Melihat menantunya yang kurang bersemangat, Pak Hidup berinisiatif mengajak menantunya itu untuk membantu menekuni hobi barunya: berkebun.
"Kamu mau membantu Papa?" tanya Pak Hidup.
"Apa yang bisa aku bantu, Pa?"
"Papa punya bibit cabai yang belum ditanam. Kamu mau, kalau Papa ajak tanam cabai?"
Tanpa waktu lama, Zaya mengangguk. "Mau, Pa, mau!"
Setelah menginstruksikan apa yang harus dilakukan, Zaya mengambil stok polibag, bibit cabai, dan pupuk kemasan di gudang.
Sementara itu, Pak Hidup mencangkul salah satu area pekarangan rumah anaknya untuk mendapatkan tanah sebagai media tanam, sebelum akhirnya memulai kegiatan berkebun mereka.
"Kamu memang biasa panas-panasan begini, Ya?"
Untuk sejenak, Zaya menghentikan aktivitasnya lagi. "Dulu sih hampir setiap hari libur pasti ikut bapak ke ladang, jadinya sering panasan. Makanya kulit jadi gelap gini. Hehehe," katanya, kemudian melanjutkan kegiatannya.
"Begini ini termasuk gelap?"
Zaya mengangguk. "Banyak yang bilang gitu. Cuma, kalau sekarang sih nggak terlalu. Mungkin karena jarang panas-panasan, makanya warna kulitku jadi agak cerahan. Tapi kalau dulu sih aku dekil banget," ungkapnya. "Makanya buat hibur diri sendiri, aku sering bilang kalau kulitku nggak gelap. Cuma eksotis," tambahnya sambil menyengir.
Pak Hidup seketika mengangguk-angguk sambil terkekeh sebentar. "Malah bagus punya kulit yang tak terlalu putih begini, Ya. Lebih sehat dan terlindungi. Lagi pula, kalau waktu itu kulitmu sengaja dibikin putih sementara kamu sering ke ladang, bisa-bisa kulitmu malah terbakar. Nanti jadi Zaya bakar."
Ujaran tersebut membuat Zaya tersenyum. Tipis, juga geli. "Bapak juga sering bilang, kalau masalah kulit putih atau enggak, itu bukan masalah serius. Karena yang paling penting itu sehat dulu."
"Memang betul apa yang bapak kamu bilang." Pak Hidup ikut mengulas senyum. "Bapak kamu itu, dari dulu tidak banyak berubah. Karena dia selalu berprinsip bahwa doa yang paling sederhana dan tak memberatkan adalah meminta kesehatan. Tentu, yang sampai kepada kita memang tak akan pernah meleset, dan jauh melampaui harapan yang terlalu sederhana tadi. Ternyata bapakmu diberi paket lengkap. Ya sehat badan, sehat jiwa, sehat pikiran, sehat hati, dan kalau sedang beruntung, insyaAllah ya sehat secara ekonomi juga."
"Aamiiin." Lagi-lagi Zaya tersenyum, walau kini diliputi keheranan. "Papa kok bisa tahu watak bapak sedetail itu?" tanyanya makin heran. Lebih-lebih, latar belakang pendidikan dan pekerjaan ayahnya dan mertuanya ini jauh berbeda. Ayahnya petani sejati, sedangkan Pak Hidup dulunya merupakan pegawai PLN.
"Memangnya ada yang aneh, kalau Papa yang dulu mengabdi di Desa Karang Kidul selama banyak tahun, sampai kenal baik dengan bapakmu?"
Zaya menggeleng.
"Kalau kamu tidak lupa, di Dusun Matamu sering terjadi korsleting listrik, terutama tiap kali hujan. Nah, biasanya bapak kamu yang ke tempat Papa, meski harus tengah malam. Bapakmu sampai senewen, karena kalau Papa tidak mau memperbaiki saluran listrik warga, ya bapakmu mana bisa tidur dengan tenang. Pasti dikejar-kejar terus sampai listrik menyala lagi." Pak Hidup tertawa, membayangkan bagaimana adegan lama itu muncul.
Melalui penuturan Pak Hidup setelahnya, Zaya menjadi tahu alasan mertuanya ini bisa bertemu serta kemudian menikah dengan ibu Afriz dan Nida. Selain itu, ia pun jadi memahami mengapa Pak Hidup mengenal Pak Kuswin secara baik. Tak lain dan tidak bukan disebabkan oleh intensitas pertemuan mereka yang tak sedikit ketika masih muda dulu.
"Maaf, ya," ucap Pak Hidup seraya memegang polibag yang sudah berisi campuran tanah dan pupuk. Setelah melihat bahwa Zaya sudah tak murung, beliau merasa inilah waktu yang tepat untuk mengurai permasalahan anak dan menantunya.
"Maaf untuk apa, Pa?" tanya Zaya tak mengerti. Ia sampai harus menghentikan kegiatannya.
"Maaf karena sikap Afriz yang kekanakan seperti yang kemarin pagi itu."
Tersenyum menanggapi perkataan Pak Hidup, Zaya berkata, "Iya. Lagi pula, aku juga yang salah."
"Kalau Papa boleh memberi saran, lebih baik kamu jelaskan semua kepada Afriz. Jangan ada yang disembunyikan lagi, biar semua permasalahannya jelas dan tidak menimbulkan kesalahpahaman semacam ini. Lagi pula ...."
Zaya yang masih penasaran dengan permasalahan apa yang dimaksud oleh ayah mertuanya ini, ia sabar menunggu Pak Hidup mau melanjutkan ucapan.
"Cepat atau lambat Afriz pasti akan tahu siapa Faiz sebenarnya. Tidak baik juga menyimpan rahasia dari suami sendiri."
Kedua mata Zaya terbelalak. "Papa tahu?" Tentu saja ia heran. Karena setahunya, ia bertemu dan mengenal lawan bicaranya ini baru saat ia bekerja sebagai pegawai di studio milik Afriz. Jadi, tak masuk akal saja kalau mertuanya ini sudah mengenalnya dengan baik.
"Papa tahu Afriz itu ayahnya Faiz, kan, maksud kamu?"
Zaya menggeleng, menepis tuduhan itu lagi. "Bukan itu maksudku."
"Lho, kan kamu sudah resmi jadi istrinya Afriz. Jadi, otomatis Faiz jadi anaknya Afriz, kan?"
"Iya juga, ya," gumam Zaya, yang mau tak mau membuat Pak Hidup terkekeh.
Pria paruh baya itu takjub dengan keluguan menantu perempuannya ini. "Kamu pikir, Papa mau menikahkan anak Papa dengan perempuan berputra, padahal dia sama sekali belum pernah menikah?"
Zaya terhenyak. Kemungkinan itu tak sempat terpikirkan, walau sering melintas sebelumnya. Kalau dipikir-pikir, restu Pak Hidup sebelum pernikahannya dengan Afriz terlaksana memang begitu janggal. Benar-benar tak masuk akal, kalau dia bilang.
"Mamanya Afriz itu sahabatan dengan ibu kamu sudah lama. Sejak mereka masih SD, mungkin. Biasa, ibu-ibu kalau punya anak beda jenis kelamin itu berkeinginan menjodohkan anak-anak mereka kalau sudah dewasa nanti. Nah, kebetulan mamanya Afriz memang sudah mengincar kamu untuk dijadikan menantu. Ya karena Afriz itu kan bandel, suka keluyuran, waktu kecil juga tidak terlalu pintar. Ya paling tidak, kamu ini bisa mengimbangi Afriz yang begitu."
"Begitu apanya, Pa?"
Pak Hidup menggeleng. "Tidak." Beliau menyimpan fakta bahwa hubungannya dengan Afriz tidak terlalu baik sejak beberapa tahun belakangan. "Apa Afriz sudah pernah bercerita kalau beberapa perempuan yang dikenalkannya kepada kami pasti selalu kami komentari?"
Membenarkan, Zaya mengangguk. "Iya."
"Itulah kelakuan mamanya Afriz sebelum meninggal. Dia terlalu yakin bahwa jodoh terbaik untuk Afriz memang hanya anak dari sahabatnya di Dusun Matamu. Karena itu Papa jadi ikut-ikutan berkomentar mengenai wanita-wanita yang Afriz bawa pulang, meski sebetulnya Papa tidak mau mencampuri urusan masa depan anak Papa sendiri." Pak Hidup tersenyum geli.
Tetapi pandangan Zaya masih penasaran.
"Ya kalau dipikir-pikir memang tindakan kami terdengar sangat konyol. Padahal yang dibawa ke rumah, pasti di atas rata-rata. Ya pasti cantik, baik, punya karir juga. Tidak ada alasan untuk menolak mereka menjadi menantu. Walau ada satu yang Papa kurang suka, tapi harus Papa akui kalau Afriz memang pintar kalau urusan memilih perempuan."
Entah mengapa rasa nyeri melanda diri Zaya saat mendengar Pak Hidup memuji kemampuan Afriz memilih perempuan, yang tentunya salah satu dari mereka bukanlah dirinya. "Mas Afriz marah sama Papa karena itu?"
"Ya, mungkin. Papa juga tidak tahu bagaimana isi pikiran anak itu."
Zaya tak menampik situasi yang tercipta selama mereka tinggal bersama. Suaminya tak pernah terlihat bercengkerama dengan sang ayah. Tidak ada keakraban sebagaimana yang Zaya lihat ketika Afriz berdekatan dengan Pak Kuswin.
Ada kecanggungan. Ada jarak. Ada keinginan bertegur sapa, tetapi terhalang oleh dinding tak kasatmata.
"Selama menikah, dia tidak kasar, kan?"
"Nggak, Pa. Mas Afriz baik. Baik banget, malah. Sama kayak yang Papa lihat selama ini."
"Alhamdulillah. Mungkin dia memang sayang dengan kamu dan Faiz."
Zaya pun tak mengerti bagaimana perasaan Afriz dan juga perasaannya sendiri.
"Oh, iya. Papa tidak sengaja membaca akta kelahiran Faiz."
Menelan ludah susah payah, tetapi Zaya tetap menunggu.
Pak Hidup tersenyum, entah memberikan keramahannya tersebut kepada siapa. "Papa sangat lega, karena nama ibunya Faiz bukan nama kamu, tapi orang lain."
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yunisa
Lho, kok bisa? Apa mungkin Faiz itu bukan anak Zaya?
2022-11-17
0
Indah_usi
lanjut trus kak thor semangat ngetiknya dtunggu kelanjutan nya, next secepatnya
2022-05-25
0