Drama Setelah Lega

Kedua mata Afriz masih terpejam, tetapi keseluruhan wajahnya menunjukkan kelegaan yang luar biasa.

Lelaki itu mengatur napasnya yang masih terengah-engah serta menormalkan pemompa darahnya yang semula bekerja lebih keras. Tidak lupa, dia menempelkan kepala ke leher istrinya yang berkeringat sama seperti keadaannya. Tubuhnya merapat, bahkan kaki kirinya berada di antara dua kaki sang istri yang masih agak bergetar.

Setelah sensasi menyenangkan itu berangsur mengendur, mata Afriz mulai terbuka.

"Terima kasih, Sayang." Afriz mengecup kening Zaya lembut. Lantas kepalanya mundur, demi bisa leluasa mengamati ekspresi istrinya tersebut.

Zaya yang baru saja membuka mata, kini mengangguk malu-malu, kemudian memunggungi suaminya dengan perasaan canggung. Posisinya miring ke kanan, menatap tembok.

"Tahu nggak, kata orang-orang dewasa, kalau baru pertama kali gituan itu pasti sakit banget."

Zaya dan salah satu temannya seketika menjerit. Keduanya tak polos-polos amat, jadi tentu tahu ke mana arah pembicaraan tersebut. Tetapi tak menyangka bahwa pembahasan perihal pernikahan yang menjadi topik di kelas mereka tadi, akan disambung secara lebih ekstrem dalam perjalanan pulang.

"Nanti kalau malam pertama pernikahan, kita pura-pura sibuk bantuin orang yang lagi di dapur aja, ya." Bunga, teman Zaya, membela dirinya dan Zaya. Mengabaikan cengiran Atul yang makin janggal.

"Eh, eh, nggak bisa gitu. Malahan ya, kalau orang baru nikah itu pasti didorong-dorong, dipaksa biar masuk kamar bareng suami. Terus, gituan deh."

Jeritan Zaya dan Bunga semakin histeris. "Alah, kamunya aja yang mengada-ada. Dasar mesum!" balas Bunga.

Sedangkan Atul yang sedari tadi memang begitu tertarik membahas hal tersebut justru terkekeh geli. "Kayak ntar kalian nggak bakalan kepengen aja."

Entah mengapa peristiwa saat Zaya masih duduk di kelas 12 itu melipir di benak perempuan itu begitu saja. Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Atul saat itu, bahwa rasanya memang sakit sekali.

Tetapi Atul tak mengatakan dampaknya bisa membuat perempuan agak mual dan seperti kehilangan jati diri sekaligus membuatnya jadi malu terhadap suami sendiri seperti saat ini. Atul tak pernah mengatakan itu.

Zaya menoleh, melirik lelaki dewasa yang ternyata tengah terpejam di belakangnya. Tadi, suaminya ini begitu sabar membimbingnya dan memperlakukannya secara lembut, seolah tahu bahwa dirinya sama sekali belum berpengalaman. Tak terburu-buru, walau ia dapat melihat ada kilat gairah yang begitu menggebu.

Tatapan Zaya kembali ke tempat semula. Miring ke kanan, pun menatap tembok. Ia masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi di antara dirinya dan laki-laki di belakangnya. Ia merasa hubungannya dan Afriz mengalami kemajuan yang teramat jauh, dengan dirinya yang menyerahkan diri terlalu banyak untuk suaminya itu.

Bahkan, Zaya baru menyadari bahwa kulitnya dan Afriz masih bersentuhan. Dan yang belum ia mengerti, kontak fisik mereka tadi lebih dari ini.

Apa yang terjadi?

Sementara mata Afriz kini terpejam dalam posisi tubuh telentang. Dirinya tak bisa menyembunyikan senyumnya yang mengembang.

Walau sensasi semacam ini sudah beberapa kali dia rasakan sejak masa pubertas, tetapi harus dia akui bahwa kali ini terasa belasan kali lipat lebih hebat. Kesabarannya menunggu Zaya siap dan menahan segala godaan selama berjauhan dengan istrinya, kini benar-benar berbuah manis.

Jangan dikira keutuhan istrinya dia dapat secara mudah dan dipenuhi kepasrahan mutlak. Tadi badannya sudah menjadi korban pukulan Zaya yang membabi buta, sebelum dia berhasil mendekap tubuh perempuan itu. Tadi dia sempat mendengar Zaya meneriakinya sebagai maling dan perampok cabul.

Lelaki itu pun dibuat terkejut saat tak mendapati jejak-jejak kelahiran seorang bayi dari rahim istrinya, walau dia sudah menduga sebelumnya. Belum lagi dia mesti mencoba sebanyak lima kali sebelum beruntung membobol pertahanan yang sudah dijaga oleh perempuan itu. Karena Zaya berulang kali meminta izin ke kamar mandi dengan alasan "ingin pipis", dan dia tak sempat menahan Zaya yang langsung terbirit-birit.

Hingga akhirnya Afriz sukses memerawani ibu beranak satu yang ternyata masih benar-benar gadis itu, meski dia harus mendapatkan beberapa cakaran dan rematan kuat berulang-ulang dari perempuan tersebut. Tetapi tak apa. Semuanya setimpal dengan yang dia dapatkan sekarang.

Kesadaran Afriz kembali ke bumi saat merasakan gerak kasur. "Mau ke mana, Yang?" tanyanya kepada Zaya yang sudah siap untuk bangkit dari alas tidur mereka.

"Mandi, Mas. Udah jam empat lebih. Nanti keburu nggak sempet salat asar," jawab perempuan itu, teramat pelan.

"Memangnya bisa jalan?"

Terkejut atas pertanyaan barusan, Zaya seketika menoleh dengan muka merah. Ia menelan ludah susah payah, tak yakin dengan jawaban yang akan keluar dari bibirnya sendiri. "Bi-bisa." Kemudian ia mulai bergerak.

Zaya kebingungan saat menyadari satu hal. Jika selimut yang menutupi tubuhnya dan Afriz ia angkat, bagian tubuh Afriz akan terlihat. Tetapi jika tidak begitu, ia tak mungkin berpindah tempat tanpa penutup tubuh yang layak, kan?

Afriz menahan tawa saat melihat raut muka Zaya sekarang. "Kenapa?" tanyanya jail.

"Aku ke kamar mandinya gimana?"

Merasa harus bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan, Afriz itu bangkit dari posisinya kini. "Mas gendong saja, ya?" tawarnya. Dia sungguh tak tega.

Zaya justru menggeleng, tanpa berani menatap lawan bicaranya. "Eng-enggak usah. Aku ... ak-aku ... aku bisa sendiri, kok."

"Beneran bisa sendiri?"

"Beneran."

Zaya bukannya tak butuh bantuan. Ia hanya merasa risi berdekatan dengan suaminya ini. Entah. Dirinya belum siap menerima kenyataan bahwa ia dan Afriz baru saja selesai melakukan aktivitas yang begitu mengguncang batinnya.

"Masih sakit, kan?"

Lagi-lagi Zaya menggeleng, semakin enggan bersitatap dengan lawan bicaranya, enggan pula membahas kejadian tadi. Ia belum bisa menerima semua ini, sementara Afriz tak kunjung mengerti keadaan jiwanya yang masih terguncang karena kehilangan sebagian dari dirinya.

"Kalau sakit, bilang."

Jawaban tidak Afriz peroleh. Dia malah mendengar isakan pelan istrinya. Tangisan yang membuatnya berpikir bahwa kemajuan hubungan mereka tak membawa dampak positif. Mungkinkah perempuan itu menyesal karena telah memberikan hak yang mestinya Afriz peroleh sejak tiga bulan lalu?

Dirinya tak mengerti apa yang terjadi kepada Zaya. Karena setahunya, tadi istrinya itu menikmati apa yang dia berikan. Tetapi entah mengapa Zaya tiba-tiba tak mau berkontak mata apalagi bersentuhan dengannya.

Wajarnya, mereka sekarang sedang bermesraan. Wanita itu seharusnya meminta pelukan dan perlindungan darinya, bukan malah bersikap sebaliknya seperti sekarang ini.

Zaya sendiri pun tak mengerti mengapa ada perasaan kotor yang tiba-tiba menjalar. Ia merasa butuh waktu untuk menyendiri, merenungkan segala hal yang terjadi, serta mengumpulkan sebab-musabab mengapa ia bisa berada di titik ini. Ia perlu mengembalikan keutuhan jati dirinya yang saat ini menghilang entah ke mana, namun pada waktu yang sama, ia tak tahu harus mengatakan apa.

Afriz mengalah, tak lagi bertanya atau berkata apa-apa. Dia hanya sesekali menghela napas. Lelaki itu memang mesti menyadari, bahwa ada kebahagiaan dan kebanggaan diri serta harga yang harus dia bayar mahal untuk kemajuan ini.

Tetapi memang mungkin dirinya yang mesti meyakinkan Zaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa apa yang tadi mereka lakukan bukanlah sebuah dosa, melainkan ibadah suci bagi pasangan yang memiliki ikatan bernama pernikahan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!