepas. Ditegaskan pula dengan senyuman yang kini menghiasi bibir pemuda itu.
Senyuman dan tatapan Afriz membuat Zaya salah tingkah, karena itu tampak aneh. Zaya tak mengerti makna senyum dan tatapan yang ia terima. Yang ia tahu, sekarang kakinya seolah membeku. Mendadak hawa dingin menjalari tubuhnya dengan tak wajar. Tetapi hal tersebut tak mampu mengalihkan arah pandang Zaya dari mata Afriz yang kini juga menatapnya dengan sorot ... ingin.
Semuanya terjadi begitu cepat. Sejak wajah Afriz semakin mendekat, sementara mata Zaya terpejam erat. Tatkala tubuh keduanya kian merapat.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yunisa
iyakah??
2022-11-14
0
Indah_usi
oke dtunggu kelanjutan nya, semangat ngetiknya secepatnya
2022-05-23
0