Sesuai rencana sebelum magrib tadi, Afriz dan Zaya kini tengah menuju ke rumah Nida dan sang suami untuk setor muka. Ada canggung yang menggelikan selama mereka berada di perjalanan.
"Kalau boleh tahu, kamu mulai pakai kerudung sejak kapan?" tanya Afriz memecah hening, sembari melirik Zaya sekilas sebelum perhatiannya kembali kepada kemudi.
Zaya yang semula hanya melihat ke arah depan, kini menoleh. Tak mengerti harus menjawab apa. Sebab, mau tak mau ia harus mengingat kapan ia mendapatkan sedikit hidayah untuk berhijrah itu. "Sejak masuk SMP, tapi cuma pakai kalau sekolah sama ngaji aja. Hehehe. Lagian waktu itu aku baru punya dua kerudung selain yang buat sekolah," cengirnya, menahan rasa malu mengingat-ingat masa remajanya.
"Berarti sudah ngerti salah satu kewajiban kamu sejak remaja. Jadi, sudah alim sejak SMP, dong, ya?" canda Afriz.
"Enggak gitu juga, sih. Awalnya aku nggak tahu kalau itu kewajiban. Waktu itu rambutku sering mau diminta sama temen-temen cewekku, jadinya ini aku tutupin."
Dalam konsentrasinya terhadap jalan, Afriz tersenyum tipis. Dia tak membantah sebuah fakta jika rambut perempuan di sebelahnya itu hitam dan indah tanpa dibuat-buat.
"Mana lagi tiap kali aku jalan kaki, terus lewat di depan cowok-cowok yang lagi nongkrong, sering disiulin. Jadinya lama-lama aku malu juga kalau keluar-keluar nggak pakai kerudung."
"Kenapa mesti malu? Bagus dong, digodain cowok-cowok. Kan cowok-cowok juga mana mau godain cewek yang nggak menarik." Setelah mengatakan itu, Afriz menggigit bibir bawahnya, menahan tawa yang entah mengapa sulit untuk dikendalikan. Apalagi saat lirikannya mendapati wajah Zaya yang tampak berpikir, entah dalam rangka apa.
"Ya tapi kan kayak gitu bikin enggak nyaman. Mas nggak tahu sih, cowok-cowok kalau godain suka gitu."
"Gitu gimana? Terkesan kurang ajar, gitu?"
"Ya itu Mas tahu sendiri."
"Tapi kan Mas cowok juga loh, ini. Makanya tanya dari segi pandang perempuan itu bagaimana. Karena setahu Mas, minimal yang dulu pernah Mas goda malah bangga."
"Eh?" Zaya berdeham untuk menetralkan efek canggung yang tiba-tiba melanda. "Mas kan emang gitu, genit," katanya, terlampau jujur. "Eh, enggak genit ding ... emmmm, cuma anu ...."
"Apa, anu-anu?" tanya Afriz, lagi-lagi menahan senyum. "Ambigu, Yang. Bikin ingat yang tadi sore," lanjutnya.
Zaya memalingkan muka ke jendela di sisi kirinya. "Nggak usah bahas itu, Mas."
"Kenapa? Mending praktik langsung, ya?"
"Maaaasssss!" teriak Zaya.
Wajahnya memerah, menahan malu. Karena jujur saja, bagi dirinya, kejadian tadi sore itu sensasinya tak bisa ia nalar. Membuatnya sakit dan canggung, tetapi sekaligus membikin penasaran untuk mencoba dan merasakannya lagi.
Begitu tersadar dari pikiran tak beresnya, Zaya menggeleng-geleng. "Kacau nih, kacau," tepisnya di dalam hati.
"Pernah pacaran nggak sih, Yang?"
"Hah?" Zaya menoleh, lalu mendapati suaminya itu fokus pada setir. Jadi, ia tak yakin pada apa yang ia dengar barusan.
"Kamu pernah pacaran?" ulang Afriz.
Zaya menggeleng polos. "Belum pernah."
Tawa kecil Afriz terdengar juga. "Pantesan."
Mengetahui fakta baru ini, Afriz jadi tak heran ketika Zaya begitu kaku, sedikit-sedikit merona malu, dan kerap menyembunyikan wajah saban kali menghadapinya, terlebih ketika pembicaraan mereka mulai menjurus. Karena memang secara harfiah, dirinyalah pacar pertama istrinya tersebut. Walau sudah jelas-jelas bahwa cinta pertama gadis, eh perempuan di sampingnya itu bukanlah dirinya.
"Kenapa cekikikan?" tanya Zaya curiga. "Ngetawain karena sampai umur 20-an aku belum pernah pacaran?"
"Siapa yang ketawa? Mas kan cuma senyum, tapi ada suaranya."
Refleks, Zaya mencubit lengan suaminya.
"Duh," ringis Afriz, melepaskan lengannya dari serangan cubitan istrinya. Lalu tawanya terbit lagi. "Lagian bagus, dong, kalau kamu belum pernah pacaran sebelumnya. Mas kan jadi nggak perlu repot-repot nanya kamu pernah ngapain saja selama pacaran dulu, karena Mas jadi orang pertama yang ngapa-ngapain kamu."
"Maaaaaasssss!" teriak Zaya seraya mencubit laki-laki di sebelahnya itu, berkali lipat lebih keras dari sebelumnya.
"Nanti ya, Sayang, sepulang dari tempatnya Nida kita pacaran. Nanti Mas apa-apain lagi kayak tadi sore."
Zaya berteriak lagi, untuk menghentikan godaan-godaan Afriz terhadapnya. "Maaaaasssss!"
Afriz hanya tertawa. Sedangkan jantung Zaya berdebar kencang untuk kesekian kalinya pada hari ini. Tidak bisakah suaminya itu membiarkan jantungnya berdetak normal?
Jalanan ramai namun lancar, sehingga Afriz bisa menstabilkan laju mobilnya. Mereka tak harus sering berhenti di jalan karena kemacetan.
...***...
Baru juga Afriz dan Zaya tiba di kediaman Nida, suasana rumah adik Afriz itu begitu ramai. Maklum saja, sudah lama tak ada kelahiran bayi di keluarga besar suami Nida. Maka tak heran jika kelahiran bayi perempuan itu disambut dengan gegap gempita.
Zaya dan Afriz menyalami satu per satu anggota keluarga yang mungkin baru pertama kali Zaya temui.
"Saya kakak iparnya Kak Nida." Zaya memperkenalkan diri dengan cara yang aneh.
"Eh, ini perkenalannya bagaimana, sih? Dia kakak iparnya Nida, tapi memanggil Nida dengan sebutan 'Kak'. Kok bisa begitu?" tanya salah satu kerabat suami Nida, heran.
Pak Hidup tersenyum tenang. "Memang dia menikah dengan kakaknya Nida, tapi usia dia lebih muda dari Nida," terangnya tanpa mengurangi senyuman.
"Oooh, pantesan. Jadinya memang aneh, ya? Menikah dengan kakaknya, tapi usianya lebih muda dari adik suaminya. Hahahaha."
Zaya hanya tersenyum menanggapi seloroh barusan. Ia tak terlalu kaget. Karena situasi yang menimpanya memang sekonyol itu. "Hehehe," tanggapnya mengimbangi candaan tersebut. "Ya sudah, saya ke sana dulu." Tatapan perempuan itu kini tertuju kepada Afriz. "Ayo, Mas, lihat bayinya."
"Kamu duluan saja, bentar lagi Mas nyusul," balas Afriz seraya tersenyum.
Zaya mengangguk, lalu melangkah ke tempat Nida dan bayinya berada. Langkahnya pelan, karena harus menahan perih sisa kegiatannya dengan Afriz tadi sore. Beruntung, sejauh ini tak ada yang menyadari perubahan pada cara jalannya.
Langkahnya semakin mendekati kamar Nida, setelah mendapatkan informasi keberadaan orang yang hendak ia kunjungi. Lalu ia tersenyum saat melihat adik iparnya itu sedang duduk sambil memangku si bayi. Ia pun dapat melihat sosok perempuan selain Nida yang kini berjalan ke arah pintu, sepertinya telah selesai menjenguk Nida dan bayinya.
Begitu berpapasan dengan perempuan itu, Zaya tersenyum dan dibalas dengan cara serupa oleh sosok tersebut. Kemudian ia kembali melanjutkan langkah untuk mendekati posisi Nida berada sekarang. Barangkali ia bisa mendapatkan informasi perihal perempuan barusan.
"Dia itu kakak ipar aku, istrinya Bang Dani, kakak dari Bang Seno." Seolah mengerti isi pikiran Zaya, Nida sudah terlebih dahulu memberitahu, bahkan sebelum kakak iparnya sempat bertanya.
"Yang barusan itu?" tanya Zaya, memastikan siapa yang dimaksud oleh Nida.
Nida mengangguk. "Iya. Dia juga mantannya Bang Afriz sewaktu SMA."
Kepala Zaya mengangguk-angguk paham, lalu menatap ke arah pintu. Ia masih dapat melihat bayangan perempuan yang dimaksud oleh Nida. Tampak dari cara berjalannya, wanita muda tadi begitu anggun.
Kini langkah Zaya semakin dekat dengan Nida dan bayinya.
"Perasaan kan aku yang baru aja lahiran. Kenapa kamu jalannya ikutan aneh, Ya?" ledek Nida jail, saat melihat cara jalan Zaya yang tak seperti biasanya.
Baru saja Zaya merasa beruntung karena tak ada yang memergoki cara jalannya, ternyata sudah ada yang membahas hal tersebut. Saat ini ia hanya tersenyum canggung. "Gara-gara Mas Afriz, nih," keluhnya dalam hati, tak segera menanggapi godaan adik iparnya. Ia justru duduk di kursi yang ada di sisi ranjang Nida, dan menghadap tepat di depan perempuan itu.
"Emangnya tadi Bang Afriz langsung minta rapelan, ya, mentang-mentang nggak ketemu beberapa hari?"
Wajah Zaya makin memerah. Tak mengerti kenapa kegiatan panas pertamanya dengan Afriz tadi sore bisa dibahas di sini. "Kayak nggak pernah ngalamin aja sih, Kak," sahutnya, menahan rasa kikuk yang tiba-tiba melanda. "Assalamu'alaikum, Dedek," sapanya kepada bayi mungil Nida, mengalihkan pembicaraan karena sudah mendengar kikikan geli lawan bicaranya yang sepertinya belum puas menggodanya.
"Wa'alaikumsalam," balas Nida, mewakilkan anaknya yang tentu saja belum bisa berbicara.
Ibu jari Zaya menyentuh pipi bayi di depannya sambil tersenyum. "Namanya siapa, Kak?"
"Nunggu puputan dulu, baru aku bisa kasih tahu," kekeh Nida, menolak memberitahu nama anaknya yang masih dirahasiakan dari publik.
"Iya deh, iya." Zaya tertawa pelan, tak mau mengganggu tidur nyenyak si bayi tanpa nama. "Boleh gantian gendongnya?" tanyanya.
"Boleh," ucap Nida yang sangat tahu bahwa kakak iparnya ini lebih berpengalaman dengan bayi. "Kamu duduk sini," lanjutnya, meminta Zaya menempati salah satu ruang di kasurnya.
Nida memutar posisi tubuh bayinya yang semula kepalanya di bagian tangan kiri, sehingga sekarang berada di tangan kanan. Lalu menyerahkan buah hatinya dengan sang suami kepada Zaya yang sudah siap menggendong.
Seusai menyelaraskan posisi yang sekiranya nyaman di antara lengannya dan tubuh si bayi, Zaya menatap makhluk mungil di gendongannya ini sambil mengucap tasbih di dalam hati.
Ukuran ciptaan Tuhan di depannya ini begitu mungil, sesekali bibirnya bergerak-gerak seperti memakan sesuatu, dan matanya agak terbuka walau jelas-jelas sedang tidur. Yang membuatnya kagum, bayi ini sama sekali tak terganggu oleh suasana ramai di luar kamar.
"Pules banget, ya, Dek, digendong sama Tante Zaya."
Ucapan Nida barusan akhirnya berhasil menarik perhatian Zaya, walau tatapannya masih tertuju pada si bayi. "Ngajarin si Dedek gitu amat, Kak. Kenapa manggilnya harus 'Tante' banget, coba? Konotasinya kan aku jadi kayak tante-tante," kekehnya.
"Bener, kata Zaya. Terus kalau Zaya dipanggil 'Tante', Abang nantinya juga pasti dipanggil 'Om'. Abang kan bukan om-om," ujar Afriz yang baru sampai di pintu. Pemuda itu kini tersenyum lebar menatap kedua perempuan yang kegiatan bercakap-cakapnya terhenti karenanya.
"Nggak ngerasa tuh, Ya, kalau emang udah om-om," balas Nida, menatap jengah kakaknya yang senyum-senyum tak jelas.
Zaya hanya menanggapi gerutuan Nida dengan senyum. Karena perhatiannya masih tertuju pada objek di lengannya. Ia bahkan tak sadar ketika Afriz mendekatinya dan sang bayi, lalu duduk di sebelahnya.
Zaya baru menengok ketika sebuah ibu jari berukuran besar menyentuh pipi dan dahi bayi di lengannya secara berurutan. Kepalanya terangkat, lalu mendapati senyum dari sosok di sebelahnya. Mata pemuda di sampingnya itu menatapnya dan si bayi tanpa nama ini secara bergantian, masih pula mempertahankan senyum.
Lalu perasaannya jadi tak keruan tatkala ia menyaksikan Afriz menunduk dan mencium keponakan mereka. Semuanya seperti adegan yang diperlambat.
Dan, wajah itu tampak begitu damai saat kejadian yang terekam penuh di otaknya tersebut telah usai. Menimbulkan perasaan yang tak bisa ia mengerti bagaimana definisinya.
"Sebentar lagi kita pulang, ya. Sudah malam," bisik Afriz tepat di telinga Zaya yang tertutup kerudung biru, saat perempuan itu masih tak percaya akan tindakan-tindakannya barusan. "Katanya kita mau pacaran," lanjutnya disertai cengiran lebar, yang justru dibalas pelototan.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments